Caca, seorang mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di London, terpaksa bekerja sebagai pengasuh anak CEO kaya, Logan Pattinson, untuk mencukupi biaya hidup yang mahal. Seiring waktu, kedekatannya dengan Logan dan anaknya, Ray, membawa Caca ke pusat perhatian publik lewat TikTok. Namun, kisah cinta mereka terancam oleh gosip, kecemburuan, dan manipulasi dari wanita yang ingin merebut Logan. Ketika dunia mereka dihancurkan oleh rumor, Caca dan Logan harus bertahan bersama, menavigasi cinta dan tantangan hidup yang tak terduga. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk mengalahkan segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherryblessem, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengantar pulang
...Jangan lupa klik like dan komentar ya teman-teman! Mohon dukungannya untuk cerita ini! Terimakasih banyak semua! ❤️❤️...
...****************...
Suasana sepanjang jalan dari pusat kota London menuju asrama Caca tampak ramai dan sibuk. Kendaraan berlalu lalang, menghasilkan deru mesin yang bercampur dengan suara langkah kaki para pejalan kaki di trotoar yang tertutup salju. Malam itu sudah mendekati pukul sembilan, dan udara dingin menggigit lembut melalui celah jendela mobil Logan.
Caca duduk diam, memandangi pemandangan kota yang seperti lukisan. Lampu-lampu jalanan berpendar lembut, sementara dekorasi musim dingin berupa untaian lampu berwarna-warni dan patung salju berdiri megah di sudut-sudut jalan. Pohon-pohon yang dihias lampu kecil membuat suasana semakin magis. Jalanan tertutup salju terlihat berkilau di bawah cahaya lampu jalan, sementara beberapa petugas sibuk membersihkan jalur agar kendaraan tetap bisa melintas.
Caca tersenyum kecil. Ia menikmati momen itu, tapi tidak sepenuhnya tenang. Ada sesuatu yang membuat hatinya tak karuan—kehadiran Logan di sampingnya. Degup jantungnya meningkat setiap kali ia melirik pria itu. Hanya mereka berdua di dalam mobil, dan keheningan di antara mereka terasa seperti beban berat yang menggantung di udara.
“Bagaimana kabarmu?” suara Logan yang tenang memecah keheningan, membuat Caca sedikit terkejut.
Caca melirik pria itu dengan pandangan penuh tanya. “Baik,” jawabnya singkat sambil tersenyum sopan. “Bagaimana dengan Anda, Tuan Pattinson?” tanyanya balik, mencoba terdengar santai meskipun suaranya sedikit bergetar.
Sebuah senyum tipis muncul di wajah Logan. Sorot matanya tajam namun hangat, seolah mempelajari setiap gerakan Caca. “Bukankah sudah kukatakan? Panggil saja aku Logan saat hanya ada kita berdua,” ucapnya tegas, namun nadanya lembut.
Caca mengingat ucapan itu dengan jelas. Di Surrey, Logan pernah berkata hal yang sama ketika mereka tengah makan malam di sebuah restoran tradisional inggris setelah berjalan-jalan seharian di Surrey hills dan kapel keluarga Pattinson. Saat itu, hati Caca sempat bergetar karena sikap manis Logan yang tiba-tiba. Namun, ia ragu apakah ucapan itu sungguh-sungguh atau hanya basa-basi. Kini, mendengar Logan mengulanginya lagi membuat pipinya memanas.
“Maaf, Tuan Pat—Logan,” katanya akhirnya, mengoreksi ucapannya dengan gugup.
Logan tersenyum puas, matanya kembali memandang jalan di depan. Meski pandangannya terfokus pada kemudi, ia tampak santai. Keheningan tadi mulai mencair, dan Caca merasa sedikit lebih nyaman meskipun jantungnya masih berdegup kencang.
“Apa yang kau lakukan akhir-akhir ini?” tanya Logan dengan nada ringan, mencoba melanjutkan percakapan.
Caca terdiam sejenak. Pertanyaan itu sederhana, tapi ia tidak yakin apa yang harus dijawab. “Aku… aku hanya sibuk dengan tugas kuliah,” katanya akhirnya. “Karena ini akhir semester, ada banyak esai dan tugas kelompok yang harus dikerjakan.” Ia tersenyum tipis, melirik Logan yang tetap fokus pada jalanan di depan mereka.
Logan mengangguk kecil. Ia tampak menikmati percakapan itu, meskipun mungkin tidak menyadari bahwa bagi Caca, setiap kali ia berbicara, rasanya seperti hendak pingsan karena gugup.
“Bagaimana kabar keluargamu di Indonesia?” Logan bertanya lagi, kali ini dengan nada lebih santai. “Aku hampir tidak pernah mendengar ceritamu tentang negaramu.”
Caca terdiam sejenak. Pikirannya melayang pada keluarganya yang jauh di tanah air. “Oh, mereka baik,” jawabnya akhirnya. “Baru-baru ini mereka ingin mendengar cerita tentang bagaimana hidupku di sini.” Sekilas, ia teringat sesuatu yang membuatnya tersentak. “Ah! Aku baru ingat!” serunya tiba-tiba.
Logan meliriknya dengan rasa ingin tahu. “Apa?” tanyanya penasaran.
“Masih ingat video TikTok yang ingin kuunggah?” tanya Caca dengan semangat yang tiba-tiba terpancar.
Logan mengangguk. Ia memang ingat, meskipun saat itu ia tidak sempat melihat videonya karena Anastasia Jhonson memasuki ruang kerjanya dan mengganggunya. Kini, melihat Caca berbinar-binar, ia kembali tertarik.
“Aku dapat satu juta views!” seru Caca penuh semangat, matanya berbinar.
Logan terkekeh pelan. “Benarkah? Itu luar biasa. Aku yakin kau sangat senang,” komentarnya sambil meliriknya sekilas.
“Tentu saja!” jawab Caca antusias. “Gara-gara itu, semua videoku mendadak masuk FYP.”
“FYP?” Logan mengernyit.
“For You Page,” jelas Caca sambil tersenyum. “Itu halaman utama di TikTok. Artinya, videomu viral. Tidak mudah membuat video masuk ke sana. Rasanya seperti keberuntungan sekaligus kerja keras.”
Logan tersenyum, ikut merasakan kebahagiaan Caca. Ia tidak pernah membayangkan bahwa hal seperti ini bisa menjadi momen besar bagi seseorang. “Video apa yang kau buat?” tanyanya penasaran.
“Ah, hanya video sederhana bersama Ray. Orang-orang sangat menyukai Ray. Mereka bahkan meminta lebih banyak video seperti itu.”
Logan terdiam sejenak. Mendengar nama Ray membuatnya merasa sedikit aneh, meskipun ia tidak menunjukkan hal itu di wajahnya. Sebaliknya, ia hanya tersenyum dan berkata, “Kau benar-benar kreatif. Aku senang mendengar kau menikmatinya.”
Caca tersenyum, merasa lega Logan tidak terlihat terganggu dengan cerita itu.
Malam semakin larut. Jalanan mulai sepi ketika mereka mendekati Stasiun King’s Cross. Caca menatap keluar jendela, menikmati pemandangan terakhir sebelum mereka sampai di asramanya. Hatinya sedikit berat. Waktu berlalu begitu cepat, dan ia tahu mereka akan segera berpisah.
“Kita sudah sampai,” kata Logan akhirnya, menghentikan mobil Rolls-Royce-nya dengan lembut di depan gedung asrama.
Caca menoleh. Mobil mewah itu menarik perhatian banyak mahasiswa yang berlalu lalang di sekitar asrama. Tatapan mereka membuatnya sedikit canggung, tapi ia berusaha tetap tenang. Ia membuka pintu mobil dan keluar, mencoba mengabaikan bisik-bisik di sekitarnya.
Logan menurunkan kaca jendela, memberikan senyum terakhir sebelum melambaikan tangan. Caca merasakan tatapannya yang seolah tidak ingin pergi, tapi ia tidak berani menoleh.
“Jangan lihat ke belakang!” bisik Caca buru-buru sambil menarik sahabatnya, Yeji, yang berdiri terpaku di pintu masuk asrama.
Yeji menutup mulutnya, matanya membelalak melihat kemewahan mobil Logan. “Logan Pattinson?!” bisiknya penuh rasa ingin tahu.
“Sudah, masuk saja!” Caca menarik Yeji ke dalam, menutupi kegugupannya. Hatinya masih berdegup kencang, tapi senyumnya perlahan muncul lagi.
-
“Aku tidak percaya kau akan datang, sobat.” Ryan Rathbone tersenyum lebar, nada bicaranya penuh dengan keheranan saat melihat Logan Pattinson melangkah masuk dari balik pintu besar ruang makan. Pria itu mengenakan setelan jas gelap yang membuatnya tampak elegan dan tak tersentuh, seperti biasa.
Logan, seperti yang diduga, memasang ekspresi datar. Tidak ada antusiasme di matanya, hanya dingin dan fokus. Acara makan malam keluarga Johnson ini bukanlah tempat yang dia pilih untuk dihadiri secara suka rela. Jika bukan karena pentingnya mempertahankan hubungan bisnis, pria itu mungkin akan tetap berada di kantornya, mengerjakan sesuatu yang menurutnya lebih produktif.
“Jangan buat aku menyesal sudah datang, Ryan,” Logan menjawab singkat, suaranya rendah dan tegas. Dia mengingat dengan jelas bagaimana Ryan pernah membujuknya pergi ke klub malam beberapa waktu lalu, malam yang justru membuat pikirannya terus berputar pada sosok yang seharusnya jauh dari dunianya—Calista Ruby, pengasuh anaknya.
Ryan tertawa kecil, menikmati respons dingin sahabatnya. “Tenang saja, aku tak berniat mengusikmu malam ini. Aku hanya heran. Kau benar-benar datang ke acara seperti ini? Jarang sekali.”
Logan mendesah ringan, merasa percakapan ini tak terlalu menarik. “Apa yang perlu diherankan? Keluarga Johnson adalah mitra bisnis Pattinson selama bertahun-tahun. Kehadiranku di sini murni profesional.”
Ryan tersenyum tipis, hendak menanggapi, tetapi perhatiannya segera teralihkan ketika seorang wanita bergaun ketat menghampiri mereka dengan langkah percaya diri. Gaunnya berwarna terakota, pas di tubuhnya, dan memancarkan aura anggun yang memukau semua mata di ruangan.
“Terima kasih karena sudah datang, Logan,” suara lembut namun tegas itu milik Anastasia Johnson, tuan rumah malam itu. Tanpa ragu, dia langsung merangkul Logan, sebuah gestur yang membuat pria itu sedikit kaku.
Logan tampak terkejut, tetapi hanya sesaat. Dia menduganya. Anastasia memang selalu memiliki cara untuk membuat segalanya terlihat lebih intim dari yang diperlukan. “Tentu saja,” jawab Logan singkat, suaranya tanpa emosi, tetapi tidak bermusuhan.
Anastasia tersenyum, puas dengan kehadiran pria yang selalu dianggapnya menarik. Malam ini adalah malam penting baginya, dan Logan Pattinson, sosok terpandang di dunia bisnis, berada di sini. Itu saja sudah cukup untuk membuatnya merasa di atas angin.
Ryan, yang mengamati interaksi itu, hanya bisa tersenyum geli. “Nah, aku rasa aku harus membiarkan kalian berdua berbicara,” katanya, memberi isyarat kepada Logan sebelum berjalan menjauh.
Logan mengalihkan pandangannya ke Anastasia, yang kini berdiri lebih dekat darinya. “Acara ini berjalan lancar,” komentarnya dengan nada datar, lebih sebagai formalitas daripada ketertarikan.
“Tentu saja. Tapi kehadiranmu membuat semuanya terasa lebih istimewa,” Anastasia berkata dengan manis, matanya menatap Logan penuh arti.
Logan mengangguk pelan, tidak tergoda oleh pujian itu. “Aku di sini untuk menghormati kerja sama kita. Tidak lebih.”
Anastasia sedikit tersenyum, tetapi ada secercah kekecewaan di wajahnya. Dia tahu pria di depannya ini sulit ditembus, tetapi itu justru membuatnya semakin tertarik.
Di sudut ruangan, Ryan memperhatikan keduanya sambil menyesap anggurnya. “Logan yang dingin dan Anastasia yang penuh trik. Ini akan jadi malam yang menarik,” gumamnya sendiri.
Namun, dalam benak Logan, pikirannya melayang pada sesuatu yang lebih mengganggu daripada perhatian Anastasia—bayangan Calista Ruby, wanita sederhana yang entah mengapa terus muncul di pikirannya belakangan ini. Perlahan-lahan, Logan mulai menerima kenyataan bahwa dirinya merasa ada sesuatu yang menarik dari gadis itu. Acara makan malam ini hanya sekadar formalitas, tetapi pikirannya jelas terjebak di tempat lain, pada seseorang yang tak seharusnya menarik perhatiannya.
Anastasia berbicara lagi, tetapi Logan hanya menanggapi dengan sopan tanpa benar-benar mendengarkan. Di balik wajah dinginnya, ada kebingungan yang dia sendiri tak bisa pahami. Malam itu, meski di tengah gemerlap pesta dan percakapan bisnis, pikiran Logan jauh melayang ke arah yang lain, meninggalkan Anastasia yang masih berusaha menarik perhatiannya.
oh ya cerita ini menurut aku sangat menarik. apalagi judul nya jangan. lupa dukung aku di karya ku judul nya istri kecil tuan mafia