Kuliah? Haruskah aku menjadi cepat dewasa, menemukan pasangan lalu menikah? Tunggu, aku harus meraih gelar sarjanaku lebih dulu. Tapi, bagaimana kalau bisa meraih keduanya?
Oh, Tidak ...! Ini benar-benar membingungkan.
Ini kisah Adinda Dewi Anjani, gadis desa yang terpaksa merantau ke kota untuk kuliah, demi menghindari perjodohan dengan anak kepala desa yang ketampanannya telah menjadi sorotan berita.
Lika-liku kisah Anjani mengejar gelar sarjana, tak luput dari godaan cinta masa kuliah. Apalagi, tren slogan "Yang Tampan Jangan Sampai Dilewatkan" di antara geng kampusnya, membuat Anjani tak luput dari sorotan kisah cinta. Lalu, akankah Anjani lebih memilih cinta sesama daripada gelar yang pernah dimimpikan olehnya? Atau justru pembelajaran selama masa kuliah membuatnya sadar dan memilih hijrah? Yuk, kepo-in ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indri Hapsari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CS1 Meleleh
Waktunya telah tiba. Saatnya bagi mahasiswa baru untuk melakukan pemrograman mata kuliah atau lebih akrab dikenal dengan KRS. Pagi itu kampus dipenuhi mahasiswa baru yang sama-sama menyimpan antusias tinggi untuk memulai aktivitas kuliah. Tidak ada lagi seragam sekolah seperti saat SMA. Semua mahasiswa terlihat rapi dengan balutan busana yang disesuaikan dengan gaya mereka, tapi masih tetap dalam koridor sopan untuk digunakan di area kampus.
Anjani dan Meli berlarian kecil menuju gedung utama jurusannya. Sebenarnya mereka berdua sudah datang ke kampus tepat waktu, tapi rupanya baik Anjani ataupun Meli sama-sama kekurangan informasi. Saat beberapa teman sudah berhasil mendapat persetujuan terkait Kartu Rencana Studi (KRS) mereka, Anjani dan Meli justru masih mau menemui dosen PA (Pembimbing Akademik).
"Hei kalian, dari mana saja?" tanya Dika yang tidak sengaja berpapasan.
"Tadi ... anu ... Ah, di mana ruang dosennya?" tanya Meli dengan nafas tersengal karena berlarian.
"Di sana. Kita satu dosen PA," jelas Dika.
"Kamu sudah dari sana?" tanya Anjani.
"Barusan aja. Yuk, kuantar." Dika sukarela menawarkan.
Anjani beruntung bertemu teman seangkatan seperti Dika. Mengikuti Dika, Anjani dan Meli diantar menuju lantai dua. Baru melangkah masuk, hawa sejuk AC terasa di kulit. Ruangan tersebut sungguh rapi, bersih, dengan koleksi buku-buku akademik di sisi kanan ruangan. Ada dua mahasiswa senior memakai jas almamater yang terlihat sedang berkutat dengan kertas-kertasnya. Sepertinya mereka berdua adalah mahasiswa tingkat akhir.
"Silakan masuk, ke sini!" Pak Koko memberi perintah untuk mendekat ke mejanya.
Pak Koko tampak ramah dengan senyumannya. Beliau memakai kacamata dengan rantai terkait di sana. Rambutnya beruban, juga terlihat ada sedikit keriput di wajahnya. Kemeja putih yang dipadukan dengan dasi membuat penampilannya terlihat rapi dan formal.
"Anjani dan Meli, saya ucapkan selamat menempuh masa perkuliahan. Jika ada hal yang ingin dikonsultasikan terkait perkuliahan, jangan pernah ragu menemui saya. Hal lainnya, bisa kalian tanyakan pada Dika. Saya mohon izin dulu ke acara sidang skripsi kakak angkatan kalian. Itu mereka di sana." Pak Koko menunjuk ke arah dua mahasiswa senior yang tadi berkutat dengan kertas. "Oke, sudah cukup, ya. Saya permisi dulu." Pak Koko beranjak dari kursinya.
"Se ... sebentar, Pak. Maaf, saya boleh tanya?" tanya Meli tiba-tiba.
"Silakan!"
"Bapak namanya siapa, ya?" tanya Meli tanpa basa-basi.
Mendengar itu, tidak hanya Anjani dan Dika saja yang terkejut. Dua mahasiswa senior yang sejak tadi berkutat dengan kertasnya juga tidak kalah terkejut. Entah apa yang dilakukan Meli saat perkenalan dosen-dosen di acara OSPEK lalu, hingga tidak mengingat nama dosen yang saat ini menjadi pembimbing akademiknya.
Anjani menyenggol pelan lengan Meli, sambil memalingkan wajah ke sisi kiri. Dika seketika menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sembari melihat ke sembarang arah. Dua mahasiswa senior yang ada di ruangan itu mendadak terbatuk dan berdehem. Sementara Meli justru merasa tidak ada yang aneh dengan pertanyaannya.
"Hahaha, kamu lucu sekali, ya. Tidak apa-apa. Perkenalkan, nama saya Koko. Panggil saja Pak Koko. Sudah, saya pamit dulu, ya. Permisi." Pak Koko terlihat masih tertawa sambil menuju ke arah pintu keluar, diikuti oleh dua mahasiswa senior yang juga ikut tertawa meski tertahan.
"Anjani, salahku di mana coba?" tanya Meli menyelidik.
"Enggak, nggak salah sama sekali kok, Mel." Anjani mencubit pipi sahabatnya karena gemas.
"Sudah, yuk. Kita langsung KRS-an aja. Kalian belum juga, kan?" tanya Dika pada Anjani dan Meli.
"Belum. Nggak tau caranya, juga. Kita ketinggalan informasi karena kemarin belum gabung grup chat." Anjani menjawab apa adanya. Dia dan Meli baru tadi pagi bergabung dengan grup chat teman seangkatannya.
"Kalian punya laptop?" tanya Dika kemudian.
Anjani menggeleng, tanda tidak punya. Demikian pula dengan Meli.
"Cari pinjeman, yuk. Sekalian minta ajari. Teman-teman yang lain pasti sudah bubar." Dika mengusulkan.
"Emang kamu belum juga?" tanya Meli.
Dika nyengir, "Belum. Tadi aku masih ada urusan. Jadi sampai kampus nggak tepat waktu."
"Yaudah, ayo!" Anjani mendahului langkahnya, kemudian diikuti Meli dan Dika.
***
Tiga lelaki tampan, Mario, Ken, dan Juno tengah berkumpul di salah satu gazebo gedung jurusannya. Di gedung tempat mereka bertiga kuliah memang difasilitasi gazebo-gazebo yang telah dilengkapi dengan port hub yang memudahkan mahasiswa mengisi daya laptop ataupun smartphone miliknya. Dengan begitu, mahasiswa akan lebih nyaman saat seharian harus berada di kampus demi menyelesaikan tugas-tugas mata kuliah.
Ken asyik dengan smartphone miliknya. Dia sedang mengisi TTS online berhadiah. Selain gemar berenang di kolam renang rumah Mario, Ken juga gemar mengisi TTS. Tepat di hadapan Ken, ada Juno yang sedang serius memperhatikan penjelasan Mario. Rupanya, Mario menjadi tutor dadakan saat Juno memintanya untuk membantu menyelesaikan KRS.
"Juno, kenapa nggak bareng sama teman seangkatanmu saja? Pasti mereka sudah." Ken bertanya pada Juno, kini dia sudah merasa puas dengan TTS-nya.
"Aku bingung, Mas. Kayaknya semua sudah punya geng," jelas Juno.
"Geng apaan? Yang ada itu teman dekat. Kayak aku sama Mario tuh contohnya. Bener kan, Mario?" tanya Ken pada Mario.
"Hm." Hanya itu jawaban Mario. Dia tidak begitu serius menanggapi ucapan Ken. Setelah selesai menjadi tutor untuk Juno, dia segera berkutat dengan smartphone miliknya dan kembali larut mempelajari hal-hal yang dapat berguna untuk pengembangan produk sepatu di pabrik ayahnya.
"Ah! Kamu lihat sendiri, Juno. Meskipun aku sering dapat jawaban seperti itu, Mario tetap sahabat baikku." Ken terlihat bangga dengan sahabatnya, Mario.
Untuk beberapa saat, ketiganya larut dalam smartphone masing-masing. Hingga Juno kemudian melihat Anjani dari gazebo yang ditempatinya.
"Mas, itu ada Anjani dan temannya. Panggil ke sini, ya?" Juno bersemangat melihat teman-temannya.
"Tidak perlu," jawab Mario singkat tanpa memalingkan pandangan dari smartphone miliknya.
Kata 'tidak perlu' yang baru saja diucapkan oleh Mario rupanya diabaikan oleh Juno. Berlarian kecil, Juno bergegas menuju Anjani dan teman-temannya. Mario tidak berupaya untuk mencegah Juno. Dia hanya melirik sekilas ke arah Anjani, kemudian kembali fokus dengan smartphone miliknya. Bagaimana dengan Ken? Tentu saja, Ken bersemangat melihat Juno mengajak teman-temannya untuk bergabung.
Ken memanggil Mario, memainkan kedua alisnya, kemudian tersenyum penuh arti.
"Ada apa, Ken? Kau terlihat lapar. Apa sebaiknya kita pergi cari makanan?" tanya Mario.
"Ah! Siapa yang lapar sih. Tuh, kita kedatangan banyak teman baru. Kuliah jadi makin seru, nih." Ken antusias.
"O." Lagi-lagi jawaban minimalis meluncur dari Mario.
Ken berdiri sebagai tanda antusias menyambut teman-teman Juno. Wajah-wajah tersebut sangat dikenal oleh Ken sejak acara penyambutan mahasiswa baru. Ken mencolek lengan kiri Mario agar menunjukkan ekspresi ramah kepada juniornya. Usaha Ken berhasil, Mario sekilas tersenyum lalu kembali dengan kesibukannya.
Anjani tersenyum pada Ken. Semenjak pertemuan di cafe Bro-Sis, Anjani telah menganggap Ken sebagai temannya. Beralih kepada Mario, Anjani juga tersenyum ke arahnya, meski senyuman itu tidak dibalas oleh Mario.
Sejenak, Anjani merasa aneh. Dulu, saat pertama kali dia bertemu dengan Mario di toko bunga Kak Lisa, saat Mario memberinya buket bunga, Mario terlihat ramah dengan senyuman menghiasi wajahnya. Semakin lama, Mario justru lebih sering tampil dengan sikap dinginnya.
Kemana wajah ramah itu? Apakah dia sama sekali tidak peduli dengan sekitarnya? batin Anjani.
"Hei, Anjani. Ngelamunin apa, sih?" tanya Juno sambil menjentikkan jarinya di depan wajah Anjani.
"Nggak, kok. Jadi bantuin kita, kan?" tanya Anjani.
"Tentu saja, Anjani. Dengan sukarela, Mas Mario akan membantumu," jelas Juno dengan semangat.
Wajah Mario terangkat. Dia melihat ke arah Anjani, Meli, dan Dika secara bergantian. Terlihat ekspresi wajah yang berbeda dari ketiganya. Dika hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk, berharap Mario akan membantunya. Meli begitu bersemangat dengan wajah cerianya, dan akan tetap ceria meski Mario tidak bersedia membantunya. Dan ... Anjani, dia hanya tersenyum ramah.
"Baiklah," jawab Mario pada akhirnya.
Jawaban singkat itu membuat Ken berselebrasi. Entah mengapa dia terlihat begitu gembira.
Jadilah, Mario membantu Anjani dan teman-temannya. Mario kembali mengulang apa yang telah dia ajarkan kepada Juno tadi. Penjelasan Mario begitu mudah dipahami, sehingga membuat juniornya tidak banyak bertanya.
Diam-diam, Anjani menangkap wajah Mario. Mario memang terlihat tampan seperti yang dibicarakan teman-teman seangkatannya. Pantas saja banyak sekali yang mengidolakan. Tiba-tiba, Anjani merasa aneh setelah menangkap wajah itu. Sikap dingin Mario seolah meleleh saat dia sedang berbicara, menjadi tutor atau bahkan menjadi motivator seperti saat dia berpidato di OSPEK hari ketiga.
Tunggu, sikap dinginnya yang meleleh atau justru hatiku yang meleleh? batin Anjani. Tiba-tiba saja dia disergap oleh pemikiran tak masuk akal. Hal itu membuatnya tertawa tertahan.
"Anjani, apakah cara bicaraku begitu lucu sampai membuatmu tertawa tertahan seperti itu?" tanya Mario yang kini menatap ke arah Anjani.
Anjani kaget, "Nggak sama sekali kok, Kak."
"Baiklah. Selesai. Perhatikan jadwal tatap muka setiap mata kuliah. Kalian akan diajar oleh dosen yang berbeda di setiap mata kuliah." Mario menjelaskan dengan nada khas yang pernah didengar Anjani saat pidato dulu.
"Good job, bro! By the way, apa kalian sudah bersiap untuk acara hari Minggu nanti?" tanya Ken sambil mengingatkan juniornya.
Anjani sempat terlupa dengan acara yang dimaksud Ken. Hari Minggu ada kegiatan terakhir dari serangkaian acara OSPEK mahasiswa baru. Dalam kegiatan tersebut, mahasiswa baru diharuskan ber-partner dengan temannya. Anggota kelompok bebas memilih sendiri dan maksimal terdiri dari sepuluh orang. Setiap kelompok nantinya akan saling unjuk gigi, memamerkan sekaligus menjual produk yang telah disepakati dengan kelompoknya. Acara tersebut sudah rutin dilakukan sejak beberapa tahun terakhir guna memberi pengalaman kepada mahasiswa baru tentang dunia wirausaha.
"Gimana kalau kita satu kelompok saja?" usul Juno. "Aku, Anjani, Meli, dan Dika. Gimana?" tanya Juno meminta tanggapan.
"Aku setuju. Produknya bisa kita bicarakan nanti. Untuk modal, kita bisa patungan. Toh, nanti bisa kembali dari hasil jual." Kini giliran Dika menanggapi.
Anjani dan Meli terlihat saling pandang. Tak lama kemudian Meli mengangguk, tanda setuju. Melihat anggukan itu membuat Anjani juga memutuskan untuk setuju.
"Usul," kata Mario tiba-tiba dan sukses membuat setiap wajah memperhatikan dirinya. "Sebaiknya kalian bekerjasama dengan toko bunga tempat Anjani bekerja. Kalaupun nantinya tidak habis terjual, kalian bisa mengembalikan. Tentu dengan membuat suatu kesepakatan dulu. Masih ada cukup waktu untuk menyiapkan. Dari sana, kalian akan dapat pengalaman berharga." Mario memberi ide sekaligus nasihat untuk juniornya.
"Kak Mario, aku kan juga kerja di sana. Kok cuma Anjani saja sih yang disebut?" Meli manyun, lebih tepatnya iri karena hanya nama Anjani yang disebut Mario.
"Haha, iya Meli. Tuh, namamu sudah kusebut." Ken bercanda.
Untuk beberapa saat, mereka larut dalam canda tawa. Ada pula pembicaraan yang dibuat untuk sekedar basa-basi sekaligus menambah keakraban. Meski banyak topik yang dibahas, Mario tetap saja hanya sesekali menanggapi dan lebih sering melihat ke arah smartphone miliknya.
Apa sebenarnya yang dilihat di smartphone-nya? Bikin penasaran saja, batin Anjani.
Anjani memang tidak pernah tahan dengan segala hal yang membuatnya penasaran. Sikap Mario yang seperti itu telah sukses membuat Anjani diam-diam melirik ke arah Mario hingga berkali-kali. Sempat tidak sengaja Mario juga meliriknya, hingga membuat keduanya terjebak dalam adu lirik, kemudian saling tertunduk dan diam seribu bahasa.
"Kita pulang dulu, ya. Terima kasih sudah membantu," kata Anjani kemudian.
"Anjani, mau kuantar pulang?" tanya Juno.
"Jangan coba-coba memulai, Juno. Kau tetap di sini!" Ken mengingatkan Juno.
"Ah! Mas Ken nggak asyik."
Anjani, Meli, dan Dika berkemas. Mereka memastikan tidak ada barang yang tertinggal di gazebo. Selesai, Dika pamit lebih dulu menuju motornya. Meli juga tampak siap dengan tas yang sudah menggantung di lengan kanannya.
"Sampai ketemu lagi Juno, Kak Ken, dan ... terima kasih Kak Mario." Anjani tersenyum ramah pada Mario.
"Hm."
***
Mohon maaf bila ada typo 😉
Tunggu lanjutannya, ya 😊
Jangan lupa dukung author dengan cara like, vote, dan tinggalkan jejak komentar agar author lebih bersemangat. See You 💖
FB : Bintang Aeri
IG : bintang_aeri
Dukung karya author di sana ya 💙
Eh, aku juga punya cerita nih guys.
Nggak usah penasaran ya, karena bikin nagih cerita nya🥺
jgn lupa mampir juga di novelku dg judul "My Annoying wife" 🔥🔥🔥
kisah cewe bar bar yang jatuh cinta sama cowo polos 🌸🌸🌸
tinggalkan like and comment ya 🙏🙏
salam dari Junio Sandreas, jangan lupa mampir ya
salam hangat juga dari "Aster Veren". 😊