Dealova, gadis cantik dengan segala kesedihannya. Dipaksa menjadi orang sempurna membuat Lova tumbuh menjadi gadis yang kuat. Dia tetap berdiri saat masalah datang bertubi-tubi menghantamnya. Namun, sayangnya penyakit mematikan yang menyerang tubuhnya membuat Lova nyaris menyerah detik itu juga. Fakta itulah yang sulit Lova terima karena selama ini dia sudah menyusun masa depannya, tapi hancur dalam hitungan detik.
***
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Bukannya ganti baju dulu, Lova malah langsung pergi ke rumah orang tuanya.
Mata Lova berbinar kala melihat mobil milik Lai yang terparkir di halaman rumah. Sepertinya mereka sedang berkumpul, pikir Lova. Jarang-jarang keluarganya berkumpul lengkap seperti sekarang. Lova jadi kangen.
Dengan langkah riangnya, Lova berjalan memasuki rumah. Tak lupa pula menyapa satpam yang berjaga di depan.
Mulutnya sudah terbuka untuk mengucapkan salam, namun Lova mendadak terdiam kala tak sengaja mendengar pembicaraan keluarganya. Gadis itu segera bersembunyi di balik pilar.
"Papa sudah membicarakan pernikahan Lova sama Aksara, guru les nya—"
"Papa gila?!" Kai memotong ucapan papanya dengan seruan tak terima. "Orang itu stres, Pa! Dia gak waras! Bisa-bisanya Papa nikahin mereka!"
"Apa maksud kamu, Kai?"
"Guru les yang Papa maksud itu udah bikin aku masuk rumah sakit! Dia kurung Lova setiap hari di apartemen! Bayangin, gimana kalau seumur hidup Lova terjebak sama manusia kayak dia?!"
Vincent menghela nafas, "Itu karena kamu yang cari gara-gara sama dia. Kalau kamu gak cari gara-gara, dia gak akan bikin kamu masuk rumah sakit," ucapnya malah membela Aksa.
Kai mendengus kasar, "Sekarang Papa ikut stres juga?" sinisnya.
"Sekali-kali peduliin Lova, Pa. Kasihan dia!" lanjutnya.
"Buat apa? Dia bukan anak Papa dan Mama. Dia juga bukan saudara kandung kalian. Justru alasan Papa nikahin Lova sama Aksara itu supaya kita gak repot-repot ngurusin dia. Dari cara berpikir aja udah beda dari kita, dia gak bakalan jadi dokter karena bukan keturunan Papa."
Deg!
Lova memegang dadanya yang berdenyut. Sakit sekali. Pantas saja selama ini kedua orang tuanya habis-habisan menghantamnya agar pintar. Dan benar, cara pikirnya saja berbeda dengan keluarganya yang lain yang tentunya lebih pintar dan cerdas.
Tapi, Lova tak pernah berpikir kalau dia bukan anak kandung dari Vincent dan Gea. Dan lebih parahnya lagi, kedua kakaknya sudah tau, terbukti reaksi mereka yang tak terkejut sama sekali.
"Aku tetap gak setuju kalau Lova nikah sama orang stres itu!" bantah Kai.
"Papa gak nyuruh kamu berpendapat. Papa cuma kasih tau kalau Lova akan menikah dengan Aksara 1 Minggu lagi!" balas Vincent.
"Pa—"
"Udah, stop!" Kalyana memekik memotong ucapan Kai. "Hargai keputusan Papa bisa gak sih?!"
"Gak semudah itu, Na!" Kai mengacak-acak rambutnya frustasi.
"Apanya yang gak mudah? Ini semua juga demi kebaikan kita supaya gak terus-terusan nampung itu anak pungut!" kesal Kalya.
"Ana, jaga ucapan kamu!" sahut Gea yang sedari tadi diam menyimak perdebatan anak dan suaminya.
Meskipun Lova bukan anak kandungnya, tetap saja dia tidak terima mendengar itu.
Kalya berdecak tak suka. Dia melipat tangan di dada lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa.
"Terserah kamu Kai. Apapun keputusan Papa, sudah gak bisa diganggu gugat. Papa juga sudah bicarakan ini sama keluarga Aksara, kerena orang tua Aksara itu teman mama kamu," jelas Vincent.
Karena merasa tidak berguna bicara dengan mereka, Kai pun memilih pergi dari sana. Raut wajahnya sangat kecewa dan marah. Marah karena papanya bertindak semaunya tanpa persetujuan yang lain.
"Kai! Mau ke mana kamu?! Papa belum selesai bicara!" seru Vincent penuh amarah.
Kai menulikan telinganya dan terus berjalan, hingga tepat di dekat pilar, langkahnya melambat seiring dengan tatapannya yang meredup. Dia melihat Lova yang menangis dalam diam. Adiknya itu ... mendengar semuanya?
"Dea?" lirihnya.
Lova mendongak menatap kakaknya. Perlahan, dia mundur, tak mau dekat dengan Kai. Lova menganggap Kai berkhianat padanya sebab sudah membohonginya selama bertahun-tahun dan berperilaku seolah dia adalah kakak kandungnya.
"Dea, kamu..."
"Kenapa Abang tega sembunyikan fakta itu?" lirih Lova. Air matanya mengalir semakin deras, dia memegangi dadanya yang terus berdesir.
"Dea, kamu salah paham—"
"Salah paham apa, Abang? Aku udah dengar semuanya..."
Vincent, Gea dan Kalya beranjak menghampiri Kai lantaran penasaran dengan siapa dia bicara.
"Dea sayang...," lirih Gea. Meskipun Lova bukan anaknya, tapi Gea selalu menyayangi Lova walaupun dia sering memaksa Lova belajar terus.
"Sekarang kamu sudah tau semuanya, kan?" Vincent berkata dengan sinis.
"Pa!" tegur Gea.
"Memang udah waktunya dia tau semuanya, Ma. Mau gimana lagi? Kalau terus disimpan, dia juga yang sakit."
Perkataan Vincent benar adanya. Jika terus disimpan, Lova akan semakin sakit karena terus dibohongi.
Lova mengangguk berkali-kali, senyum mirisnya tercetak begitu jelas.
"Iya, aku udah tau semuanya. Makasih selama ini udah rawat aku, maaf karena selama ini aku belum bisa kasih yang terbaik untuk Mama sama Papa. Setelah ini aku janji gak akan ganggu kehidupan kalian lagi." Lova menghapus air matanya.
Dia menatap keluarga angkatnya satu persatu sebelum pergi dari sana. Dia terus berjalan tanpa melihat ke belakang lagi. Lova juga tak menggubris Kai yang terus memanggil namanya.
Mulai sekarang, Lova tidak akan kembali ke keluarga itu lagi. Dia tak mau mengacaukan keluarga cemara itu. Biarlah mereka hidup dengan bahagia. Sedangkan dirinya akan membangun hidup baru tanpa tekanan lagi.
Lova hendak membuka pintu mobil, namun perhatiannya teralihkan pada seseorang yang berdiri di samping pintu kemudi.
"Butuh pelukan?" Aksara, pria tampan itu membuka tangannya lebar-lebar, siap menyambut Lova.
Tanpa menunggu lagi, Lova langsung masuk ke dalam pelukan Aksara. Pelukan hangat yang jarang dia dapatkan. Di dalam pelukan itu, Lova terisak kencang sampai nafasnya tersengal-sengal.
Karena posisinya tak nyaman, Aksa pun menggendong Lova masuk ke dalam mobil agar posisinya lebih nyaman. Dia mendudukkan Lova ke pangkuannya dan bersiap menyetir pelan-pelan, karena sebelah tangannya memeluk pinggang Lova.
"Kalau a-aku bukan keluarga mereka... Terus aku keluarga siapa? Aku anak siapa? Kenapa aku dibuang?"
"Harusnya aku dibunuh aja!"
"Sakit... Sakit banget..."
"Kenapa Tuhan gak adil sama aku?"
Lova meracau sambil menangis tersedu.
"Tuhan Maha Adil, Lova. Pasti di depan sana Tuhan merencanakan sesuatu yang indah buat kamu," balas Aksa.
"Kamu punya saya. Saya adalah tempat pulang kamu," lanjutnya.
Lova semakin mengeratkan pelukannya. Terasa nyaman sekali. Harusnya dia paham kenapa selama ini Aksara bersikap posesif padanya.
"Lupakan masa lalu, karena di masa depan, kamu akan lebih bahagia."
***
up up up! CRAZY UP!
oiya janlup up ya kak