Cerita cinta seorang duda dewasa dengan seorang gadis polos hingga ke akar-akarnya. Yang dibumbui dengan cerita komedi romantis yang siap memanjakan para pembaca semua 😘😘😘
Nismara Dewani Hayati, gadis berusia 20 tahun itu selalu mengalami hal-hal pelik dalam hidupnya. Setelah kepergian sang bunda, membuat kehidupannya semakin terasa seperti berada di dalam kerak neraka akibat sang ayah yang memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang janda beranak satu. Tidak hanya di situ, lilitan hutang sang ayah yang sejak dulu memiliki hobi berjudi membuatnya semakin terpuruk dalam penderitaan itu.
Hingga pada akhirnya takdir mempertemukan Mara dengan seorang duda tampan berusia 37 tahun yang membuat hari-harinya terasa jauh berwarna. Mungkinkah duda itu merupakan kebahagiaan yang selama ini Mara cari? Ataukah hanya sepenggal kisah yang bisa membuat Mara merasakan kebahagiaan meski hanya sesaat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rasti yulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TCSD 16 : Bisikan Malaikat VS Bisikan Setan
Dewa mengusap bulir peluh yang merembes melalui pori-pori kulit wajahnya. Mimpinya kali ini benar-benar membuatnya merasakan gerah yang teramat sangat. Hembusan angin malam di sekitar hutan dan juga hawa lembab di dalam gua yang saat ini ia tempati, nyatanya tidak bisa menghapus semua peluh yang semakin lama semakin mengalir deras. Rupa-rupanya mimpi yang baru saja ia alami, benar-benar tidak dapat membuat matanya kembali terpejam. Ia takut jika mimpi itu kembali hadir, yang hanya memberinya kebahagiaan semu.
"Ssssshhhhh.... Ehemmmmm... dingin... ssshhhhh..."
Lenguhan yang keluar dari bibir Mara sukses membuat Dewa terbangun dari pikirannya sendiri. Ia menoleh ke arah sang gadis yang masih tertidur dengan lelap namun tanpa sadar gadis itu melenguh kedinginan.
Dewa yang tengah duduk termenung, perlahan mulai menggeser tubuhnya. Ia raih telapak tangan Mara dan ia merasakan jika tubuh gadis ini begitu dingin.
"Ya Tuhan, gadis ini kedinginan."
Dewa merotasikan kedua bola matanya. Memperhatikan dengan lekat kondisi sekelilingnya. Empat ekor angsa putih yang terlihat tertidur pulas dan sisa-sisa api unggun yang hanya tinggal kepulan asapnya saja.
Dewa bangkit dari posisi duduknya. Ia berjalan keluar mencoba untuk mencari ranting-ranting pohon. Setelah apa yang ia cari berhasil ia dapatkan, Dewa kembali ke dalam gua untuk membuat api unggun.
"Ssssshhhhh dingin.... "
Mara masih melenguh kedinginan. Sepertinya api unggun yang dibuat oleh Dewa tidak memberikan pengaruh apapun terhadap tubuh gadis ini.
"Ya Tuhan, gadis ini masih saja kedinginan. Apa yang harus aku lakukan, Tuhan? Aku sungguh tidak ingin jika sampai terjadi sesuatu yang buruk kepada gadis ini."
"Eeemmmphhhh... Dingin... Dingin..."
Dewa mengacak rambutnya sedikit kasar. Ia tengah dilanda kebingungan tentang apa yang harus ia lakukan. "Tuhan, izinkan aku untuk menghangatkannya. Hanya memeluk tubuh gadis ini. Tidak yang lainnya."
Pada akhirnya, Dewa mulai merebahkan tubuhnya di sisi Mara. Ia mengambil posisi miring dan mulai menarik tubuh gadis ini untuk ia bawa ke dalam dekapannya. Lengan tangan Dewa, ia letakkan di bawah kepala Mara. Berharap agar gadis ini dapat menggunakan lengannya sebagai pengganti bantal. Sedangkan lengan tangan kirinya ia lingkarkan ke tubuh Mara, untuk bisa lebih erat mendekapnya.
Tubuh Mara memberikan sebuah respon. Gadis itu seakan menemukan tempat paling nyaman di dada bidang milik Dewa. Dewa tersenyum simpul merasakan tangan gadis ini semakin erat melingkar di pinggangnya. Perlahan, Dewa mulai mengusap kepala Mara dengan usapan lembut.
"Wa.... Saat ini merupakan kesempatanmu untuk bisa kembali menggunakan fungsi dari pisang tandukmu. Lihatlah, gadis ini seperti begitu pasrah dengan apa yang kamu lakukan."
Dewa terkesiap, tatkala setan-setan yang bersemayam di dalam hatinya mulai membisikkan sesuatu.
"Jangan Wa... Ingat, gadis ini masih begitu polos. Jagan gunakan nafsumu untuk merusaknya."
Dahi Dewa mengernyit tatkala malaikat yang menempati satu sisi hatinya juga tengah membisikkan sesuatu. Mencoba untuk menghentikan apa yang dibisikkan oleh setan.
"Halah... Jangan kamu dengarkan apa yang dikatakan oleh malaikat Wa. Lihatlah! Bukankah akan sangat rugi jika kamu melewatkan kesempatan ini? Gadis ini masih perawan Wa. Pastinya akan membuatmu merasakan sensasi yang berbeda."
"Jangan Wa... Ingat, gadis ini memerlukan perlindungan. Jadilah pelindung untuknya tanpa harus merusaknya."
"Ada baiknya kamu nikmati terlebih dahulu tubuh gadis ini Wa, sebelum kamu benar-benar melindunginya. Bukankah akan sangat menguntungkan bagimu? Kamu bisa mendapatkan keperawanannya sekaligus kamu bisa berperan sebagai sosok pelindung untuknya? Lakukanlah Wa! Lakukan!"
"Jangan Wa!"
"Lakukan saja Wa. Lakukan!"
"Jangan!
"Lakukan!"
Dewa hanya bisa membuang nafas kasar mendengar sosok malaikat dan setan yang ada di dalam dirinya berseteru. Keduanya seakan tidak mau kalah untuk bisa menguasai hatinya. Namun pada akhirnya...
Cup.....
Sebuah kecupan intens Dewa berikan di pucuk kepala Mara. Sepersekian menit Dewa mengecup pucuk kepala Mara sembari menguasai gejolak dalam dadanya. Entah dorongan dari mana yang membuat Dewa ingin sekali menjadi pelindung untuk gadis yang baru saja ia temui ini.
Dewa sedikit menggeser posisi tubuhnya, hingga kini ia bisa dengan mudah menikmati wajah ayu Mara yang tengah terlelap.
Dewa tersenyum simpul. "Aku tidak sampai hati jika harus merusakmu. Kamu adalah gadis yang baik, sehingga sudah sepatutnya selalu ada yang melindungimu. Meskipun aku harus berupaya mati-matian menahan gejolak hasratku, namun akan tetap aku lakukan. Karena aku bukanlah lelaki breng*sek yang akan menjerumuskanmu ke dalam kehancuran."
Dewa kembali membuang nafas kasar. "Tuhan, apakah aku terlalu berlebihan jika ingin menjadi salah satu pelindung untuk gadis ini?"
Dewa sibuk bermonolog lirih. Lelaki itu nampaknya tengah laut dalam pikirannya sendiri. Berkali-kali ia mencium pucuk kepala Mara sambil sesekali mengusap lembut rambut gadis itu.
Mara menggeliat. Tak selang lama, ia mulai mengerjapkan mata, berupaya untuk meraih kesadarannya. Ia terkesiap ketika sadar bahwa saat ini posisinya tengah berada di dalam dekapan Dewa. Gegas, Mara menjauhkan tubuhnya dari tubuh Dewa.
"T-Tuan... Apa yang Tuan lakukan terhadap saya?"
Dewa tak kalah terkejut melihat Mara yang mulai bangun dari tidurnya. Dahinya mengernyit ketika mencoba memahami perkataan gadis ini. "Memang apa yang aku lakukan? Aku tidak melakukan apapun kepadamu?"
"Tapi, mengapa Tuan memeluk saya? Tuan mencuri-curi kesempatan?"
Bibir Dewa mencebik. Kata-kata yang keluar dari bibir Mara seperti menggelitik telinganya. "Kesempatan apa maksudmu?"
Mara sedikit kebingungan mencari jawaban. "Y-ya kesempatan untuk memeluk saya."
"Hey gadis asing. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan bahwa kamu kedinginan? Aku hanya berupaya untuk menghangatkan tubuhmu. Dan apakah kamu tahu, bahwa kamu terlihat begitu nyaman berada di dalam pelukanku?" Dewa memegang lengan tangan Mara yang masih melingkar di pinggangnya. "Lihatlah, lengan tanganmu bahkan memelukku begitu erat, seperti tidak ingin terlepas."
Mara terkejut. Ia baru sadar saat ini posisinya lah yang memeluk tubuh lelaki di depannya ini. Mara bermaksud untuk menarik lengan tangannya agar terlepas dari pinggang Dewa. "S-saya..."
Dewa hanya terkekeh pelan sembari menahan lengan tangan gadis ini agar tetap berada di dalam posisinya. "Aku tidak ingin melihatmu kedinginan. Kali ini, aku izinkan kamu untuk memelukku, sebanyak apapun yang kamu mau."
"T-tapi Tuan...."
Ucapan Mara terpangkas tatkala ekor matanya menangkap sesosok makhluk yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berada. "Ibu?"
Makhluk itu hanya tersenyum manis dan menganggukkan kepalanya. Dari senyum yang diberikan oleh makhluk itu seakan menjadi sebuah isyarat jika semua akan baik-baik saja.
Dewa terkesiap mendengar Mara mengucapkan sesuatu. "Ibu?"
Mara mengangguk. "Iya Tuan, saya melihat ibu saya berdiri di sana."
Dewa yang sebelumnya memeluk tubuh Mara, seketika membalikkan badannya. Ia menoleh ke arah yang dimaksud oleh gadis ini. "Aku tidak melihat siapapun berada di sekitar tempat ini. Lagipula jika memang benar itu adalah ibumu, mengapa beliau tidak mendatangimu, untuk mengajakmu pulang?"
"Dunia ibu dengan saya berbeda Tuan. Jadi saya tidak bisa ikut bersama ibu."
Dewa semakin dibuat penasaran. "Maksud kamu?"
Mara hanya sedikit mengulas senyum. "Ibu saya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, Tuan. Dan baru saja saya melihat beliau berdiri di sana."
Tetiba bulu kuduk Dewa meremang. "Kamu jangan mengada-ada. Nyatanya aku tidak bisa melihatnya."
Mara mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia baru sadar jika ada beberapa ekor angsa putih yang tengah tertidur tak jauh dari tempatnya. "Seharusnya Tuan bisa merasakan kehadiran ibu saya dengan adanya angsa putih ini."
"Maksud kamu?"
"Kedatangan angsa putih inilah yang menjadi sebuah pertanda kehadiran sosok makhluk tak kasat mata di tempat ini. Dan makhluk tak kasat mata itu tidak lain adalah ibu saya sendiri."
Dewa terkejut setengah mati. "Apa? Jadi sedari tadi, kita tidur di tempat ini ditemani oleh ibumu yang sudah tiada?"
Mara menganggukkan kepalanya. "Bisa jadi memang seperti itu Tuan."
Wajah Dewa mendadak berubah pias.
Ya Tuhan, untung saja aku tidak melakukan sesuatu yang buruk terhadap gadis ini. Ibu gadis ini sedari tadi mengawasi apa yang tengah aku lakukan di sini. Jika sampai aku berbuat hal-hal yang kurang baik terhadap anak perempuannya, mungkin saat ini ibu gadis ini begitu murka. Dan bisa saja, ia memotong pisang tandukku. Kemudian dibalut dengan tepung terigu, setelah itu dimasukkan ke dalam minyak panas menjadi pisang goreng.
Dewa bergidik ngeri membayangkan pisang tanduknya berubah menjadi pisang goreng. Wajah Dewa yang terlihat pias itu sontak membuat Mara kebingungan.
"Tuan, ada apa? Sepertinya Tuan sedang ketakutan?"
"Iya, aku memang sedang ketakutan. Takut kalau pisang tandukku berubah menjadi pisang goreng ataupun pisang cokelat."
Mara memandang Dewa dengan tatapan penuh tanda tanya. "Maksud Tuan bagaimana? Tuan mempunyai pisang? Ataukah Tuan ini juragan pisang? Lagipula, bukankah jauh lebih memiliki nilai jual yang tinggi jika pisang milik Tuan dijual dalam bentuk pisang goreng ataupun pisang cokelat?"
Krikk... Krikk....
Dewa memandang gemas wajah gadis belia di sampingnya ini. Ternyata dia memang benar-benar polos. Jika saat ini Mara adalah istrinya, pasti dengan senang hati Dewa menunjukkan pisang apa yang ia maksud.
Dewa tersenyum simpul. "Sudahlah jangan bahas tentang pisang lagi. Ada baiknya, sekarang kita tidur. Dan besok mulai memikirkan apa yang akan kita lakukan."
.
.
. bersambung...
mengecewakan😡