Alya dan Randy telah bersahabat sejak kecil, namun perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua mereka demi kepentingan bisnis membuat hubungan mereka menjadi rumit. Bagi Alya, Randy hanyalah sahabat, tidak lebih. Sedangkan Randy, yang telah lama menyimpan perasaan untuk Alya, memilih untuk mengalah dan meyakinkan orang tuanya membatalkan perjodohan itu demi kebahagiaan Alya.
Di tengah kebingungannya. Alya bertemu dengan seorang pria misterius di teras cafe. Dingin, keras, dan penuh teka-teki, justru menarik Alya ke dalam pesonanya. Meski tampak acuh, Alya tidak menyerah mendekatinya. Namun, dia tidak tahu bahwa laki-laki itu menyimpan masa lalu kelam yang bisa menghancurkannya.
Sementara itu, Randy yang kini menjadi CEO perusahaan keluarganya, mulai tertarik pada seorang wanita sederhana bernama Nadine, seorang cleaning service di kantornya. Nadine memiliki pesona lembut dan penuh rahasia.
Apakah mereka bisa melawan takdir, atau justru takdir yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sorekelabu [A], isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Calvin, Lelaki dengan Masa Lalu Kelam
Bab 16: Calvin, Lelaki dengan Masa Lalu Kelam
Malam itu, Calvin duduk sendirian di dalam kamarnya. Matanya menatap kosong ke arah jendela, tetapi pikirannya berada jauh di masa lalu. Sebuah masa yang selalu ingin ia lupakan, tetapi terus menghantuinya—masa lalu yang membentuknya menjadi pria yang dingin dan tak mudah percaya pada siapa pun.
Di dalam ruangan yang sunyi, ingatan-ingatan kelam itu kembali menghantamnya tanpa ampun.
Calvin masih kecil saat pertama kali menyadari bahwa dunianya tidak sama seperti anak-anak lain.
Ia hidup di dalam keluarga kaya yang dari luar tampak sempurna, tetapi di dalamnya penuh dengan kehancuran. Orang tuanya tidak pernah ada untuknya, sibuk dengan bisnis dan citra mereka di mata publik. Satu-satunya sosok yang selalu bersamanya adalah abangnya, Ronald.
Namun, Ronald bukan kakak yang seharusnya memberikan perlindungan dan kasih sayang.
Ronald adalah sosok yang mengerikan.
Sejak Calvin berusia sepuluh tahun, Ronald sudah mulai menunjukkan sisi gelapnya.
Ia ingat pertama kali Ronald membawanya ke ruangan itu.
“Ayo, Calvin. Ini permainan baru.”
Permainan?
Saat itu, Calvin tidak mengerti.
“Dengar, Calvin.” Suara Ronald terdengar di dalam ingatan Calvin, tajam dan penuh kendali. “Aku ingin kamu melakukan sesuatu.”
Calvin kecil menatap abang sulungnya dengan bingung. Ronald berusia enam belas tahun saat itu, jauh lebih besar dan lebih kuat darinya.
Di depan mereka, ada seorang gadis kecil. Gadis itu terlihat ketakutan, tubuhnya gemetar.
“Apa maksudnya, Bang?” tanya Calvin dengan suara pelan.
Ronald menatapnya dengan tajam, lalu berbisik di telinganya. Kata-kata yang Calvin bahkan tidak ingin mengingatnya lagi.
Ia tidak mengerti sepenuhnya saat itu. Tapi ia tahu bahwa sesuatu yang salah sedang terjadi.
Namun, ia tidak punya kekuatan untuk melawan.
Ronald memaksanya melakukan sesuatu yang tidak bisa ia lupakan. Ia menghancurkan Calvin.
Setelah semuanya terjadi…
Ia sadar bahwa itu bukan permainan.
Itu adalah neraka.
Dan ia dipaksa menjadi bagian dari kegelapan itu.
Calvin menutup matanya erat-erat.
“Berhenti… tolong berhenti…”
Tapi ingatan itu semakin jelas.
Suara tangisan gadis kecil itu.
Tawa Ronald yang puas.
Dan ketidakberdayaannya.
Ia tidak bisa melawan.
Ia tidak bisa menyelamatkan gadis kecil itu.
Dan sejak saat itu, ia juga tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri.
Dan tiba-tiba…
“TIDAKKK!!”
Calvin menjerit histeris. Suaranya bergema di ruangan kosong itu.
Tangannya menutup kedua telinga, berusaha mengusir suara-suara dari masa lalu.
Tetapi suara itu tidak hilang.
Ia bisa mendengar bisikan Ronald di telinganya.
“Jangan bilang siapa-siapa, Calvin… Ini rahasia kita…”
“Kalau kamu bicara, kamu akan dihukum…”
“Kamu juga salah, Calvin. Kamu juga ikut melakukannya…”
Tidak! Itu bukan salahnya! Ia masih kecil! Ia tidak tahu apa-apa!
Tetapi rasa bersalah itu tidak pernah pergi.
Tangannya mengepal dengan kuat.
Matanya penuh dengan kemarahan dan kebencian—bukan hanya kepada Ronald, tetapi juga kepada dirinya sendiri.
Dalam sekejap, Calvin berdiri dan melangkah ke depan cermin di kamarnya.
Pria di dalam cermin itu bukan dirinya.
Itu adalah seseorang yang hancur.
Seseorang yang tidak pantas untuk diselamatkan.
Dengan penuh amarah dan frustrasi, Calvin mengangkat kepalan tangannya dan…
BRUKK!
Cermin itu pecah berkeping-keping.
Kepingan kaca berjatuhan ke lantai, beberapa di antaranya tertancap di kulit tangannya. Darah mulai mengalir dari jari-jarinya, menetes di lantai.
Tetapi Calvin tidak peduli.
Rasa sakit di tubuhnya tidak sebanding dengan rasa sakit di dalam jiwanya.
Ia menatap kepingan kaca yang berserakan. Wajahnya yang terpantul dalam pecahan-pecahan kecil itu terlihat kacau—seperti dirinya yang selama ini sudah retak dan tidak bisa diperbaiki lagi.
Ia tertawa kecil, tapi suaranya penuh dengan kepahitan.
“Aku sudah gila, ya?” bisiknya pada dirinya sendiri.
Tidak ada yang menjawab.
Hanya suara detak jantungnya yang berpacu dengan cepat.
Ia merosot ke lantai, menatap kosong ke depan. Darah masih mengalir dari lukanya, tetapi ia tidak bergerak.
Hanya satu hal yang memenuhi pikirannya sekarang.
Apa yang terjadi dengan gadis kecil itu?
Apakah dia baik-baik saja?
Atau…
Apakah dia juga hancur seperti dirinya?
Sejak malam itu, Calvin bukan lagi anak kecil yang polos.
Ia tumbuh dengan kebencian, trauma, dan perasaan bersalah yang tak pernah bisa ia hilangkan.
Dan Ronald?
Dia tetap menjalani hidupnya seperti tidak terjadi apa-apa.
Calvin tumbuh menjadi remaja yang pendiam dan tertutup.
Ia tidak percaya pada siapa pun. Tidak kepada orang tuanya, tidak kepada keluarganya, bahkan tidak kepada dirinya sendiri.