NovelToon NovelToon
ISTRI CANTIK SANG CEO TAMPAN : MISI BALAS DENDAMKU

ISTRI CANTIK SANG CEO TAMPAN : MISI BALAS DENDAMKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Kde_Noirsz

"Aku mati. Dibunuh oleh suamiku sendiri setelah semua penderitaan KDRT dan pengkhianatan. Kini, aku kembali. Dan kali ini, aku punya sistem."

Risa Permata adalah pewaris yang jatuh miskin. Setelah kematian tragis ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Doni, anak kepala desa baru yang kejam dan manipulatif. Seluruh hidup Risa dari warisan, kehormatan, hingga harga dirinya diinjak-injak oleh suami yang berselingkuh, berjudi, dan gemar melakukan KDRT. Puncaknya, ia dibunuh setelah mengetahui kebenaran : kematian orang tuanya adalah konspirasi berdarah yang melibatkan Doni dan seluruh keluarga besarnya.

Tepat saat jiwanya lepas, Sistem Kehidupan Kedua aktif!

Risa kembali ke masa lalu, ke tubuhnya yang sama, tetapi kini dengan kekuatan sistem di tangannya. Setiap misi yang berhasil ia selesaikan akan memberinya Reward berupa Skill baru yang berguna untuk bertahan hidup dan membalikkan takdir.

Dapatkah Risa menyelesaikan semua misi, mendapatkan Skill tertinggi, dan mengubah nasibnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15: Fitnah di Ujung Lidah Iblis

Pagi hari di Desa Makmur biasanya disambut dengan kicauan burung dan aroma tanah basah yang segar. Namun bagi Risa Permata, pagi adalah lonceng kematian yang berbunyi lebih keras setiap harinya. Cahaya matahari yang masuk melalui celah dinding gudang belakang terasa seperti sembilu yang menyayat matanya yang bengkak.

Risa belum sempat mencerna tawaran pengkhianatan dari Melati semalam ketika pintu gudang dihantam terbuka dengan suara yang lebih menggelegar dari biasanya. Bukan Doni yang muncul, melainkan Nyai Ratna. Wajah wanita tua itu merah padam, napasnya memburu, dan di tangannya ia memegang sebuah kotak perhiasan beludru yang kosong.

"DASAR PENCURI! JALANG KECIL TIDAK TAHU DIRI!" teriak Nyai Ratna. Suaranya melengking, sengaja dikeraskan agar para pelayan dan penjaga di halaman belakang bisa mendengar.

Risa terperanjat, mencoba duduk meski kakinya yang patah mengirimkan rasa sakit yang membuat pandangannya memutih. "Nyai... apa maksudnya? Saya tidak melakukan apa-apa..."

"Jangan berani membantah!" Nyai Ratna melangkah maju dan menjambak rambut Risa, menyeretnya keluar dari gudang menuju tanah lapang di depan kandang anjing. "Di mana kau sembunyikan kalung berlian pemberian leluhur keluarga Wijaya?! Aku menaruhnya di meja rias tadi subuh, dan sekarang barang itu hilang!"

"Saya tidak pernah keluar dari gudang ini, Nyai! Pintunya digembok dari luar!" rintih Risa, tangannya mencoba melepaskan cengkeraman Nyai Ratna yang seperti catut besi.

"Bohong! Kau pasti bekerja sama dengan seseorang!" Nyai Ratna melemparkan Risa ke atas tanah. "Atau mungkin kau menggunakan ilmu hitam ayahmu untuk mencuri harta kami! Periksa gudang ini! Geledah sampai ke akar-akarnya!"

Dua anak buah Doni segera masuk ke gudang belakang. Mereka menghancurkan jerami tempat Risa tidur, membolak-balikkan ember air, dan merobek selimut tipis pemberian Bi Nah. Risa menatap dengan ngeri, ia tahu ada sesuatu yang tidak beres.

"Ketemu, Nyai!" teriak salah satu penjaga.

Pria itu keluar dengan membawa sebuah bungkusan kain merah yang sangat kotor. Saat dibuka, di dalamnya terdapat sebuah kalung berlian yang sangat mewah—perhiasan yang Risa tahu persis belum pernah ia sentuh seumur hidupnya.

"Lihat! Lihat ini semuanya!" Nyai Ratna mengangkat kalung itu tinggi-tinggi ke arah para pelayan yang mulai berkumpul dengan wajah ketakutan. "Putri Baskoro yang kalian agung-agungkan sebagai orang suci ini ternyata adalah seorang pencuri! Dia mencuri harta mertuanya sendiri saat dia sudah diberi tempat bernaung!"

Risa terpaku. Ia menatap kalung itu, lalu menatap wajah Nyai Ratna yang menyeringai tipis di balik topeng kemarahannya. Ia sadar, ini adalah skenario. Kalung itu sengaja ditaruh di sana saat ia sedang tidak sadarkan diri akibat obat penenang semalam.

"Itu fitnah... kalian yang menaruhnya di sana..." bisik Risa dengan suara yang bergetar hebat.

"Masih berani memfitnah balik?!" Nyai Ratna mengambil sebuah tongkat rotan dari tangan penjaga.

WHUUT... CETAR!

Hantaman rotan itu mendarat tepat di lengan Risa yang kurus. Kulitnya langsung pecah, mengeluarkan darah segar. Risa memekik, namun Nyai Ratna tidak berhenti. Ia memukul Risa berkali-kali seolah sedang memukul karung goni.

"Ini untuk tanganmu yang panjang! Ini untuk mulutmu yang penuh dusta! Dan ini agar kau tahu posisimu di rumah ini!"

Setiap pukulan rotan itu diiringi dengan cacian yang merendahkan martabat Risa. Nyai Ratna ingin memastikan bahwa di mata para pelayan, Risa bukan lagi korban yang harus dikasihani, melainkan seorang kriminal yang pantas disiksa. Ini adalah taktik penghancuran karakter yang sangat kejam.

Doni muncul dari rumah utama dengan mengenakan jubah mandi, tampak sangat terganggu dengan keributan itu. Namun saat melihat kalung di tangan ibunya, wajahnya langsung mengeras.

"Jadi dia mencuri lagi, Bu?" tanya Doni dengan nada dingin.

"Ya, Doni! Bayangkan, dia berani masuk ke kamarku!" adu Nyai Ratna dengan nada yang didramatisir. "Siapa yang tahu apa lagi yang akan dia curi jika kita biarkan dia hidup? Mungkin dia akan menggorok leher kita saat kita tidur!"

Doni berjalan mendekati Risa yang sudah tergeletak lemas di tanah dengan luka-luka baru yang bersilangan di tubuhnya. Ia menginjak tangan Risa yang terluka.

"Risa, Risa... kau benar-benar membuatku kecewa," ujar Doni. "Aku sudah berencana membawamu ke acara kabupaten besok dengan martabat yang sedikit tersisa, tapi kau malah memilih menjadi maling. Sepertinya, kau memang lebih cocok diperlakukan sebagai budak daripada manusia."

"Doni... ibumu berbohong... aku tidak pernah keluar..." rintih Risa.

Doni tidak mendengarkan. Ia menoleh ke arah Pak Surya yang berdiri di teras dengan wajah dingin. "Ayah, apa hukuman yang pantas untuk pencuri di desa ini?"

Pak Surya menyesap kopinya dengan tenang sebelum menjawab. "Dulu, ayah Risa selalu berkata bahwa hukum harus tegak. Bagi pencuri, hukumannya adalah dipermalukan di depan warga. Ikat dia di tiang tengah desa sampai besok pagi agar semua orang tahu siapa dia sebenarnya."

"Jangan! Paman Surya, saya mohon!" Risa menjerit histeris. Ia tahu jika ia diikat di tiang desa dalam kondisi kakinya yang patah dan punggung yang hancur, ia tidak akan selamat melewati malam yang dingin.

Namun, tidak ada belas kasihan di mata para pria Wijaya itu. Paman Hari, yang juga muncul dari dalam rumah, justru menambahkan minyak ke dalam api.

"Setuju. Nama baik keluarga Permata sudah hancur karenanya. Biarlah dia menjadi peringatan bagi siapa pun yang berani mengkhianati keluarga Wijaya," ujar Paman Hari tanpa beban.

Siang itu, sebuah pemandangan paling memilukan terjadi di Desa Makmur. Risa Permata, putri tunggal pemimpin mereka yang paling dicintai, diseret menggunakan truk terbuka menuju alun-alun desa. Tangannya terikat ke belakang, tubuhnya dipenuhi luka rotan, dan sebuah papan kayu digantungkan di lehernya dengan tulisan kasar

"PENCURI HARTA KELUARGA".

Warga desa berkumpul di pinggir jalan. Ada yang menatap dengan air mata mengalir, namun banyak juga yang mulai terpengaruh oleh fitnah yang disebarkan oleh anak buah Pak Surya.

"Benarkah dia mencuri? Padahal dulu ayahnya sangat kaya," bisik seorang warga.

"Mungkin dia gila karena hartanya habis diambil Doni, jadi dia mulai mencuri," sahut yang lain.

Risa diikat di tiang kayu di tengah alun-alun, di bawah terik matahari yang membakar. Kepalanya terkulai lemas, rambutnya yang kusut menutupi wajahnya yang hancur. Ia tidak punya kekuatan lagi untuk membela diri. Setiap kali ia mencoba bicara, penjaga yang berjaga di sana akan menyiramnya dengan air kotor atau memukul mulutnya.

Di tengah kerumunan itu, Risa melihat Melati berdiri di kejauhan dengan kacamata hitam, tersenyum penuh kemenangan. Melati tidak membela Risa meski semalam ia mengajak kerja sama. Bagi Melati, Risa yang hancur di tiang desa adalah jalan baginya untuk mendapatkan kepercayaan penuh dari Nyai Ratna.

Tuhan... jika kau ada, tolong hentikan ini... batin Risa. Biarkan aku mati sekarang juga...

Namun kematian tidak kunjung datang. Matahari perlahan terbenam, digantikan oleh hawa dingin yang menusuk tulang. Risa mulai menggigil hebat. Luka-lukanya terasa kaku dan perih terkena angin malam. Rasa lapar dan haus mulai menghancurkan kewarasannya.

Tengah malam, alun-alun desa menjadi sunyi. Para penjaga sedang tertidur di dalam pos yang tidak jauh dari sana. Tiba-tiba, Risa merasakan seseorang mendekatinya dari balik kegelapan.

"Non Risa..."

Suaranya bukan Bi Nah. Suara ini lebih berat dan tenang. Risa membuka matanya yang bengkak dengan susah payah. Seorang pria dengan jaket kulit hitam berdiri di hadapannya. Wajahnya tidak terlihat jelas karena tertutup bayangan topi.

"Siapa...?" bisik Risa.

Pria itu tidak menjawab. Ia mengeluarkan sebuah botol air mineral dan membantu Risa minum dengan sangat hati-hati. Air dingin itu terasa seperti kehidupan yang kembali mengalir di kerongkongan Risa yang sudah mengering.

"Bertahanlah semalam lagi," bisik pria itu. "Besok di acara kabupaten, semuanya akan berubah. Revano sudah menyiapkan segalanya."

"Revano...?" Risa mencoba melihat wajah pria itu. "Kenapa dia tidak menolongku sekarang? Aku akan mati di tiang ini..."

"Jika dia menolongmu sekarang, Doni akan membunuhmu sebelum fajar. Kau harus ada di depan publik besok. Itu satu-satunya cara untuk menghancurkan keluarga Wijaya secara sah di depan hukum," pria itu memasukkan sesuatu ke dalam saku baju Risa yang robek—sebuah alat perekam kecil berbentuk kancing.

"Gunakan ini besok. Rekam apa pun yang Doni katakan sebelum kalian naik ke panggung," pesan pria itu. "Jika kau berhasil, Revano akan membawamu pergi dari sini."

Pria misterius itu menghilang secepat ia datang, meninggalkan Risa dengan secercah harapan yang pahit. Di kehidupan pertama ini, Risa menyadari bahwa ia hanyalah alat bagi Revano untuk menjatuhkan musuh bisnisnya. Revano tidak peduli seberapa banyak ia disiksa, selama tujuannya tercapai.

Aku hanyalah bidak catur bagi kalian semua... batin Risa dengan getir. Keluarga Wijaya menyiksaku untuk harta, dan Revano membiarkanku disiksa untuk kekuasaan.

Keesokan paginya, fajar menyingsing dengan warna merah darah. Doni datang ke alun-alun bersama anak buahnya. Ia melihat Risa yang masih hidup dan sedikit terkejut.

"Kau punya nyawa kucing, ya, Risa?" Doni tertawa dingin. Ia melepaskan ikatan Risa, namun Risa langsung jatuh tersungkur karena kakinya tidak lagi sanggup menahan beban tubuhnya.

"Bawa dia pulang. Bersihkan dia. Pakaikan gaun yang paling mewah dan tutup semua luka ini dengan riasan tebal," perintah Doni. "Kita akan berangkat ke kantor kabupaten dalam dua jam. Jangan sampai dia terlihat seperti tawanan."

Risa dibawa kembali ke rumah utama. Di sana, Tante Dina dan beberapa pelayan baru menggosok tubuh Risa dengan kasar di kamar mandi. Sabun yang mereka gunakan terasa seperti asam yang membakar luka-luka terbuka di punggungnya. Risa hanya bisa menggigit bibirnya hingga berdarah agar tidak menjerit.

Ia dipakaikan gaun berwarna putih gading—warna kesucian yang sangat ironis bagi wanita yang jiwanya sudah hancur berkeping-keping. Bedak tebal menutupi lebam di wajahnya, dan lipstik merah menyala menutupi luka di bibirnya. Dari luar, ia tampak seperti boneka porselen yang cantik, namun di dalamnya, ia adalah mayat yang masih bernapas.

Sebelum berangkat, Nyai Ratna masuk ke kamar. Ia memberikan segelas air lagi kepada Risa. "Minum ini. Agar kau tidak pingsan saat berpidato nanti."

Risa menatap air itu. Ia tahu itu pasti obat penenang dosis tinggi lagi, atau mungkin sesuatu yang lebih buruk. Namun, ia tidak punya pilihan. Ia meminumnya di bawah pengawasan tajam Nyai Ratna.

Di dalam mobil menuju kantor kabupaten, Doni duduk di samping Risa. Ia menggenggam tangan Risa dengan sangat erat, kuku-kukunya menekan telapak tangan Risa yang terluka.

"Ingat naskahmu, Risa. Katakan bahwa kau menyerahkan seluruh aset Permata Group kepada keluarga Wijaya sebagai tanda cinta dan bakti kepada suamimu," bisik Doni. "Jika kau melakukan kesalahan satu kata saja, aku tidak akan membunuhmu. Aku akan membawa Bi Nah ke hutan jati dan kau tahu apa yang akan terjadi padanya di tangan anak buahku."

Risa memejamkan matanya. Ia merasakan kancing perekam di saku gaunnya. Ia merasa seperti seorang prajurit yang sedang berjalan menuju medan pembantaian.

Kantor kabupaten Desa Makmur sudah dipenuhi oleh wartawan lokal, pejabat daerah, dan tokoh masyarakat. Ini adalah momen transisi kekuasaan paling bersejarah di desa tersebut. Pak Surya berdiri di atas podium dengan penuh kemenangan, memberikan pidato pembukaan tentang "masa depan baru" Desa Makmur.

Doni membawa Risa ke belakang panggung. Di sana, di dalam ruang tunggu yang sunyi, Doni melepaskan topeng keramahannya.

"Kau tahu, Risa? Setelah acara ini selesai, hidupmu benar-benar tidak berarti lagi," Doni tertawa kecil sambil merapikan dasinya di depan cermin. "Aku sudah menyiapkan surat cerai dan surat pernyataan gangguan jiwa untukmu. Kau akan menghabiskan sisa hidupmu di rumah sakit jiwa di pinggiran kota, di mana tidak ada seorang pun yang akan mendengar teriakanmu."

Risa mengaktifkan alat perekam kancingnya dengan gerakan halus. "Kenapa kau begitu membenciku, Doni? Aku mencintaimu dulu... aku memberikan segalanya..."

"Mencintaimu? Jangan konyol! Aku tidak pernah mencintaimu!" Doni berbalik dan menatap Risa dengan kebencian murni. "Kau adalah putri Baskoro—pria yang menghina ayahku bertahun-tahun karena masalah korupsi lahan. Menikahimu adalah misi balas dendamku. Menghancurkanmu adalah hobiku. Dan sekarang, mengambil hartamu adalah hadiahku."

"Jadi kau yang membunuh Ayah?" tanya Risa dengan suara gemetar, memancing pengakuan.

Doni mendekat, berbisik tepat di telinga Risa. "Bukan aku yang memotong kabel remnya, tapi aku yang memastikan tidak ada orang yang menolongnya saat mobilnya jatuh ke jurang. Aku melihatnya merangkak keluar dari mobil dengan kaki patah, memohon bantuan... dan aku hanya berdiri di sana, merokok sambil menontonnya mati pelan-pelan. Rasanya sangat memuaskan, Risa."

Air mata Risa jatuh, merusak riasan tebal di pipinya. "Kau... monster..."

"Dan kau adalah mangsaku," Doni menyeringai. "Sekarang, hapus air matamu. Waktunya naik ke panggung dan memberikan segalanya padaku."

Risa melangkah ke panggung di bawah sorotan lampu kamera yang menyilaukan. Pak Surya menyerahkan mikrofon kepadanya dengan senyum lebar. Di barisan depan penonton, Risa melihat seorang pria jangkung dengan aura yang sangat berbeda dari siapa pun di ruangan itu. Pria itu menatap Risa dengan mata tajam yang seolah bisa menembus jiwanya.

Pria itu adalah Revano Adhyaksa.

Risa memegang mikrofon dengan tangan gemetar. Ia memiliki rekaman pengakuan Doni di sakunya. Ia memiliki seluruh publik di depannya. Ini adalah momen untuk membalas dendam atau momen untuk hancur selamanya. Namun, saat ia baru saja hendak membuka mulut, ia merasakan dadanya sesak luar biasa. Cairan yang diberikan Nyai Ratna tadi mulai bereaksi.

Pandangan Risa mulai kabur. Darah mulai mengalir dari hidungnya, jatuh membasahi gaun putih gadingnya. Di depan semua kamera, Risa Permata jatuh pingsan, namun sebelum matanya tertutup sepenuhnya, ia melihat Doni tersenyum puas sementara Revano Adhyaksa bangkit dari kursinya dengan wajah yang tak terbaca.

1
Andira Rahmawati
hadir thor.. kerenn ...walau jln ceritanya agsk rumit sih👍👍👍
Ayu Nur Indah Kusumastuti: bener banget kak, tapi mungkin ini gaya authornya kak
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!