NovelToon NovelToon
Mu Yao: Hidup Kembali Di Dunia Yang Berbeda

Mu Yao: Hidup Kembali Di Dunia Yang Berbeda

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi
Popularitas:7.7k
Nilai: 5
Nama Author: Seira A.S

Mu Yao, seorang prajurit pasukan khusus, mengalami kecelakaan pesawat saat menjalankan misi. Secara tak terduga, ia menjelajah ruang dan waktu. Dari seorang yatim piatu tanpa ayah dan ibu, ia berubah menjadi anak yang disayangi oleh kedua orang tuanya. Ia bahkan memiliki seorang adik laki-laki yang sangat menyayanginya dan selalu mengikutinya ke mana pun pergi.

Mu Yao kecil secara tidak sengaja menyelamatkan seorang anak laki-laki yang terluka parah selama perjalanan berburu. Sejak saat itu, kehidupan barunya yang mendebarkan dan penuh kebahagiaan pun dimulai!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seira A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7 : Bikin Sepatu Kulit

Gerobak sapi baru sampai di desa menjelang sore. Keluarga Mu tinggal bertetangga dengan keluarga Niu Er. Begitu sampai di depan rumah, Niu Er juga bantuin mereka nurunin beras dan tepung ke dalam rumah. Mu Yao langsung nyodorin dua bakpao daging yang dibungkus terpisah ke tangan Niu Er.

“Paman Niu, ini dua bakpao buat adik kecil Niu Bing ya!”

Keluarga Niu cuma punya dua anak. Anak pertama namanya Niu Jun, yang kecil Niu Bing. Niu Jun umurnya sebelas tahun dan kerja bantu-bantu di dapur restoran di kota. Karena rajin dan cerdas, dalam waktu kurang dari setahun gajinya naik dari dua ratus jadi empat ratus wen, hampir nyamain gaji orang dewasa.

Anak keduanya, Niu Bing, seumuran sama Mu Xiao, baru lima tahun. Keluarga Niu sering bawain permen buat Niu Bing, dan biasanya sekalian juga ngasih buat Xiao Xiao. Mu Yao selalu inget kebaikan itu. Daging ikan, daging ular, semuanya sering dibagi ke keluarga Niu juga. Hidup itu kan soal tahu balas budi. Kalau orang baik sama kita, kita juga harus baik balik, biar hidup bertetangga rukun. Niu Er pamit sambil bawa bakpao, lalu pulang.

Mu Xiao ngelihat kakaknya bawa cambuk dan pisau, langsung terpukau. Gaya kakaknya bener-bener kayak pendekar perempuan dari cerita-cerita yang sering diceritain Ibu! Mu Yao yang lihat adiknya suka banget sama pisaunya, langsung nyodorin ke Xiao Xiao.

“Xiao Xiao suka pisau ini nggak?”

“Suka banget! Xiao Xiao suka senjata besar!” jawabnya sambil sumringah.

“Kalau gitu, ini kakak kasih buat kamu ya,” kata Mu Yao sambil ngasih pisaunya.

Mu Yao memang punya senjata sendiri, dan sejak awal berencana ngasih yang ini ke adiknya saat sudah cukup besar. Tapi sekarang lihat Xiao Xiao terus natap pisau itu, ya udah dikasih aja sekalian. Xiao Xiao pegang pisau itu dan langsung merasa berat banget!

Gagang pisau itu ada cincin besi kecil dengan sehelai pita merah. Gagang dan sarungnya terbuat dari kayu jujube. Polanya indah, mirip barisan gunung, halus saat disentuh.

Pisau itu cukup panjang, hampir setinggi ketiak Mu Xiao. Dengan susah payah dia coba mencabutnya. Begitu keluar, terasa hawa dingin yang menusuk. Bentuknya melebar di bawah dan menyempit di atas, dengan ujungnya yang bergerigi seperti bulan sabit. Meski bagian atas mata pisaunya ada sedikit cacat, Xiao Xiao tetap suka banget.

Dia coba angkat dan mainin, tebas kanan-tebas kiri. Tapi karena lengannya kecil, pisaunya belum bisa diangkat tinggi, baru setengah udah jatuh lagi. Tapi dia tetap gigih, terus muter-muter sambil mainin pisau itu.

Mu Yao ngakak liat tingkah lucu adiknya, “Xiao Xiao, nanti kalau kamu udah besar, kakak ajarin main pedang ya?”

Dulu waktu pelatihan, Mu Yao pernah belajar banyak jenis senjata. Nggak jago semua sih, tapi kalau disuruh turun ke medan perang, masih sanggup lah buat bunuh musuh satu dua.

“Janji ya! Kakak harus ajarin nanti!” seru Xiao Xiao sambil ngaitin jari kelingking mereka.

Meskipun nanti yang benar-benar ngajarin Xiao Xiao bukan Mu Yao, tapi momen manis itu tetap berkesan.

Setelah itu, Mu Yao gantungin pisau di dinding, lalu bantu Ibu beresin barang-barang yang baru dibeli. Rumah mereka cuma ada dua ruangan berdinding jerami. Ruangan yang besar jadi tempat tidur keluarga, semua tidur bareng di dipan besar, cuma dibagi tirai di tengah. Ruangan yang kecil jadi dapur, satu sisi buat tungku dan lemari piring, sisi lain buat simpen beras, tepung, dan dua kendi besar.

Mu Yao dalam hati: Rumah sekecil ini mana cukup, aku harus semangat cari duit biar bisa bangun rumah besar!

Di desa Xiao Nan cuma ada satu sumur, letaknya di tengah-tengah desa. Dinding dan pinggirannya terbuat dari batu, dan tingginya hampir sepinggang Mu Yao. Setiap kali ambil air sampai penuh dua kendi, waktunya lama dan tenaga terkuras. Mereka irit banget soal air, sebisa mungkin nggak boros. Sekarang kondisi tubuh Liu Shi udah lebih baik, jadi dia nggak rela lagi nyuruh anak perempuannya yang capek-capek ambil air. Tapi buat Mu Yao sekarang sih, angkat air mah enteng banget.

Makan malam cuma bubur encer dan bakpao daging yang dibeli. Habis makan, Liu Shi sibuk nyiapin ramuan obat buat suaminya.

Dan bener aja, harga nggak bohong. Setelah minum satu porsi obat, malam itu Mu Cheng langsung ngerasa ada hangat-hangat di pinggang. Setelah habisin tujuh porsi, dia udah bisa duduk pelan-pelan!

Mu Cheng sampai berlinang air mata. Setelah setahun lebih cuma bisa rebahan, dia pikir hidupnya bakal selamanya kayak gini. Ternyata masih ada harapan. Liu Shi juga terharu banget, sampai ikut nangis. Awalnya dia juga nggak terlalu berharap. Tapi karena sekarang udah ada hasil, dia mutusin buat beli beberapa porsi lagi biar suaminya bisa sembuh total. Pas banget Mu Yao beberapa hari ini dapet banyak hasil buruan, kulit kelinci pun numpuk. Mereka putusin buat ke kota lagi.

Harus diakui, keberuntungan Mu Yao emang luar biasa. Setiap masuk hutan, pulang-pulang selalu bawa banyak. Ayam hutan, kelinci, kijang kecil, semuanya dia tangkap. Daging kelinci dan ayam hutan yang kebanyakan, Liu Shi udah kasih garam buat diawetin biar bisa dimakan pas musim dingin. Mu Yao bahkan berhasil nangkap ular belang perak—racunnya jauh lebih ganas dari kobra. Ular ini biasanya nggak keluar siang-siang, tapi yang satu ini pengecualian. Berkat cambuk dan belatinya, Mu Yao berhasil bunuh tanpa kesulitan.

Keesokan harinya mereka ke pasar besar di Kota Da’an. Pasar besar digelar tiap sepuluh hari sekali, pasar kecil tiap lima hari. Karena Kota Da’an termasuk kota terbesar di wilayah Ping County, dan letaknya lumayan jauh dari ibu kota kabupaten, banyak warga dari berbagai desa datang bawa hasil bumi untuk ditukar barang kebutuhan. Pasar kecil jarang didatangi kecuali kalau benar-benar butuh. Orang Desa Xiao Nan pun biasanya nggak datang ke pasar kecil—kebiasaan yang kelak akan diubah Mu Yao.

Pagi-pagi banget, Liu Shi dan putrinya udah siap di pinggir desa bawa keranjang bambu. Hari itu yang mau ke kota ternyata banyak juga. Istri Wang He dari ujung timur desa bawa anak perempuannya, Wang Lan. Pasangan suami istri dari belakang desa juga ikut. Bahkan orang-orang yang biasanya jarang ke kota pun pada muncul.

Begitu gerobak sapi datang, semua rebutan naik, takut nggak kebagian dan harus nunggu giliran kedua. Di desa mereka yang punya lima puluhan rumah cuma ada dua gerobak sapi. Satu milik kepala desa, tapi jarang keluar. Kalau ada keperluan, anaknya yang kerja tukang kayu di kota biasanya sekalian bawain pulang.

Begitu sampai di kota, Liu Shi langsung ajak anaknya ke apotek Ji Shi Tang. Pegawai apotek yang waktu itu lihat mereka datang langsung nyambut hangat. Dia nanya mereka mau beli obat atau jual bahan. Dia cuma lihat kulit kelinci di atas keranjang, nggak tahu ada ‘kejutan’ lain. Begitu dengar Mu Yao mau jual ular dulu baru beli obat, si pegawai langsung bawa mereka ke ruang belakang.

Begitu dengar Mu Yao bawa ular belang perak lagi, Manajer Wan sampai tertegun. Begitu ular dikeluarin, dia langsung nyamber, bikin Liu Shi sampe bengong. Cuma ular doang, segitunya amat!

Ular itu panjangnya sekitar 1,6 meter, beratnya kira-kira 2 jin (sekitar 1 kg). Manajer Wan pernah lihat ular segitu cuma sekali, itu pun di kota kabupaten. Katanya itu udah yang paling besar. Ular kayak gini khasiatnya luar biasa, kalau bisa makan dagingnya dikit aja… Manajer Wan sampai senyum-senyum sendiri sambil mikir.

Mu Yao dalam hati: Ekspresi Manajer Wan kok kayak lagi peluk istrinya sendiri ya?

Kali ini Manajer Wan udah belajar dari pengalaman. Langsung nawarin harga, “Gadis kecil, biasanya yang panjangnya 1,5 meter aku bayar 6 tahil. Punyamu ini 1,6 meter, aku kasih 8 tahil gimana?”

Mu Yao ngerasa harga itu cocok, jadi dia langsung setuju. Setelah itu, Manajer Wang tukerin 1 tahil jadi perak recehan, sisanya dikasih uang kertas. Setelah beli obat, Liu Shi ngerasa jalannya enteng banget. “Perasaan uang kok gampang banget didapetin sekarang ya? Kayak mimpi deh!” saking nggak percaya, dia sampai nyuruh anaknya cubit dia. Mu Yao sampe ketawa-ketawa.

Mereka lanjut belanja ke toko kain langganan—Toko Kain Xing Sheng. Mereka beli beberapa potong kain buat bikin baju hangat. Baju lama mereka udah lusuh, udah beberapa tahun nggak ganti. Sekarang udah ada duit, nggak perlu pelit sama diri sendiri. Mereka juga beli kapas dan perlengkapan jahit. Totalnya habis 130 wen. Liu Shi sekalian nanya, bisa nggak bikin sepatu kulit di sini.

“Maaf mbak, kami nggak bikin sepatu kulit. Tapi dari sini ke kanan, ujung jalan belok kiri, rumah kedua di situ ada yang bisa. Atau ke ujung jalan satu lagi juga ada, lebih jauh sih, tapi orangnya jujur dan harganya murah,” jawab pemilik toko.

“Terima kasih ya, kalau gitu kami coba yang di dalam aja, jalan dikit nggak apa-apa,” kata Liu Shi sambil pamit.

Pasar ramai banget, mereka jalan lama baru sampai ke toko kulit itu. Pemiliknya pasangan suami istri yang udah setengah baya, wajahnya ramah. Si kakek lagi sibuk kerja. Ada tiga empat orang lain yang juga bawa kulit.

Di bagian timur laut Ping County juga ada gunung, meski nggak sebesar Gunung Xilu dan medan nggak terlalu terjal. Banyak pemburu ke sana, tapi hasil buruannya kecil-kecil.

Begitu lihat pelanggan datang, si nenek langsung nyambut. Liu Shi nanya cara bikin sepatu kulit dan harganya. Nenek itu jawab, “Nenek, tergantung kulit apa yang dipakai, sudah jadi atau belum, kalau belum harus kami olah lagi. Terus juga tergantung bahan sol-nya dan model sepatunya, beda-beda harga.”

Liu Shi lalu keluarin kulit kelinci. Si nenek periksa satu-satu, dilihat luar dalam, diraba, dicium, lalu bilang, “Wah, kulitnya udah bagus, nggak perlu diolah ulang. Ukurannya juga gede, jadi nggak perlu banyak disambung.”

Mereka diajak lihat-lihat model contoh. Ada model biasa mirip sepatu kain, ada tinggi dan pendek. Satu lagi modelnya bagian atasnya bisa dibuka pasang, jadi gampang dipakai dan hangat.

Liu Shi pilih dua pasang sepatu biasa buat dia dan suaminya. Buat Mu Yao dan Xiao Xiao dipilih model yang bisa dibuka pasang. Solnya semua dari kayu, kuat dan anti selip. Totalnya habis 160 wen. Bisa diambil sepuluh hari lagi.

Keluar dari toko, Liu Shi beli garam dan keranjang bambu besar, lalu mereka pun pulang ke rumah.

1
Aisyah Suyuti
baguss
Seira A.S: makasih kak
total 1 replies
The first child
semangat terus nulisnya thor..
Seira A.S: makasih kak
total 1 replies
Andira Rahmawati
lanjut thorr...semangat....
Seira A.S: insyaallah kak
total 1 replies
Andira Rahmawati
coba punya ruang dimensi atai sistem..
Seira A.S: gak punya kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!