Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Peduli Tidak
Waktu seolah berjalan merangkak. Pria yang mengaku dokter itu kini menjadi pusat perhatian, dan ia memainkan perannya dengan sungguh-sungguh.
"Cepat! Baringkan dia lurus! Kita mulai kompresi dada!" perintahnya dengan suara yang dibuat terdengar darurat.
Dengan bantuan beberapa warga, posisi sang kakek diluruskan. 'Dokter' itu lalu berlutut, menumpuk kedua telapak tangannya di tengah dada sang kakek dan mulai melakukan gerakan menekan yang cepat dan ritmis. "Satu... dua... tiga... empat..." hitungnya dengan lantang, seolah sedang melakukan prosedur penyelamatan di ruang gawat darurat.
Sang nenek menatap dengan penuh harap, air matanya masih mengalir. Kerumunan orang menahan napas, percaya bahwa mereka sedang menyaksikan sebuah upaya medis profesional.
Arjuna masih berdiri tenang di pinggir kerumunan. Matanya tidak tertuju pada aksi heroik sang 'dokter', melainkan pada leher sang kakek. Penglihatan anehnya masih aktif, dan ia bisa melihat gumpalan bakso itu tetap tak bergeming, sementara pasokan oksigen ke otak sang kakek semakin menipis. Kompresi dada itu tidak ada gunanya sama sekali. Itu seperti mencoba memadamkan api dengan menyiram bagian rumah yang lain.
Satu menit berlalu. Wajah sang kakek tidak menunjukkan perubahan, malah warnanya semakin gelap.
"Bagaimana, Dok? Kok belum sadar juga?" tanya salah seorang warga yang mulai cemas.
'Dokter' itu tampak berkeringat, napasnya mulai terengah-engah. "Serangan jantungnya parah! Terus kompresi!" jawabnya, mencoba menjaga otoritasnya, meskipun secercah kepanikan mulai terlihat di matanya. Ia mencoba memeriksa denyut nadi lagi, lalu menekan dada lagi dengan lebih kuat. Berbagai manuver medis yang mungkin pernah ia lihat di televisi ia coba terapkan.
Namun, tidak ada reaksi. Tubuh sang kakek tetap terkulai lemas.
Harapan di mata kerumunan mulai memudar, berganti dengan kepanikan yang sesungguhnya. Mereka sadar, upaya sang dokter tidak membuahkan hasil.
"Ambulansnya mana?! Kok lama sekali!"
"Kakeknya... wajahnya makin biru..."
"Dokter, apa tidak ada cara lain? Disuntik atau apa gitu?"
Sang 'dokter' kini benar-benar panik. Ia kehabisan akal. Semua pengetahuan medis dangkalnya sudah ia kerahkan tanpa hasil. Ia berhenti melakukan kompresi, menatap pasiennya dengan tatapan putus asa.
Di tengah kepanikan massal itu, Arjuna tetap diam seperti batu karang. Ia tidak panik. Ia hanya mengamati dengan ketenangan yang mengerikan. Pikirannya, yang dibantu oleh kekuatan cincin, bekerja dengan sangat jernih. Ia bisa merasakan detak jantung sang kakek yang semakin melemah, semakin tidak teratur. Ia tahu, waktunya hampir habis. Mungkin hanya tersisa kurang dari satu menit.
Ia melihat sang nenek yang kini sudah terduduk lemas di aspal, isak tangisnya berubah menjadi ratapan pasrah. Ia melihat 'dokter' palsu yang sudah menyerah. Ia melihat kerumunan yang tak berdaya.
Cukup. Panggung untuk sang 'dokter' sudah selesai. Sekarang gilirannya.
Senyum tipis yang tadi sempat tersungging di bibir Arjuna kini lenyap, digantikan oleh ekspresi yang sangat serius dan tajam. Ia tidak lagi menunggu. Dengan langkah mantap dan tanpa keraguan, ia kembali menembus kerumunan yang kini memberinya jalan dengan lebih mudah.
"Minggir," katanya. Suaranya tidak keras, namun mengandung otoritas yang membuat semua orang, termasuk sang 'dokter' palsu, refleks menyingkir dari hadapannya.
Semua mata kini tertuju padanya. Pada anak muda berpenampilan sederhana yang sejak tadi hanya diam mengamati, dan kini melangkah maju seolah ia adalah harapan terakhir.
Tepat saat jemari Arjuna hendak menyentuh bahu sang kakek untuk membalikkan tubuhnya, pria yang mengaku dokter itu melangkah maju dengan cepat, menghalangi jalannya.
"Hei! Berhenti! Sudah kubilang jangan disentuh!" bentaknya, matanya menatap Arjuna dengan marah dan penuh ancaman. "Kamu ini siapa? Punya lisensi medis? Kalau sampai terjadi hal fatal pada pasien ini karena ulahmu, saya pastikan kamu akan saya tuntut! Kamu bisa masuk penjara karena malapraktik!"
Ancaman itu diucapkan dengan lantang, sengaja agar didengar oleh seluruh kerumunan. Beberapa warga yang tadinya menatap Arjuna dengan penuh harap kini berbalik menatapnya dengan curiga.
Arjuna menatap balik 'dokter' itu, tatapannya dingin. Ancaman penjara terasa kosong dibandingkan dengan nyawa yang sedang sekarat di depan matanya. Ia tidak peduli. Ia baru saja akan mendorong pria itu menyingkir ketika sebuah suara memecah ketegangan.
Ngiuuung... Ngiuuung...
Suara sirene ambulans terdengar dari kejauhan, semakin lama semakin jelas. Harapan baru menyebar di antara kerumunan.
"Ambulansnya datang!"
"Syukurlah, pertolongan datang!"
Arjuna pun mengurungkan niatnya. Ia menghela napas lega. 'Baguslah, tim medis sungguhan datang,' batinnya. Para profesional pasti akan tahu apa yang harus dilakukan. Mereka punya peralatan dan pengetahuan yang benar. Ia mundur teratur, kembali membaur dengan kerumunan, memberikan ruang bagi para ahli yang sesungguhnya.
Sebuah ambulans berhenti dengan decitan ban. Dua orang petugas medis berseragam sigap melompat turun, membawa tas peralatan dan sebuah ranjang troli.
"Ada apa ini? Di mana pasiennya?" tanya salah satu petugas dengan cepat.
Sang 'dokter' palsu langsung menyambut mereka, kembali mengambil peran sebagai pengendali situasi. "Di sini, Mas! Cepat! Pasien serangan jantung, henti napas. Saya dokter, saya sudah coba lakukan CPR dari tadi tapi belum ada respons!" lapornya dengan nada panik yang dibuat-buat.
Tim medis itu langsung bergerak cepat. Tanpa banyak bertanya, mereka mengambil alih. Salah satu petugas melanjutkan kompresi dada, sementara yang lain memeriksa pupil mata dan meraba nadi di leher sang kakek.
"Nadi tidak teraba! Napas tidak ada!" seru petugas itu pada rekannya. "Siapkan AED!"
Mereka bekerja dengan efisien dan terkoordinasi, mengangkat tubuh lemas sang kakek ke atas ranjang troli. Salah satu petugas menempelkan beberapa elektroda ke dada sang kakek.
"Pasien atas nama siapa? Ada keluarga?" tanya petugas medis itu pada sang nenek yang masih menangis.
Di tengah semua kesibukan itu, si 'dokter' palsu masih sempat menimpali, "Dugaan saya serangan jantung koroner masif, Mas. Tekanan darahnya sepertinya langsung drop."
Petugas medis itu mengangguk singkat. "Iya, Dok. Sepertinya begitu. Tanda-tandanya jelas."
Mendengar itu, Arjuna yang berdiri di antara kerumunan merasakan sesuatu yang aneh. Ia menatap pemandangan itu—petugas medis profesional, peralatan canggih, diagnosis yang terdengar meyakinkan—lalu ia menatap 'penglihatan'-nya yang masih samar-samar menunjukkan gumpalan kecil yang terkutuk itu di tenggorokan sang kakek.
Mereka semua salah. Para ahli itu salah. Mereka begitu fokus pada gejala—jantung yang berhenti—hingga mereka tidak lagi mencari penyebabnya.
Saat ranjang troli itu didorong masuk ke dalam ambulans dan sang nenek ikut masuk dengan tangis yang pilu, Arjuna tidak bisa menahan seulas senyum yang muncul di bibirnya. Bukan senyum bahagia atau lega. Itu adalah sebuah senyum kecut. Senyum yang paling pahit.
Ia tersenyum pada absurditas dunia. Di mana pengetahuan gaibnya yang nyata dianggap sebagai omong kosong, sementara keahlian medis yang dipelajari bertahun-tahun ternyata bisa menjadi buta. Ia tersenyum karena ia tahu, di dalam ambulans yang melaju kencang dengan sirene yang meraung-raung itu, mereka tidak sedang membawa pasien untuk diselamatkan. Mereka hanya sedang mengantar jenazah. Dan ia adalah satu-satunya orang di dunia yang tahu, namun tak bisa berbuat apa-apa.
biar nulisny makin lancar...💪