NovelToon NovelToon
Lovestruck In The City

Lovestruck In The City

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Kantor / Keluarga / Karir / Romansa / Bapak rumah tangga / Office Romance
Popularitas:7.6k
Nilai: 5
Nama Author: nowitsrain

Bagi beberapa orang, Jakarta adalah tempat menaruh harapan. Tempat mewujudkan beragam asa yang dirajut sedemikian rupa dari kampung halaman.

Namun, bagi Ageeta Mehrani, Jakarta lebih dari itu. Ia adalah kolase dari banyak kejadian. Tempatnya menangis dan tertawa. Tempatnya jatuh, untuk kemudian bangkit lagi dengan kaki-kaki yang tumbuh lebih hebat. Juga, tempatnya menemukan cinta dan mimpi-mimpi baru.

“Kata siapa Ibukota lebih kejam daripada ibu tiri? Kalau katamu begitu, mungkin kamu belum bertemu dengan seseorang yang akan membuatmu menyadari bahwa Jakarta bukan sekadar kota bising penuh debu.”—Ageeta Mehrani, 2024

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Meet Him

Empat hari berlalu, Reno masih tidak mendapatkan titik terang perihal perubahan sikap Ageeta yang begitu drastis. Gadis itu juga semakin kentara menghindarinya, sementara Laras pun tidak berhasil memberikan informasi apa-apa. Untuk pertama kalinya, Reno tidak bisa mengandalkan Laras untuk urusan Ageeta.

Reno sendiri menjadi cukup sibuk selama empat hari ke belakang. Ia lebih sering berada di luar kantor untuk menghadiri beberapa meeting sehingga sulit juga baginya untuk mencuri-curi waktu luang agar bisa berbicara empat mata dengan Ageeta. Mau cross check melalui pesan singkat atau sambungan telepon juga rasanya tidak enak. Ia merasa harus meluruskan semuanya secara langsung.

Baru akan mendudukkan bokongnya di kursi, Reno terpaksa bangkit lagi ketika pintu ruangannya diketuk tiga kali. Laras muncul dari baliknya, membawa setumpuk berkas lagi yang kali ini entah apa isinya.

“Harus di-sign sekarang atau enggak?” todongnya ketika Laras baru sampai seperempat jalan.

“Enggak, nggak urgent.” Laras menjawab. Berkas-berkas di pelukannya tadi diletakkan di sisi meja yang lain, dijadikan satu dengan berkas-berkas lain yang belum selesai diberi sign.

“Oke,” sahut Reno, lanjut duduk di kursinya. Ia menarik napas begitu panjang, memijat pangkal hidungnya seraya memejamkan mata sebentar.

“Pak,” bisik Laras.

Reno hanya berdeham, kini beralih memijat kedua sisi pelipisnya karena mendadak kepalanya pun terasa pening dan berat.

“Tadi saya ketemu Pak Direktur di lift.”

Gerakan Reno praktis terhenti. Secara dramatis, ia membuka mata dan menatap serius ke arah Laras. “Pak Direktur datang ke kantor?” tanyanya memastikan. Pria itu jarang datang ke kantor, kecuali ada sesuatu yang urgent dan tidak bisa didelegasikan kepada orang lain. Itu artinya, kedatangannya hari ini pun didasarkan sesuatu yang penting.

“Iya,” jawab Laras. Ia menoleh ke belakang, memastikan pintu ruangan Reno tertutup rapat sehingga tidak ada yang akan menguping pembicaraan mereka selanjutnya. Lalu, ia sedikit membungkukkan badan, mendekatkan bibirnya ke telinga Reno. “Beliau bilang mau ketemu sama Bapak.”

Demi Tuhan, Reno merinding sebadan-badan tatkala suara halus Laras menerobos telinganya. Embusan napas hangat perempuan itu juga semakin memperburuk keadaan, ditambah bayangan wajah sang Direktur Utama yang seketika membuat Reno tidak nafsu melakukan apa-apa.

“Kalau bisa sih Bapak ke ruangan beliau sekarang,” sambung Laras, kali ini dikatakan setelah tubuhnya kembali tegak dan dengan nada suara normal.

Reno menghela napas panjang. Sebisa mungkin, ia selalu ingin menghindari pertemuan dengan pemegang takhta tertinggi di kantor ini. Jabatannya yang terbilang tidak tinggi-tinggi amat dia pikir akan membuatnya cukup aman, ternyata tidak juga. Orang nomor satu di LT Corp itu selalu punya seribu satu cara untuk bertemu dengannya.

Terdiam sejenak untuk menjernihkan isi kepala yang keruh, Reno akhirnya bangkit dari kursinya. Paper bag berukuran kecil di meja samping disambar, lantas dipindahkan ke tangan Laras.

“Apa?” tanya perempuan itu, dahinya berkerut.

“Jam tangan yang kamu mau.” Usai berkata singkat, ia berjalan meninggalkan wilayah teritorialnya, melewati Laras begitu saja.

Meninggalkan Laras di ruangannya, Reno menaiki lift menuju lantai sebelas. Di dalam benda besi itu ia menghabiskan waktunya untuk berpikir. Sedikit memutar beberapa skenario perihal apa yang kiranya hendak dibahas oleh Direktur dan respons seperti apa yang harus dia berikan.

Ting!

Reno mendesah pelan. Belum juga selesai ia merancang skenario, lift sudah tiba di lantai sebelas. Ogah-ogahan ia menyeret langkahnya keluar. Pikirannya yang mengawang juga membuatnya tak sempat membalas sapaan beberapa karyawan yang berpapasan dengannya setelah ia keluar meninggalkan lift.

Berjalan sedikit menyusuri koridor, Reno sampai juga di ruangan Direktur Utama. Ia mendongak, menatap papan penanda akrilik di bagian atas pintu. Hanya tertera Ruang Direktur Utama di sana, tidak disertai nama jelas seperti papan penanda di ruangan direktur yang lainnya.

Menarik napas dan membuangnya secara teratur, Reno kemudian melabuhkan beberapa kali ketukan sebagai penanda kedatangannya. Sahutan sekeras apa pun dari dalam sana tidak akan terdengar karena ruangan itu kedap suara, jadi setelah menghabiskan lima detik setelah ketukan terakhirnya dilabuhkan, Reno memutar kenop dan membuka pintu kayu yang berat itu dengan sekuat tenaga.

Apa yang menyambutnya pertama kali adalah sosok pria yang berdiri membelakanginya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke saku celana. Posturnya yang masih tegap di usianya yang sudah 60-an tidak pernah gagal membuat Reno merasa kagum. Sebagai seseorang yang menghabiskan masa muda dengan life style yang tidak sehat, ia tidak yakin masih bisa sebugar itu di usia yang sama.

“Permisi, Pak,” sapa Reno.

Pria berjas hitam itu membalikkan badan, menatap Reno sejenak kemudian menyunggingkan senyum tipis. Tanpa mengatakan apa pun, ia menunjukkan gestur mempersilakan Reno untuk duduk di sofa panjang berbahan beludru mewah di sisi kiri ruangan.

Reno menurut, segera memosisikan diri dengan tetap mempertahankan postur tubuhnya tetap baik dan memastikan pikirannya terjaga waras sampai obrolan kali ini berakhir nanti.

“Apa kabar?” menjadi pertanyaan pertama yang Reno dengar. Jawaban template diberikan, tak lupa menanyakan balik bagaimana kabar pria berkarisma yang kini duduk di single sofa di sisi kanannya.

“Gimana kerjaan kamu? Ada problem?” adalah pertanyaan kedua.

Reno tidak langsung menjawab, memberi jeda selama beberapa detik untuk mulai menebak apa maksud di balik pertanyaan tersebut.

“Kalau ada problem—“

“Semuanya aman,” sahut Reno. Pria itu, Darius, lantas mengatupkan kembali bibirnya, urung melanjutkan ucapannya.

Beberapa detik setelahnya hanya ada keheningan. Reno cuma bisa mencoba membaca isi kepala Darius melalui tatapannya yang terlihat sukar. Sampai kemudian helaan napas panjang yang keluar dari bibir pria itu memutus segala kesunyian yang ada.

“Lusa Noa kembali ke Indonesia.” Darius kembali buka suara.

Hanya ohh panjang dan anggukan kepala yang Reno berikan. Kabar kepulangan perempuan itu memang sudah ia dengar sebelumnya, jadi ia tidak terlalu merasa heran.

“Untuk membahas soal pertunangannya sama William,” sambung Darius.

Untuk yang satu itu, Reno belum mendapatkan informasi apa pun. Namun, ia tetap menganggukkan kepala, turut merasa senang. Walaupun masih tidak ada juga kalimat yang keluar dari bibirnya. Bukannya enggan, hanya terlalu bingung untuk mengutarakan.

“Kamu ... nggak mau memperjuangkan dia sekali lagi?”

Yang kali ini, bahkan tanpa menyebut namanya pun, Reno sudah paham siapa yang dimaksud. Bukan, itu bukan Noa. Mereka sedang membicarakan seseorang yang lain. Seseorang yang sudah lama Reno tinggalkan karena keadaan yang tidak memungkinkan mereka untuk bersama. Seseorang yang sampai sekarang pun masih memiliki tempat tersendiri di hatinya, walau ia tahu kisahnya sudah berakhir dan tidak akan pernah bisa dimulai kembali.

“Enggak.” Reno menjawab tegas usai terdiam beberapa saat. Sekarang, mau ditanya seribu kali lagi pun, jawabannya akan tetap sama.

“Papa bisa bantu kamu untuk yakinkan dia, Ren. Cukup bilang iya, dan Papa akan lakukan apa pun buat bikin kalian bersama.”

“Pa,” Reno menyela. Ia mengambil napas, mengembuskannya perlahan. Detik ketika ia mengubah panggilannya terhadap Darius, Reno sepenuhnya menanggalkan status pekerjaan mereka di kantor. Mengubah role menjadi dua orang yang saling terhubung secara personal. “Itu udah berlalu cukup lama, dia juga udah bahagia dengan kehidupannya yang sekarang. Reno nggak mau mengusik kehidupan dia lagi.”

“Tapi, Ren, ini nggak adil.” Darius terlihat putus asa. Wajahnya yang masih minim keriput itu menyimpan banyak sekali keresahan yang mudah sekali Reno temukan.

“Apanya yang nggak adil?” tanya Reno.

“Situasi ini,” jawab Darius. Mungkin saking frustrasinya, pria itu sampai memajukan duduknya, nyaris menjadi begitu dekat dengan Reno. “Setelah semua yang terjadi, Noa masih bisa melanjutkan hidupnya. Kariernya semakin cemerlang dan dia bahkan akan menikah dengan laki-laki pilihannya. Tapi kamu ... kamu udah kehilangan banyak hal. Keadaan ini jadi bikin Papa merasa bersalah.”

“Papa nggak perlu merasa begitu.” Menekan egonya kuat-kuat, Reno mengulurkan tangan, menyentuh milik Darius yang sedikit bergetar. “Apa yang lebih penting buat Reno sekarang adalah memastikan anak Reno tumbuh dengan baik tanpa kekurangan kasih sayang. Nggak masalah bahkan kalau Reno harus melajang seumur hidup, asalkan anak Reno bahagia. Karena percuma menikah kalau kehadirannya enggak akan diterima.”

“Dia pasti mau terima, Ren, ayo kita coba.” Darius masih kekeuh.

Reno menggeleng, berusaha keras menyunggingkan senyum meski berat dan terpaksa. “Dia mungkin bisa, tapi keluarganya enggak.”

Bahu Darius layu seketika, ia mengembuskan napas begitu berat. “Papa makin merasa bersalah sekarang. Kalau aja dulu Papa nggak kekeuh untuk minta kamu rawat—“

“Pa,” potong Reno lagi. Ia tidak ingin Darius melanjutkan kalimatnya. Akan terlalu menyakitkan mendengarkan rangkaian kalimatnya secara utuh. “Ini bukan kayak Papa sengaja menitipkan seorang anak dan memaksa Reno buat tanggung jawab. No, ini nggak kayak gitu. She’s my child, my own child, udah semestinya Reno rawat dia.”

“Tapi, Ren—“

“Let’s stop here.” Reno menepuk punggung tangan Darius dua kali, lalu melepaskan genggaman tangannya. “Papa nggak perlu merasa bersalah untuk apa pun, dan Reno harap ini kali terakhir kita membahas soal ini.”

Darius tidak menjawab. Terlalu kalut, perasaannya campur aduk. Walaupun Reno selalu bilang tidak apa-apa dan bertingkah seolah baik-baik saja, ia jelas mengerti bahwa keadaan ini sama sekali tidak mudah untuk lelaki itu. Ini semua memang salahnya. Kalau saja dulu ia tidak memaksakan kehendak, Reno mungkin bisa menjalani kehidupannya dengan lebih bahagia.

Tetapi, apa mau dikata? Waktu tidak bisa diputar kembali, dan apa yang bisa Darius usahakan adalah mencoba memperbaiki keadaan. Namun, jika niatnya itu pun tidak bisa diterima oleh Reno, ia harus berbuat apa?

Sementara Darius berkutat dengan pikirannya, Reno bergegas memutus kontak, enggan berlama-lama tenggelam dalam situasi yang biru ini. “Kasih tahu aja tanggal pertunangannya, nanti Reno datang sama cucu Papa.” Pungkasnya. Gegas putar balik, mengayun langkah cepat tanpa sedikit pun keinginan untuk menoleh ke belakang.

Seperti yang ia katakan kepada Darius sebelumnya, semua ini telah berlalu. Sudah seharusnya pembahasan ini ditinggalkan, dikubur dalam-dalam dan tak lagi dikuak ke permukaan. Sekarang adalah saatnya untuk menatap ke depan dan memulai kehidupan dengan skenario yang baru.

Bersambung....

1
F.T Zira
lha... gak sadar main nyelonong😅😅😅..
ninggalin 🌹 dulu buat ka author✌️✌️✌️
Zenun
Tidur aja, Renonya lagi kena pelet masa lalu😁. Tapi dia lagi di obatin sama Noa sama Laras kok
nowitsrain: Atuh nggak bisa goyang
Zenun: ehehehehe, digoyangin aja
total 5 replies
Zenun
tuh dengerin Ren
nowitsrain: Iyaaa
Zenun: ya ampun, se-rombeng itukah kuping Reo
total 5 replies
Dewi Payang
Untung bukan roh jahat🤣🤣
Dewi Payang: wkwk🤣
nowitsrain: Roh jahat mah udah dipaten sama Pak Ruben
total 2 replies
Dewi Payang
Sisa hidup kamu Ren.... ingat kata2 itu Ren....😄😄
Dewi Payang: 😄😄😄😄😄
nowitsrain: Iya tuuu
total 2 replies
Dewi Payang
Jangan, tar kamu jadi kuda lumping Ren
Dewi Payang: 🤣🤣🤣🤣🤣
nowitsrain: Wkwk mau debus dia kak
total 2 replies
Alesha Qonita
baca judulnya mirip sama drakornya babang ichang dan mami Ji-won 😂, Yangyang couple 🤭
Dewi Payang
sepupuan yaa saama si Laras?
nowitsrain: Bukan Kak hehe
total 1 replies
Dewi Payang
Untuk selalu ada? What? Aduh Ren....
Dewi Payang: 🥺🥺🥺🥺🥺🥺
nowitsrain: Sebagai sesama manusia 😭
total 2 replies
Nana Hazie
kenapa teresa nggak suka banget ma clarisa ya
Aresteia
good
esterinalee
luar biasa
Zenun
tuh kan tuh kan
nowitsrain: Salahhhhhh sayangkuuu
Zenun: iiiihh bener itu
total 5 replies
Zenun
setelin lagi last child coba
Zenun: penantian😄
nowitsrain: Wkwk lagu yang mana nih yang cocok untuk menggambarkan suasana suram ini
total 2 replies
Zenun
ada mah, di dengkul hehe
Zenun: hihihihi
nowitsrain: Wow, pantes...
total 2 replies
Zenun
lagi begulet jangan-jangan
Zenun: nyok 🏃‍♀️
nowitsrain: Astaghfirullah... ayo kita grebek!
total 2 replies
Zenun
Omelin mak. Reno masih aja bermain-main sama masa lalu hihihi
Zenun: Reno sukanya nyari kuman nih
nowitsrain: Emang sukanya nyari penyakit
total 2 replies
Dewi Payang
Ren.... Ren... bisa ga sih, ga usah pake peluk2 gitu.....
Dewi Payang: 🤣🤣🤣🤣🤣👍
nowitsrain: Bener sih ini...
total 6 replies
Dewi Payang
Seperti Clarissa bakalan lama deh Mam,🤭
nowitsrain: Betul...
Dewi Payang: Dia memang gak jahat kak, tapi situasi akan membuat dia terlihat jahat karena berada diantara Reno dan Ageeta, iya gak kak....
total 7 replies
Dewi Payang
Baru baca fikirannya si Mami, kok udah buat aku antipati sama si Clarissa🤭
nowitsrain: 😌😌 begitulah
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!