Rara Depina atau biasa di panggil Rara, terpaksa menggantikan ibunya yang sedang sakit sebagai Art di ruamah tuan muda Abian Abraham.
Rara bekerja tanpa sepengetahuan tuan muda Abian. Abian yang pergi kerja saat Art belum datang dan pulang saat Art sudah pergi membuat Rara bisa bekerja tanpa di ketahui Abian.
Apa jadinya saat tak sengaja Abian memergoki Rara tengah berada di apartemennya.
Dilema mulai muncul saat diam-diam Abian mulai jatuh cinta pada pembantu cantiknya itu, dan di tentang oleh keluarga besarnya yang telah memilihkan calon buat Abian.
Akankah Abian mampu mempertahankan Rara di sisinya, cuus baca kelanjutannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 17
Hingar bingar suara musik di sebuah klab malam tedengar memekakkan telinga, beberapa pengunjung bahkan harus berteriak saat bicara.
Sudah entah berapa kali pramutama bar meracik dan menyajikan minuman beralkohol untuk lelaki di konter bar, Minuman beralkohol untuk lelaki yang sudah tak mampu berdiri menopang berat tubuhnya.
Tapi sejurus kemudian dia kembali mengankat wajahnya dan menyodorkan gelas kosong pada pramutama, meminta gelasnya kembali di isi.
Saat pramutama akan mengisi gelas kosong itu, seseorang mencegahnya, seorang pria yang terlihat seumuran dengan lelaki yang tengah mabuk itu.
"Pak sebaiknya kita pulang sekarang." ujar Pria itu sembari berusaha membuat pria yang dipanggil pak itu berdiri.
"Sandi, kau pulanglah, istrimu pasti menunggu, aku tidak ingin pulang ke rumah, aku tidur disini."
"Istriku sedang keluar kota pak Bian, jadi aku bisa menemani tuan malam ini." sahutnya seraya duduk di samping tuanya itu.
Sandi adalah sekretaris pribadinya. Sandi tidak mungkin pulang sebelum membawa tuannya pulang kerumah dengan selamat.
Tak berapa lama terlihat Sandi sudah memapah tubuh Abian meninggalkan klab malam, membawanya pulang ke apartemen.
Sandi meletakkan tubuh tuannya di atas tempat tidur, sebelum pergi dia sempat membuka sepatu Bian terlebih dahulu, dia tak tega meninggalkan tubuh tuannya tidur masih memakai sepatu, menyedihkan.
Sinar matahari sudah meninggi, sinarnya menembus kaca jendela kamar Bian yang tak tertutup tirainya. Bias sinarnya menyentuk kelopak mata Bian, silau.
Abian membuka matanya perlahan, tubuh kekar dan berotot itu terasa remuk redam, apa yang dia lakukan semalam. Dengan susah payah dia berhasil mengingatnya dia mabuk berat hingga tak mampu berdiri.
Bian menatap langit-langit kamarnya, bayangan waja Ara seakan ada di langit-langit, menatap sinis kearahnya, pecundang!
"Sial, benar-benar sial. Aku tak percaya gadis itu masih vir gin" gerutu Bian kesal pada kebodohannya, meniduri gadis vir gin karena dugaan yang salah kaprah.
***
Ara mengaduk aduk isi mangkuknya dengan tak bersemangat. wajahnya masih kelihatan pucat, tapi dia harus ke sekolah ujian akhir sudah dekat dia tak ingin ketinggalan pelajaran.
"Ra kalau masih sakit ngapain kesekolah, wajahmu udah mirip mayat hidup tau gak," ujar Amel seraya menyentuh pundak Ara.
Ara cuma senyum, dia lagi malas bicara sebab pikirannya melayang entah kemana. Kejadian yang menimpanya masih memukul jiwanya hingga kini.
Entah bagaimana Ara menjalani masa depannya nanti, apa yang akan dia katakan pada calon suaminya kelak. Bian benar-benar menghancurkan masa depannya.
Sementara di tempat lain Abian sama tidak tenangnya dengan Ara. Wajah sendu Ara melintas di benaknya seakan mengolok sikapnya yang tenang tanpa melakukan apa pun. Membiarkan masalah yang menimpa Ara membuatnya seperti pecundang.
"Pak tono antar aku kesuatu tempat!" ujar Bian pada supir pribadinya. Dia bukan pecundang bang sat yang hanya bisa meniduri gadis vir gin tanpa mau bertanggung jawab.
Mobil mewah Abian berhenti di halaman sekolah. Seharusnya ini jam pulang sekolah. benar saja baru hitungan detik Abian menunggu bel pulang pun berbunyi.
Satu persatu siswa dan siswi keluar dari gerbang menuju mobil jemputan. Dari dalam mobil Bian dapat melihat Ara baru saja keluar dari kelas bersama Kiki dan Amel.
Abian keluar dari mobil dengan langkah lebar menghampiri sosok Ara.
Kedatangan Abian tentu saja mengundang histeris para sisiwi. Ketampanan Abian telah membius mereka.
Dengan jarak yang lumayan dekat dengan Ara Bian berhenti.
"Ra!"
Teguran Bian mengehentikan langkahnya. Ara yang tak menyadari kehadiran Bian tampak kaget, dia belum siap bertemu Abian.
"Kita perlu bicara," ucap Bian. Seraya kembali melangkah ke Ara, tapi Ara malah melangkah mundur dengan wajah pucat pasih.
"Kau ingin aku bicara tentang kita di sini?"
Beberapa pasang mata menatap tajam ke arah Ara. Kalimat Bian tadi menegaskan ada hubungan special di antara mereka.
Ara menatap sekitar dengan resah, apa Bian memang sudah gila. Dimana akal sehatnya membicarakan aib di tempat umum begini, terlebih lagi di lingkungan sekolahnya.
"Ara jangan menguji kesabaranku," ucap Bian terdengar dingin dan tegas.
Dia takut Abian, tapi lebih takut seluruh sekolah mengetahui aibnya.
"Baiklah," sahut Ara seraya beranjak mendekat.
Kiki yang melihat bahwa Ara tidak dalam keadaan baik-baik saja repleks menahan langkah Ara.
"Tidak apa aku memang punya urusan penting dengannya," bisik Ara pelan, berusaha membuat Kiki tenang.
"Kau tidak bohong?"
"Tentu ki," sahut Ara seraya menepuk bahu Kiki pelan.
Bian menggiring langkan Ara menuju tempat mobilnya terparkir. Ada sedikit keraguan saat akan masuk ke mobil Bian, bayangan malam itu melintas lagi di benak Ara.
"Masuklah," titah Bian tegas.
Tak menunggu di perintah dua kali, Ara masuk kedalam mobil di ikuti Bian. Mobil melaju dengan kecepatan sedang.
Bian menatap Ara sekilas kemudian beralih pada tombol merah di sampingnya. Bian memencet tombol merah itu, seketika terbentuk dinding pembatas antara mereka dan supir pribadi Bian.
"Tuan," ucap Ara dengan tubuh gemetar ketakutan.
"Ara tenanglah, aku tidak akan melakukan apa pun padamu," bujuk Bian. Dia paham kenapa Ara setakut itu padanya.
"Ra dengar! kita hanya akan bicara tidak yang lain, jadi tenangkan dirimu. Aku tidak bisa menyampaikan keinginanku kalau kau tidak tenang. Jadi aku mohon tenanglah."
Dengan masih terisak Ara memberanikan diri menatap Bian.
"Bagaimana? sudah bisa aku bicara?"
Ara menyeka air matanya dengan punggung telapak tangannya lalu mengangguk pelan.
"Bagus, dengar! aku ingin kita bicara secara dewasa, apa yang aku sampaikan nanti kau cerna baik-baik, jangan gegabah menyikapi perkataanku, pikirkanlah dengan tenang apa yang akan aku sampaikan nanti," ucap Bian dengan sangat tegas, perkataan ini seperti menghipnotis Ara untuk patuh.
Bian menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan.
"Ra menikahlah denganku."
Kalimat singkat itu membuat Ara berhenti bernapas sesaat. menikah?
"Tu-tuan tidak salah bicara?" tanya Ara dengan perasaan gugup.
"Tidak Ra, aku akan bertanggung jawab dengan perbuatanku, menikahimu adalah solusinya."
"Tapi tuan kita tidak saling menyukai, dan aku juga masih sekolah."
"Ara aku sudah bilang padamu agar menyikapi ucapanku dengan pikiran dewasa, aku telah menghancurkan masa depan mu, menikah denganku adalah satu-satunya cara menyelamatkan masa depan mu. setidaknya orang tidak akan bertanya kenapa tidak perawan pada seorang janda."
Ara menatap Bian lekat, janda? . Tapi apa yang dikatakan Bian benar.
"Tapi perlu kau tau, aku menikahimu secara diam-diam, jangan takut aku menikahimu secara sah. Hanya saja aku tidak ingin keluargaku tau, mereka pasti tidak akan setuju, kuharap kau memakluminya."
Bukankah itu bagus menikah diam-diam, dia masih tetap aman bersekolah.
"Bagaimana dengan tinggal setelah menikah?" tanya Ara sedikit ragu.
"Kau tinggal denganku."
"Tapi a-aku.."
"Jangan takut, kita tidur di kamar terpisah."
Ara menatap Bian lekat berusaha mencari kebenaran dari ucapannya dan Ara tak melihat ada kebohongan di manik hitam Bian.
"Bagaimana?" tanya Bian tak sabar. Ara masih saja terdiam.
"Jangan sampai aku berubah pikiran dan kau mslah menyesalinya Ra." kalimat bernada ancaman itu membuat Ara terpaksa menerima ajakan menikah Bian, ini demi nama baik ibunya.
"Baiklah tuan aku setuju,"
Happy reading.
hay jangan lupa tingalin jejak ya.