NovelToon NovelToon
Retak Yang Tak Kembali

Retak Yang Tak Kembali

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Pelakor jahat / Penyesalan Suami / Antagonis / Selingkuh / Sad ending
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Dgweny

Nayara dipaksa menghadapi Pengkhianatan menyakitkan dari suaminya, Ardan (Direktur Konstruksi), hanya untuk menyadari bahwa pengusiran itu adalah upaya putus asa Ardan untuk melindunginya dari konspirasi berbasis Hutang Karma masa lalu.
.
.
Didorong rasa cinta yang besar terhadap Ardan , Nayara berpacu melawan waktu memperebutkan 'Kunci Master' ke The Grid, sistem infrastruktur yang dikendalikan secara Biometrik oleh kesadaran seorang anak.
.
.
Setelah menyelamatkan Ardan dari transformasi digital, Nayara menemukan ancaman yang sebenarnya kini merasuki orang terdekatnya, menandakan bahwa perang melawan The Grid baru saja dimulai.

______________


Tolong dibantu untuk like , komen dan follow akun aku ya, bantuan kalian sangat berharga untuk aku🫶

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12. Bayangan Mira

Haiii Guys sebelum baca tolong di bantu klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi. Bantuan kalian sangat berarti buat aku🫶

Happy reading 🌷🌷🌷

...****************...

Matahari siang memantul lembut di atas taman kecil di tengah kota.

Udara segar bercampur aroma kopi dari kedai di seberang jalan.

Di meja panjang dengan taplak putih, beberapa wanita duduk membicarakan acara amal yang akan diadakan komunitas sosial minggu depan — termasuk Nayara.

Ia berusaha tersenyum, menatap papan agenda di hadapannya.

Tapi pikirannya masih berputar pada malam sebelumnya.

Lilinnya, makan malam yang tak tersentuh, pesan singkat Ardan.

“Maaf banget, Nay. Aku nggak bisa pulang malam ini.”

Kata *maaf* itu seperti gema yang tidak berhenti di kepala.

Sampai suara lembut seorang perempuan memecah lamunannya.

“Maaf, boleh duduk di sini? Tempat lainnya penuh.”

Nayara menoleh — dan waktu seakan berhenti sesaat.

Perempuan itu tersenyum, anggun, dengan rambut cokelat bergelombang dan blazer krem yang menonjolkan kepercayaan diri.

“Mira Lestari,” katanya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. “Aku diminta membantu bagian sponsorship acara ini.”

Dunia Nayara terasa berputar sepersekian detik.

Nama itu seperti duri lama yang tiba-tiba menusuk tanpa peringatan.

Namun ia tersenyum kecil, sopan. “Oh... tentu, silakan duduk.”

Suaranya terdengar normal, tapi jantungnya berdetak terlalu cepat.

 

“Wah, kebetulan banget kalian belum pernah saling kenal!”

Itu suara Bu Sari, salah satu ketua komunitas. “Mira ini orangnya kompeten banget, Nay. Katanya teman lama Ardan juga, ya, Mir?”

Nayara menoleh cepat tanpa bisa menahannya.

Tapi Mira hanya tersenyum tenang, memainkan gelas air mineral di depannya.

“Iya,” jawabnya lembut. “Kami sempat satu sekolah dulu. Dunia sempit, ya.”

Nayara menelan ludah. Ia memaksakan senyum. “Iya, ternyata dunia kecil sekali.”

Kata-katanya terdengar datar — seperti seseorang yang mencoba bersikap wajar saat jantungnya sedang runtuh pelan.

 

Selama rapat berlangsung, Mira berbicara dengan tenang dan penuh ide.

Ia pandai menempatkan diri, tahu kapan harus tersenyum, kapan harus menatap.

Setiap kali matanya bertemu dengan Nayara, ada sesuatu yang samar di balik tatapan itu — sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, tapi jelas bukan sekadar keramahan.

Ketika rapat berakhir, sebagian anggota berpamitan.

Nayara mengemasi berkasnya, berusaha bergegas pulang sebelum sempat berbicara terlalu lama.

Tapi Mira sudah berdiri di belakangnya.

“Nayara, ya? Aku boleh bantu bawain ini?” katanya sambil menunjuk map yang hampir terjatuh.

“Oh, nggak usah. Aku bisa,” jawab Nayara cepat.

Mira tersenyum — senyum yang lembut tapi mengandung sesuatu yang asing. “Ardan sering cerita soal kamu, tahu? Katanya kamu orangnya penyabar sekali.”

Nayara menatapnya lama.

Kedua wanita itu berdiri saling berhadapan, seperti dua bayangan masa lalu dan masa kini yang saling menantang tanpa suara.

“Dia cerita, ya?” tanya Nayara perlahan.

“Ya,” jawab Mira singkat, masih dengan nada tenang. “Aku cuma senang bisa ketemu istrinya langsung. Kamu lebih cantik daripada yang aku bayangkan.”

“Terima kasih,” jawab Nayara.

Lalu ia menambahkan, dengan senyum yang hampir tak terasa, “Mudah-mudahan cerita yang kamu dengar darinya juga... benar adanya.”

Mira terdiam sepersekian detik — lalu tersenyum samar. “Tentu.”

 

Sore hari, Nayara mampir ke rumah ibunya.

Rumah kecil di pinggiran kota itu terasa hangat, penuh aroma sayur bening yang baru dimasak.

Ibu menyambutnya dengan senyum dan pelukan.

“Kamu pucat, Nay. Capek, ya?”

“Enggak, Bu. Cuma agak pusing,” jawab Nayara, berusaha terdengar ringan.

Mereka duduk di ruang makan, obrolan mengalir tentang hal-hal kecil — tetangga baru, harga beras, acara TV.

Tapi perhatian sang ibu menangkap sesuatu di wajah putrinya.

“Kamu dan Ardan baik-baik aja, kan?”

Pertanyaan itu membuat Nayara terdiam sesaat. Ia menatap sendok di tangannya, lalu menjawab pelan, “Baik, kok. Cuma... sekarang dia lebih sibuk dari biasanya.”

Ibunya mengangguk pelan. “Sibuk boleh, tapi jangan sampai lupa sama rumah. Kadang laki-laki suka begitu — waktu awal semua diperjuangkan, setelah dapat malah lupa kenapa mereka mulai.”

Nayara menatap ibunya, merasa kalimat itu menembus pertahanan terakhir di hatinya.

Ia menggenggam tangan sang ibu dengan lembut. “Bu... kalau suatu hari aku nggak kuat, aku boleh pulang, kan?”

Sang ibu tersenyum, menepuk punggung tangannya. “Rumah ini nggak pernah tertutup buat kamu, Nak. Tapi aku doain... semoga kamu nggak perlu pulang karena patah hati.”

 

Malamnya, saat Nayara pulang, rumah tampak gelap.

Ardan belum pulang.

Ia meletakkan tas di sofa dan berjalan ke dapur, menyalakan lampu, lalu menatap ponselnya — tidak ada pesan baru.

Rasanya aneh.

Setiap malam, ia berharap Ardan pulang dan menjelaskan semuanya.

Tapi yang datang justru diam — diam yang dingin dan memakan kesabaran sedikit demi sedikit.

Ia membuka laptop, mengecek email terkait acara amal.

Dan di sana, di antara daftar penerima, nama itu muncul lagi: Mira Lestari – Sponsor & Koordinator Pendamping.

Dadanya terasa sesak.

Jadi ini rencananya, pikirnya pelan.

Dia nggak cuma datang ke hidup Ardan, tapi juga ke kehidupanku.

 

Keesokan paginya, Nayara bertemu Alia di kafe kecil dekat taman.

Alia memesan kopi hitam, sementara Nayara hanya minum air putih.

“Wajahmu kayak orang yang habis ngelihat hantu,” canda Alia.

Nayara tersenyum lemah. “Mungkin emang iya.”

“Kenapa emangnya?”

“Mira,” jawab Nayara akhirnya. “Dia muncul di komunitas sosialku. Dengan alasan kerja sama sponsor.”

Alia terbelalak. “Serius? Itu orang benar-benar berani, ya.”

“Dia santai sekali, Li. Nggak ada rasa bersalah sama sekali. Dan yang paling aneh... semua orang suka dia. Mereka bilang dia profesional, baik, cerdas.”

Alia mencondongkan tubuh. “Dan Ardan tahu?”

“Aku nggak tahu,” bisik Nayara. “Tapi kalau dia tahu, aku nggak yakin dia keberatan.”

Mereka terdiam lama.

Alia menggenggam tangan Nayara. “Kamu nggak bisa biarin dia masuk lebih jauh. Sekali kamu diam, dia bakal ambil semua yang kamu punya.”

Nayara menatap luar jendela — hujan tipis mulai turun, seperti deja vu dari setiap malam sepi.

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Li. Aku bukan tipe yang bisa berkelahi. Aku cuma pengen semuanya berhenti tanpa aku harus jadi orang lain.”

 

Beberapa hari kemudian, Nayara kembali menghadiri rapat persiapan acara amal.

Ruangan itu ramai dan penuh tawa.

Mira datang terlambat, membawa tumpukan brosur dan proposal.

Ia menyapa semua orang, termasuk Nayara, dengan ramah seolah tidak ada masa lalu yang perlu dijelaskan.

“Nayara, aku bawa draft kerja sama untuk kamu review,” katanya sambil duduk di sebelahnya.

Nayara tersenyum sopan. “Oh, baik. Taruh saja di sini.”

Namun saat Nayara membuka lembaran pertama, matanya membeku.

Di bagian tanda tangan dan kontak koordinasi:

Ardan Rayesa – Direktur Utama PT Lestari Group (Rekan Sponsor Utama).

Tangannya bergetar sedikit.

Ia menatap nama itu lama.

Sementara di sampingnya, Mira hanya tersenyum kecil, seperti tahu tepat apa yang sedang terjadi di dalam dada Nayara.

“Wah, kebetulan banget, ya?” ujar Mira pelan. “Suamimu kerja sama di proyek ini juga.”

Nayara menelan ludah, menahan gemetar di ujung suaranya.

“Iya... kebetulan.”

 

Sore hari setelah rapat, Mira menghampiri Nayara di tempat parkir.

Langit oranye memudar, suara kendaraan lalu-lalang terdengar samar.

“Nay,” panggil Mira lembut.

Nayara berbalik. “Ada apa?”

Mira menatapnya dengan mata teduh — tapi tatapan itu terlalu jujur untuk disebut ramah, terlalu tajam untuk disebut sopan.

“Jangan salah paham, ya,” katanya perlahan. “Aku cuma ingin bantu proyek ini berhasil. Aku nggak punya niat lain.”

Nayara menatapnya balik, tenang tapi dalam. “Aku nggak salah paham, Mir. Aku cuma orang yang belajar percaya... tapi juga nggak mudah dibodohi dua kali.”

Sekilas, wajah Mira menegang — lalu tersenyum lagi, kali ini lebih dingin.

“Bagus kalau begitu. Semoga kita bisa kerja sama dengan baik.”

Ia berjalan pergi, meninggalkan aroma parfum yang samar — aroma yang sama yang dulu pernah menempel di jas Ardan.

Nayara berdiri diam di sana, memandangi punggung Mira yang menjauh.

Dan untuk pertama kalinya, ia sadar: ini bukan lagi sekadar kesetiaan yang diuji.

Ini adalah perang yang sedang dimulai dengan senyum dan sopan santun.

 

Malamnya, Nayara menatap pantulan wajahnya di cermin.

Ia menatap matanya sendiri yang mulai kehilangan cahaya.

Namun kali ini, ia tidak menangis.

“Kalau ini memang ujian,” bisiknya pelan pada bayangan di kaca, “aku nggak akan kabur lagi. Aku nggak akan kalah cuma karena seseorang datang dengan wajah lama.”

Dan entah dari mana, muncul sedikit keberanian di dadanya.

Kecil, tapi nyata.

Untuk pertama kalinya, Nayara tidak hanya menunggu cinta pulang — ia bersiap mempertahankan dirinya sendiri.

 

Bersambung....

1
Sanda Rindani
kok jd istri tolol,
Dgweny: wkwk aku juga Gedeg Ama nayara ka🤣
total 1 replies
Nindi
Namanya Mira Lestari atau Mira Adelia, thor?
Dgweny: Adeliaa wkwk typo aku ka hehe
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!