NovelToon NovelToon
Teluk Narmada

Teluk Narmada

Status: tamat
Genre:Tamat / Teen Angst / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Angin pagi selalu dingin. Ia bergerak. Menerbangkan apa pun yang sekiranya mampu tuk diterbangkan. Tampak sederhana. Namun ia juga menerbangkan sesuatu yang kuanggap kiprah memori. Di mana ia menerbangkan debu-debu di atas teras. Tempat di mana Yoru sering menapak, atau lebih tepatnya disebabkan tapak Yoru sendiri. Sebab lelaki nakal itu malas sekali memakai alas kaki. Tak ada kapoknya meskipun beberapa kali benda tak diinginkan melukainya, seperti pecahan kaca, duri hingga paku berkarat. Mengingatnya sudah membuatku merasakan perih itu.

Ini kisahku tentangku, dengan seorang lelaki nakal. Aku mendapatkan begitu banyak pelajaran darinya yang hidup tanpa kasih sayang. Juga diasingkan keluarganya. Dialah Yoru, lelaki aneh yang memberikanku enam cangkang kerang yang besar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 16

"Kalau yang ini, namanya Zahirah. Sekarang dia tinggal di luar negeri. Nah, yang terakhir tentunya kamu tahu siapa," ujar ibu-ibu tua yang aku temui di mushola.

Tentu saja aku mengenal wajah itu. Itu adalah bibi sewaktu kecil. Mungkin ketika seusia Fara. Imut sekali. Tapi tidak mirip dengan Fara, sebab Fara lebih mirip wajah ayahnya.

Ibu-ibu tua ini bernama Mei. Aku diminta untuk memanggilnya nenek Mei, karena merasa terlalu tua untuk dipanggil ibu. Jari telunjuknya yang sedari tadi menunjuk satu persatu foto anak-anak di dinding itu telah diturunkan.

Ransel biru mudaku tergeletak di tikar anyam dalam keadaan terbuka. Aku sempat membaca soal sambil menunggu nenek Mei membuat minuman tadi. Ya, alhasil aku benar-benar tidak dapat melanjutkan perjalanan dengan lancar. Usai salat asar, nenek Mei mengajakku untuk ke rumahnya. Ia tidak memaksa. Tapi raut wajahnya yang keriput itu seperti magnet bagiku. Sehingga membuat tidak tega untuk menolak. Jadilah, aku bertamu ke rumah seseorang yang baru kukenal.

Puluhan tahun lalu, suami nenek Mei mengajar anak-anak mengaji. Ia berhenti setahun sebelum meninggal dunia karena sakit-sakitan. Bibi adalah salah muridnya. Rumah ini sangat ramai karena kehadiran anak-anak itu. Pasutri tersebut sangat bahagia dengan keadaan rumah yang ramai karena mereka tidak memiliki keturunan.

"Ayo, silakan duduk. Maaf, ya. Tikarnya sudah jelek. Saya belum punya uang untuk membeli yang baru," ucap nenek Mei sambil duduk mendahuluiku.

"Tidak apa-apa, Nek." Aku menjawab singkat.

"Tehnya, ayo diminum. Kamu suka teh tawar? Saya sudah lama tidak menyediakan gula karena dokter melarang saya mengonsumsi gula."

Teh tawar yang disediakan nenek Mei sudah dingin. Bagaimana tidak, setelah membawakan teh, ia tak langsung mempersilakan aku meminumnya, melainkan berbelok melihat dinding untuk memperkenalkan murid-muridnya kepada. Yang kini telah dewasa semua. Yang kini telah berpencar semua. Hanya bibi dan satu orang temannya yang masih setia tinggal di desa ini.

"Jadi, nenek tinggal sama siapa di sini?" tanyaku.

"Sendiri saja, Nak." Nenek Mei menjawab sendu.

"Bagaimana dengan keluarga Nenek yang lain? Di mana mereka?"

"Nasib saya yang sekarang adalah hukuman atas kesalahan di masa lalu yang pernah saya perbuat, Nak. Saya berasal dari Jawa Tengah. Begitu pun suami saya. Kami tidak direstui keluarga karena suami saya tidak memiliki pekerjaan tetap. Saya terlalu terbuai dengan asmara. Hingga kami memilih nikah siri dan pindah ke sini. Kami merasa beruntung memilih tempat ini. Karena tidak sulit untuk mendapatkan uang walaupun tidak seberapa. Tapi, tidak ada orang kelaparan di sini. Jauh berbeda dengan kota-kota besar. Di mana banyak orang melalukan segala cara demi secuil makanan. Tapi, hukuman kami bukan dari sana. Melainkan yang lainnya. Rahim saya harus diangkat," tutur nenek Mei, ia masih berusaha tetap tersenyum pada wajah keriputnya.

Rumah nenek Mei masih layak huni. Aku yakin ia mendapatkan bantuan dari pemerintah. Atau warga yang berbaik hati. Sebab, catnya masih terlihat baru, juga atapnya. Semua orang di sekitar sini pasti mengetahui kondisi nenek Mei.

"Aku paham. Jadi, Nenek benar-benar tinggal sendirian sekarang. Tapi, ada Allah kok, Nek," ucapku menghibur.

Nenek Mei tersenyum.

"Banyak orang yang peduli. Tapi tentu itu tidak akan sama dengan keluarga. Saya tetap merasa sebatang kara. Seluruh rasa sesal terus menyerang. Saya sering berharap, agar waktu bisa diputar kembali. Agar tidak meninggalkan keluarga. Kesepian di masa tua itu tidak enak."

❀❀❀

Kejadian itu terulang. Aku pulang dari rumah nenek Mei malam harinya. Setelah magrib. Seperti kembali ke masa lalu. Yoru terlihat sedang duduk jongkok membelakangiku. Kepalanya mendongak melihat rembulan yang berbentuk sabit. Kemeja lusuhnya kusut lagi. Kakinya tanpa alas. Angin malam membuat rambut gondrongnya menari-nari. Bertemankan aroma bunga sedap malam yang menyengat.

Lelaki itu menoleh. Masih dalam keadaan jongkok. Aku berhenti melangkah sekitar lima meter di belakangnya.

"Sudah lama sekali kamu tidak muncul," ujarku kepadanya.

Tentu saja aku tidak mengharapkan tanggapan yang sesuai dengan ucapanku kepada seseorang se-aneh Yoru.

Sepertinya, lampu jalanan sudah diganti baru. Karena jauh lebih terang dari sebelumnya. Ya, bagaimana pun. Itu sudah lumayan lama sejak terakhir kali aku lewat di jalan ini.

Wajah Yoru terlihat cerah sekali. Wajahnya bersih. Tanpa luka. Bekasnya pun tidak terlihat. Atau memang sudah sembuh. Mungkin.

Ia tersenyum kecil. Namun seketika menciptakan degup kencang pada jantungku. Ah, tidak. Ini bukan jatuh cinta. Bukan. Tapi, seorang Yoru tersenyum dengan benar seperti itu? Bukan lagi cengegesan yang bikin emosi itu? Lebih mirip senyuman orang normal. Kurang lebih begitulah. Sangat normal jika berbicara tentang orang seperti Yoru.

"Bulan itu mirip senyuman," ucapnya setelah kembali mendongak ke arah bulan sabit.

Aku mencengkram tali ranselku dengan kencang. Senyuman itu langsung tersimpan dalam memoriku. Dapat aku jamin bahwa nantinya akan menjadi penyebabku insomnia. Tapi, baguslah. Aku bisa menggunakannya begadang untuk menyelesaikan PR. Bahkan satu soal pun tak dapat aku kerjakan di rumah nenek Mei. Tak ada jeda karena cerita panjang dari wanita berusia 70-an itu.

Pandanganku turut mengarah ke langit. Sembari memerhatikan bulan dengan lekat. Benar. Mirip sebuah senyuman.

"Yoru," panggilku.

"Hm," jawab Yoru singkat tanpa menoleh.

Apakah ini sebuah keajaiban dunia? Lelaki aneh itu benar-benar merespon. Tidak lagi belagak bak anak berkebutuhan khusus. Astaga, bagaimana ini? Jantungku berdebar. Yoru merespon. Ada apa dengannya? Atau lebih tepatnya, ada apa denganku?

Beberapa menit aku biarkan hening. Manusia satu itu juga sudah seperti patung. Tanpa bergerak. Terus menatap rembulan yang dilihatnya mirip senyuman.

"Aku senang melihatmu tanpa luka. Tetaplah seperti itu," ucapku menerobos hening.

Kemudian aku melangkah, melewati lelaki yang jongkok itu. Tak ada panggilan. Astaga, kenapa aku berharap dipanggil olehnya. Mana mungkin? Mungkin tadi ia hanya khilaf sewaktu merespon panggilanku dan sekarang, ia telah kembali menjadi dirinya yang aneh itu.

Sialnya, aku benar-benar tidak tahan. Akhirnya, aku menoleh ke belakang. Seketika itu pula aku melihat pandangan Yoru bukan ke arah bulan, memainkan ke arahku. Menyadari itu, ia langsung menunduk. Lantas kembali mendongak ke arah sang senyuman langit malam.

Aku tak tahan lagi, "Kamu tidak pulang?"

Yoru menggeleng.

Hei, dia kembali merespon. Walaupun pandangannya tidak berpindah dari bulan itu.

"Kenapa?" Aku bertanya lagi.

"Bukankah kamu senang jika tubuhku tanpa luka? Jika aku pulang, bukankah kamu tahu bahwa di sana aku sering terluka?"

Seluruh sendi seolah berhenti berfungsi sejenak. Jadilah patung sementara. Beginikah cara patung melihat dunia? Seperti inikah cara meniru patung dengan sempurna?

Mungkin pipiku memerah. Tak mungkin bisa aku bertahan lebih lama lagi. Kakiku berlari kencang tanpa aba-aba. Walaupun hati kecilku meronta untuk tetap di sana dan berbincang lebih banyak lagi dengan Yoru.

1
_capt.sonyn°°
ceritanya sangat menarik, pemilihan kata dan penyampaian cerita yang begitu harmonis...anda penulis hebat, saya berharap cerita ini dapat anda lanjutkan. sungguh sangat menginspirasi....semangat untuk membuat karya karya yang luar biasa nantinya
Chira Amaive: Thank you❤❤❤
total 1 replies
Dian Dian
mengingatkan Q sm novel semasa remaja dulu
Chira Amaive: Nostalgia dulu❤
total 1 replies
Fie_Hau
langsung mewek baca part terakhir ini 😭
cerita ini mengingatkan q dg teman SD q yg yatim piatu, yg selalu kasih q hadiah jaman itu... dia diusir karna dianggap mencuri (q percaya itu bukan dia),,
bertahun2 gk tau kabarnya,,, finally dia kembali menepati janjinya yg bakal nemuin q 10 tahun LG😭, kita sama2 lg nyusun skripsi waktu itu, kaget, seneng, haru..karna ternyata dia baik2 saja....
dia berjuang menghidupi dirinya sendiri sampai lulus S2,, masyaAllah sekarang sudah jd pak dosen....

lah kok jadi curhat 🤣🤦
Chira Amaive: keren kak. bisa mirip gitu sama ceritanya😭
Chira Amaive: Ya Allah😭😭
total 2 replies
Iif Rubae'ah Teh Iif
padahal ceritanya bagus sekali... ko udah tamat aza
Iif Rubae'ah Teh Iif
kenapa cerita seperti ini sepi komentar... padahal bagus lho
Chira Amaive: Thank youuuu🥰🤗
total 1 replies
Fie_Hau
the first part yg bikin penasaran.... karya sebagus ini harusnya si bnyak yg baca....
q kasih jempol 👍 n gift deh biar semangat nulisnya 💪💪💪
Chira Amaive: aaaa thank you🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!