Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.
Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.
Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.
Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.
Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Udara Bali malam itu hangat dan lembap, seperti menahan napas untuk sesuatu yang akan terjadi. Dari bandara, Andre dan Lily meluncur dalam mobil sewaan ke sebuah hotel butik mewah di daerah Jimbaran. Jalanan yang mereka lalui sunyi, hanya dihiasi kelap-kelip lampu kafe dan aroma laut dari kejauhan.
Andre menyetir tanpa banyak bicara, sesekali menatap kaca spion untuk memastikan Lily masih di sana, dalam diam, di kursi belakang.
Hotel yang mereka tuju berdiri elegan dengan sentuhan arsitektur modern dan tropikal. Batu alam, kayu jati, dan jendela-jendela besar menciptakan suasana tenang, hampir sakral. Andre memarkirkan mobil di area privat lalu turun terlebih dahulu, meminta resepsionis menyiapkan dua kamar—bersebelahan, tapi terpisah.
“Untuk istrinya juga?” tanya resepsionis ramah.
Andre mengangguk. “Ya. Satu lagi untuk… Ny. Lily.”
Ia menyerahkan kartu identitas dan menunggu. Dalam hatinya, ia tahu mungkin ini tidak perlu. Tapi ia ingin memberi ruang. Apapun yang terjadi kemarin, dan pagi ini… bukan jaminan bahwa Lily ingin bersamanya malam ini.
Sesuatu dalam sorot mata Lily di bandara memang berubah—lebih lembut, lebih terbuka—tapi juga masih misterius.
Ketika Lily berjalan mendekat, koper kecilnya bergulir pelan di lantai marmer. Andre segera menyambutnya, memberikan kunci kamar.
“Sebelah kamarku. Nomor 305.”
Lily menerima kunci itu dalam diam. Tapi sebelum Andre sempat berbalik dan melangkah ke kamarnya, tangan Lily meraih pergelangan tangannya—lembut, namun tegas.
Andre menoleh. “Ada apa?”
Namun Lily tak menjawab.
Ia hanya menatap Andre. Dalam-dalam. Pandangan yang tidak menuntut, tapi juga tidak bisa ditolak. Sorot matanya seperti laut malam—gelap, dalam, dan penuh ombak yang ingin menelan segalanya.
Lily mendekat. Lalu, sebelum Andre bisa berkata apa-apa lagi, bibirnya sudah menempel di bibir Andre.
Ciuman itu bukan ciuman malu-malu. Bukan pula ciuman basa-basi. Tapi sebuah letupan emosi yang telah mereka tahan berbulan-bulan.
Tangannya melingkari leher Andre. Tubuhnya menempel erat. Dan Andre, sejenak hanya bisa membeku.
Namun beberapa detik kemudian, ia membalas dengan segenap perasaan. Ia mengangkat tubuh Lily pelan dan membawanya masuk ke dalam kamar yang seharusnya untuknya sendiri—kamar 304.
...****************...
Lampu kamar dinyalakan separuh. Cahayanya kuning hangat, menari-nari di dinding putih bersih dan ranjang king-size di tengah ruangan. Tirai kain linen mengalun lembut karena angin dari balkon terbuka. Aroma laut menyusup masuk, bercampur dengan aroma tubuh Lily yang mendekat seperti magnet.
Andre menutup pintu perlahan dengan kakinya, sambil masih mencium Lily. Mereka tidak berbicara. Tidak butuh kata-kata. Suara napas mereka sudah cukup bercerita.
Kemeja Andre dilepas pertama. Lalu jaket Lily. Lalu satu per satu penghalang di antara mereka lenyap dalam diam yang bergelora.
Andre menatap Lily sejenak, memastikan bahwa ini memang keinginannya.
Lily mengangguk. “Jangan tanya apa-apa, Andre. Cukup… miliki aku malam ini.”
Lampu kamar hotel masih menyala redup. Warna kuning temaram menyapu tubuh Lily yang kini terbaring di atas seprai, napasnya sudah tak teratur bahkan sebelum Andre benar-benar menyentuhnya.
Kulit mereka sudah bersentuhan, berkeringat, dan terbakar. Pakaian Lily telah tergeser seluruhnya, memperlihatkan tubuh yang belum pernah disentuh siapa pun. Andre menatapnya sejenak—bukan untuk bertanya, tapi untuk mengabadikan momen sebelum segalanya meledak.
Ciuman mereka pecah di udara, rakus, basah, nyaris brutal. Lidah mereka bertemu tanpa ragu, saling menyapu, menjilat, menyesap, hingga ludah mereka menetes di sudut bibir. Tangan Andre menekan di pinggul Lily, menariknya lebih dekat. Tubuhnya panas. Matanya terbakar.
Lilu melenguh, menggeliat, tubuhnya mengencang saat Andre turun ke leher, menggigitnya ringan lalu menjilatinya. Lehernya basah. Bahunya bergetar. Saat Andre menjilat dada Lily perlahan, lidahnya melingkar, tangan Lily langsung mencengkram rambutnya, dan desahan keras keluar dari bibirnya.
“Ahh… Andre…”
Suara itu tak bisa ditahan. Tubuhnya terlalu jujur untuk berbohong. Kakinya sudah terbuka, lututnya menekuk di sisi tubuh Andre, dan seluruh bagian dirinya sudah berdenyut, menanti disentuh lebih dalam.
Saat Andre menyatu dengannya, tubuh Lily langsung menegang keras. Erangan pertamanya tinggi—bukan hanya karena rasa asing yang menyakitkan, tapi karena seluruh dirinya baru saja dilampaui.
“Ah, Andre…!”
Ia mencakar punggung pria itu, sementara matanya memejam kuat-kuat, air mata menggenang, tapi bukan karena takut. Ia menggigit bibirnya, lalu melenguh lagi saat tubuhnya mulai terbiasa, dan rasa nikmat yang aneh itu mulai menyusup perlahan, menggantikan rasa perih.
Andre mencium wajahnya, keningnya, lalu mulai bergerak. Pelan. Dalam. Ritmis.
Cengkraman Lily makin erat. Pinggulnya bergerak mengikuti dorongan Andre. Mereka menyatu dengan cara yang belum pernah ia bayangkan—panas, menyakitkan, tapi juga membebaskan. Dan saat ritmenya semakin dalam, semakin cepat, tubuh Lily tak tahan lagi.
Ia melengkung. Menjerit kecil.
“Ahh—Andre! Ahh ya Tuhan…!”
Kasur berderit. Keringat mengalir. Napas mereka beradu. Suara ciuman, suara tubuh yang saling menabrak, desahan yang berat dan memuncak memenuhi ruangan. Setiap hentakan membuat Lily makin basah, makin lemah, makin hanyut.
Mereka meledak bersamaan. Dalam erangan tertinggi.
Tubuh Lily melengkung saat ia mencapai puncaknya—kakinya mencengkeram pinggang Andre, kukunya membekas di kulitnya, dan suaranya pecah dalam tangisan kecil yang tak bisa ia tahan.
Andre menjerit di lehernya. “Lily—aku… ahh—!”
Tubuh mereka bergetar bersamaan. Gila. Lelah. Tapi belum selesai.
Setelah beberapa detik saling terdiam—masih menempel, masih bernafas berat—mereka mulai lagi. Kali ini Lily di atas. Tubuhnya bergerak dengan ritme canggung tapi panas. Andre mencengkram pahanya, menatapnya dengan mata yang nyaris gelap sepenuhnya oleh hasrat.
Dan malam itu pun jadi liar.
Mereka berganti posisi. Menyatu di sisi ranjang. Di tepi tempat tidur. Di bawah selimut. Di depan jendela yang berkabut oleh embun. Berkali-kali. Meledak. Mencari. Memanggil.
Pagi menjelang saat tubuh mereka sudah tak sanggup bergerak. Basah oleh keringat dan gairah. Selimut kusut. Napas tersisa. Tapi di antara semua kelelahan itu, hanya satu yang tersisa paling jelas:
Mereka kini benar-benar milik satu sama lain. Tubuh, hati, dan nama mereka yang terucap berkali-kali dalam malam yang tak akan pernah mereka lupakan.
...****************...
Lily tertidur di pelukan Andre. Tubuh mereka masih bersentuhan, kulitnya hangat dan harum. Andre menatap langit-langit kamar yang temaram, jantungnya berdegup pelan tapi dalam.
Ia tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Tapi malam ini… ia tahu satu hal:
Lily memilihnya. Bukan karena kewajiban. Bukan karena nama keluarga. Tapi karena hatinya sendiri.
Dan untuk pertama kalinya, Andre merasa seperti lelaki yang utuh—bukan cadangan, bukan bayangan siapa-siapa—tapi seseorang yang dicintai apa adanya.