NovelToon NovelToon
Cincin Peninggalan Kakek

Cincin Peninggalan Kakek

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Kebangkitan pecundang / Menjadi Pengusaha / Anak Lelaki/Pria Miskin / Balas Dendam / Mengubah Takdir
Popularitas:26k
Nilai: 5
Nama Author: RivaniRian21

Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15 Peduli Tidak

Waktu seolah berjalan merangkak. Pria yang mengaku dokter itu kini menjadi pusat perhatian, dan ia memainkan perannya dengan sungguh-sungguh.

"Cepat! Baringkan dia lurus! Kita mulai kompresi dada!" perintahnya dengan suara yang dibuat terdengar darurat.

Dengan bantuan beberapa warga, posisi sang kakek diluruskan. 'Dokter' itu lalu berlutut, menumpuk kedua telapak tangannya di tengah dada sang kakek dan mulai melakukan gerakan menekan yang cepat dan ritmis. "Satu... dua... tiga... empat..." hitungnya dengan lantang, seolah sedang melakukan prosedur penyelamatan di ruang gawat darurat.

Sang nenek menatap dengan penuh harap, air matanya masih mengalir. Kerumunan orang menahan napas, percaya bahwa mereka sedang menyaksikan sebuah upaya medis profesional.

Arjuna masih berdiri tenang di pinggir kerumunan. Matanya tidak tertuju pada aksi heroik sang 'dokter', melainkan pada leher sang kakek. Penglihatan anehnya masih aktif, dan ia bisa melihat gumpalan bakso itu tetap tak bergeming, sementara pasokan oksigen ke otak sang kakek semakin menipis. Kompresi dada itu tidak ada gunanya sama sekali. Itu seperti mencoba memadamkan api dengan menyiram bagian rumah yang lain.

Satu menit berlalu. Wajah sang kakek tidak menunjukkan perubahan, malah warnanya semakin gelap.

"Bagaimana, Dok? Kok belum sadar juga?" tanya salah seorang warga yang mulai cemas.

'Dokter' itu tampak berkeringat, napasnya mulai terengah-engah. "Serangan jantungnya parah! Terus kompresi!" jawabnya, mencoba menjaga otoritasnya, meskipun secercah kepanikan mulai terlihat di matanya. Ia mencoba memeriksa denyut nadi lagi, lalu menekan dada lagi dengan lebih kuat. Berbagai manuver medis yang mungkin pernah ia lihat di televisi ia coba terapkan.

Namun, tidak ada reaksi. Tubuh sang kakek tetap terkulai lemas.

Harapan di mata kerumunan mulai memudar, berganti dengan kepanikan yang sesungguhnya. Mereka sadar, upaya sang dokter tidak membuahkan hasil.

"Ambulansnya mana?! Kok lama sekali!"

"Kakeknya... wajahnya makin biru..."

"Dokter, apa tidak ada cara lain? Disuntik atau apa gitu?"

Sang 'dokter' kini benar-benar panik. Ia kehabisan akal. Semua pengetahuan medis dangkalnya sudah ia kerahkan tanpa hasil. Ia berhenti melakukan kompresi, menatap pasiennya dengan tatapan putus asa.

Di tengah kepanikan massal itu, Arjuna tetap diam seperti batu karang. Ia tidak panik. Ia hanya mengamati dengan ketenangan yang mengerikan. Pikirannya, yang dibantu oleh kekuatan cincin, bekerja dengan sangat jernih. Ia bisa merasakan detak jantung sang kakek yang semakin melemah, semakin tidak teratur. Ia tahu, waktunya hampir habis. Mungkin hanya tersisa kurang dari satu menit.

Ia melihat sang nenek yang kini sudah terduduk lemas di aspal, isak tangisnya berubah menjadi ratapan pasrah. Ia melihat 'dokter' palsu yang sudah menyerah. Ia melihat kerumunan yang tak berdaya.

Cukup. Panggung untuk sang 'dokter' sudah selesai. Sekarang gilirannya.

Senyum tipis yang tadi sempat tersungging di bibir Arjuna kini lenyap, digantikan oleh ekspresi yang sangat serius dan tajam. Ia tidak lagi menunggu. Dengan langkah mantap dan tanpa keraguan, ia kembali menembus kerumunan yang kini memberinya jalan dengan lebih mudah.

"Minggir," katanya. Suaranya tidak keras, namun mengandung otoritas yang membuat semua orang, termasuk sang 'dokter' palsu, refleks menyingkir dari hadapannya.

Semua mata kini tertuju padanya. Pada anak muda berpenampilan sederhana yang sejak tadi hanya diam mengamati, dan kini melangkah maju seolah ia adalah harapan terakhir.

Tepat saat jemari Arjuna hendak menyentuh bahu sang kakek untuk membalikkan tubuhnya, pria yang mengaku dokter itu melangkah maju dengan cepat, menghalangi jalannya.

"Hei! Berhenti! Sudah kubilang jangan disentuh!" bentaknya, matanya menatap Arjuna dengan marah dan penuh ancaman. "Kamu ini siapa? Punya lisensi medis? Kalau sampai terjadi hal fatal pada pasien ini karena ulahmu, saya pastikan kamu akan saya tuntut! Kamu bisa masuk penjara karena malapraktik!"

Ancaman itu diucapkan dengan lantang, sengaja agar didengar oleh seluruh kerumunan. Beberapa warga yang tadinya menatap Arjuna dengan penuh harap kini berbalik menatapnya dengan curiga.

Arjuna menatap balik 'dokter' itu, tatapannya dingin. Ancaman penjara terasa kosong dibandingkan dengan nyawa yang sedang sekarat di depan matanya. Ia tidak peduli. Ia baru saja akan mendorong pria itu menyingkir ketika sebuah suara memecah ketegangan.

Ngiuuung... Ngiuuung...

Suara sirene ambulans terdengar dari kejauhan, semakin lama semakin jelas. Harapan baru menyebar di antara kerumunan.

"Ambulansnya datang!"

"Syukurlah, pertolongan datang!"

Arjuna pun mengurungkan niatnya. Ia menghela napas lega. 'Baguslah, tim medis sungguhan datang,' batinnya. Para profesional pasti akan tahu apa yang harus dilakukan. Mereka punya peralatan dan pengetahuan yang benar. Ia mundur teratur, kembali membaur dengan kerumunan, memberikan ruang bagi para ahli yang sesungguhnya.

Sebuah ambulans berhenti dengan decitan ban. Dua orang petugas medis berseragam sigap melompat turun, membawa tas peralatan dan sebuah ranjang troli.

"Ada apa ini? Di mana pasiennya?" tanya salah satu petugas dengan cepat.

Sang 'dokter' palsu langsung menyambut mereka, kembali mengambil peran sebagai pengendali situasi. "Di sini, Mas! Cepat! Pasien serangan jantung, henti napas. Saya dokter, saya sudah coba lakukan CPR dari tadi tapi belum ada respons!" lapornya dengan nada panik yang dibuat-buat.

Tim medis itu langsung bergerak cepat. Tanpa banyak bertanya, mereka mengambil alih. Salah satu petugas melanjutkan kompresi dada, sementara yang lain memeriksa pupil mata dan meraba nadi di leher sang kakek.

"Nadi tidak teraba! Napas tidak ada!" seru petugas itu pada rekannya. "Siapkan AED!"

Mereka bekerja dengan efisien dan terkoordinasi, mengangkat tubuh lemas sang kakek ke atas ranjang troli. Salah satu petugas menempelkan beberapa elektroda ke dada sang kakek.

"Pasien atas nama siapa? Ada keluarga?" tanya petugas medis itu pada sang nenek yang masih menangis.

Di tengah semua kesibukan itu, si 'dokter' palsu masih sempat menimpali, "Dugaan saya serangan jantung koroner masif, Mas. Tekanan darahnya sepertinya langsung drop."

Petugas medis itu mengangguk singkat. "Iya, Dok. Sepertinya begitu. Tanda-tandanya jelas."

Mendengar itu, Arjuna yang berdiri di antara kerumunan merasakan sesuatu yang aneh. Ia menatap pemandangan itu—petugas medis profesional, peralatan canggih, diagnosis yang terdengar meyakinkan—lalu ia menatap 'penglihatan'-nya yang masih samar-samar menunjukkan gumpalan kecil yang terkutuk itu di tenggorokan sang kakek.

Mereka semua salah. Para ahli itu salah. Mereka begitu fokus pada gejala—jantung yang berhenti—hingga mereka tidak lagi mencari penyebabnya.

Saat ranjang troli itu didorong masuk ke dalam ambulans dan sang nenek ikut masuk dengan tangis yang pilu, Arjuna tidak bisa menahan seulas senyum yang muncul di bibirnya. Bukan senyum bahagia atau lega. Itu adalah sebuah senyum kecut. Senyum yang paling pahit.

Ia tersenyum pada absurditas dunia. Di mana pengetahuan gaibnya yang nyata dianggap sebagai omong kosong, sementara keahlian medis yang dipelajari bertahun-tahun ternyata bisa menjadi buta. Ia tersenyum karena ia tahu, di dalam ambulans yang melaju kencang dengan sirene yang meraung-raung itu, mereka tidak sedang membawa pasien untuk diselamatkan. Mereka hanya sedang mengantar jenazah. Dan ia adalah satu-satunya orang di dunia yang tahu, namun tak bisa berbuat apa-apa.

1
agus purnomo
kopi plus vote suhu
biar nulisny makin lancar...💪
Was pray
kalau merasa terbebani dengan cincin warisan kakeknya ya dilepas saja Juna, daripada kamu mengeluh terus, kayaknya gak ikhlas menerima takdirmu juna
Aman Wijaya
jooooz jooooz gandos lanjut terus
Aman Wijaya
lanjut terus Thor
Aman Wijaya
top markotop ceritanya Thor lanjut
Aman Wijaya
jooooz pooolll lanjut terus
4U2C
𝘆𝗮 𝗶𝗻𝗴𝗮𝘁 𝗮𝘀𝗮𝗹 𝘂𝘀𝘂𝗹𝗺𝘂 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝗯𝗶𝗮𝗿 𝗽𝗮𝗿𝗮 𝗿𝗲𝗮𝗱𝗲𝗿 𝘀𝘂𝗸𝗮 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗮𝗰𝗮 𝗸𝗶𝘀𝗮𝗵𝗺𝘂..
4U2C
𝗷𝗮𝘂𝗵𝗶 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴-𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗼𝗻𝗴𝗹𝗼𝗺𝗲𝗿𝗮𝘁 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝘀𝗲𝗯𝗲𝗹𝘂𝗺 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝘀𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶 𝗷𝗮𝗱𝗶 𝘀𝗼𝘀𝗼𝗸 𝗸𝗼𝗻𝗴𝗹𝗼𝗺𝗲𝗿𝗮𝘁 𝘀𝗲𝘀𝘂𝗻𝗴𝗴𝘂𝗵 𝗻𝘆𝗮,,𝗶𝘁𝘂 𝘀𝗲𝗺𝘂𝗮 𝗺𝗲𝗺𝗽𝗲𝗿𝘀𝘂𝗹𝗶𝘁𝗸𝗮𝗻 𝗵𝗶𝗱𝘂𝗽𝗺𝘂 𝗻𝗮𝗻𝘁𝗶𝗻𝘆𝗮,,𝗹𝗶𝗵𝗮𝘁 𝗯𝗲𝗹𝘂𝗺 𝗮𝗽𝗮-𝗮𝗽𝗮 𝘀𝘂𝗱𝗮𝗵 𝗮𝗱𝗮 𝗺𝘂𝗻𝘀𝘂𝗵𝗺𝘂 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝗱𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮-𝗱𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮..𝘁𝗲𝘁𝗮𝗽𝗹𝗮𝗵 𝗿𝗲𝗻𝗱𝗮𝗵 𝗵𝗮𝘁𝗶 𝗯𝗮𝗻𝘁𝘂 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗮𝗻𝘁𝘂 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝘂𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗮𝗺𝗽𝘂..𝗷𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗴𝗶𝘂𝗿 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝘆𝗮 𝗿𝗮𝘆𝗮..
4U2C
𝗽𝗮𝗰𝗮𝗿 𝗺𝗶𝗮 𝗥𝗜𝗔𝗡 𝗱𝗶𝗮𝗺𝗯𝗶𝗹 𝗦𝗜𝗡𝗧𝗔 𝗱𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗸𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗗𝗜𝗢𝗡,,𝗮𝗽𝗮 𝗮𝗱𝗮 𝗵𝘂𝗯𝘂𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗗𝗜𝗢𝗡 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗠𝗜𝗔 𝘆𝗮,,𝗱𝗮𝗻 𝗹𝗮𝗴𝗶 𝗸𝗲𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗽𝗲𝗻𝗴𝗮𝘄𝗮𝗹 𝗶𝗯𝘂 𝗟𝗜𝗔𝗡𝗔 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗠𝗜𝗔,,𝗺𝗲𝗹𝗮𝗺𝘂𝗻,𝗮𝗽𝗮 𝗺𝗮𝘀𝗶𝗵 𝗺𝗲𝗹𝗼𝗻𝗴𝗼..𝗮𝗸𝘂 𝘀𝗮𝗿𝗮𝗻𝗸𝗮𝗻 𝗷𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗯𝘂𝗮𝘁 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝗱𝗲𝗸𝗮𝘁 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝘆𝗮 𝘀𝗲𝗱𝘂𝗻𝗶𝗮..𝗺𝗮𝘂 𝗻𝘆𝗮𝗸 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝗯𝗶𝗮𝘀𝗮 𝗮𝗷𝗮 𝘁𝗮𝗽𝗶 𝗸𝗲𝗿𝗮𝘀,,𝗱𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁𝗶 𝗴𝗮𝗱𝗶𝘀 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗶𝗮𝘀𝗮,,𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗠𝗜𝗔 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗔𝗨𝗟𝗜𝗔,,𝗽𝘂𝘁𝗿𝗶 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝘆𝗮..
agus purnomo
kopi lagi suhu
Aman Wijaya
lanjut terus Thor semangat semangat ditunggu lagi updatenya 💪💪💪 sehat selalu untukmu Thor sehingga bisa berkarya terus
Aman Wijaya
Arjuna rasa disidak seperti seorang terpidana lanjut terus Thor lanjut
Aman Wijaya
jooooz pooolll Thor 💪💪💪
Aman Wijaya
babat semuanya Juna jangan beri ampun bikin mereka semua tidak bisa bangun
Aman Wijaya
top top markotop lanjut terus Thor semangat semangat semangat
Aman Wijaya
lanjut terus Thor lanjut
Aman Wijaya
jooooz jooooz pooolll Thor lanjut terus
Rita Natalia
Dion siapa ya ?
Achmad
ayo Thor lanjut semangat jangan kendor
Achmad
semangat Thor lanjut semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!