Shaqila Ardhani Vriskha, mahasiswi tingkat akhir yang sedang berada di ujung kewarasan.
Enam belas kali skripsinya ditolak oleh satu-satunya makhluk di kampus yang menurutnya tidak punya hati yaitu Reyhan Adiyasa, M.M.
Dosen killer berumur 34 tahun yang selalu tampil dingin, tegas, dan… menyebalkan.
Di saat Shaqila nyaris menyerah dan orang tuanya terus menekan agar ia lulus tahun ini,
pria dingin itu justru mengajukan sebuah ide gila yang tak pernah Shaqila bayangkan sebelumnya.
Kontrak pernikahan selama satu tahun.
Antara skripsi yang tak kunjung selesai, tekanan keluarga, dan ide gila yang bisa mengubah hidupnya…
Mampukah Shaqila menolak? Atau justru terjebak semakin dalam pada sosok dosen yang paling ingin ia hindari?
Semuanya akan dijawab dalam cerita ini.
Jangan lupa like, vote, komen dan bintang limanya ya guys.
Agar author semakin semangat berkarya 🤗🤗💐
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rezqhi Amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penolakan ke enam belas
Seorang gadis melangkah dengan sangat hati-hati seakan setiap langkahnya terdapat beban yang cukup kuat. Wajahnya gelisah, tumpukan kertas-kertas ditangannya ia pegang erat.
Dia adalah Shaqila Ardhani Vriskha, seorang mahasiswa jurusan manajemen semester akhir yang sedang memegang skripsi yang sudah ke lima belas kalinya ia revisi.
Langkah demi langkah ia lakukan seraya berdoa dalam hati agar skripsinya kali ini lulus.
Gadis itu merasa sial karena mendapat dosen pembimbing yang killer. Namun apa boleh buat, ia tidak dapat memilih. Semua sudah ditentukan oleh pihak kampus.
"Pengajuan lagi?" tanya Siska, sahabat Shaqila yang datang menghampirinya.
Shaqila mengangguk lesu, "doain gue ya semoga kali ini pak Reyhan berbaik hati untuk meng acc skripsi gue. Otak gue hampir meledak ngerevisi lima belas kali," ucapnya dengan wajah menunduk.
Siska tertawa mendengar ucapan sahabatnya, "ya nikmati aja Qil, kapan lagi bisa berurusan dengan dosen tampan itu. Kalau gue itu lo ya, gue sengaja membuat skripsi salah biar biar bisa cuci mata mulu,"
Shaqila mendecik kesal, "ya itu lo, bukan gue. Lagian dia itu udah tua, lo mau jadi sugarbaby gitu?" ucapnya seraya melangkah lebih cepat agar tidak mendengar ocehan tidak penting dari sahabatnya yang selalu memuji-muji ketampanan dari dosen pembimbingnya.
Sampai pada akhirnya ia sampai di depan pintu yang menurutnya ruang keramat. Gadis itu mengatur pernafasannya, dan dengan sangat hati-hati ia membuka pintu ruang tersebut.
Ruang dosen itu selalu terasa seperti ruang interogasi yang mematikan bagi Shaqila. Dinding putihnya terlalu bersih, terlalu sunyi, terlalu mengintimidasi. Jam dinding berdetak pelan, namun setiap detaknya seperti menghitung sisa hidupnya.
Shaqila berdiri kaku di depan meja kerja kayu gelap yang ditata terlalu rapi untuk ukuran seorang dosen. Tidak ada satu pun barang yang berantakan. Bahkan pulpen di tempatnya tersusun lurus seperti barisan tentara.
Dan di balik meja itu, duduk lelaki yang selalu membuat jantungnya terasa mau copot karena setiap bibir lelaki itu bersuara pasti keluar kata demi kata yang membuatnya ingin mati saja.
Dr. Reyhan Adiyasa, M.M.
Dosen manajemen paling dihindari se-fakultas. Bahkan sekampus karena killernya yang luar biasa.
Dingin, tegas, nyaris tak punya ekspresi.
Dan sialnya dosen itu menjadi pembimbing skripsinya.
Shaqila ingin menyerah, namun ia mengingat orang tuanya yang menuntut agar bisa lulus tahun ini.
"Ada apa?" tanya Reyhan dengan aura dingin.
Shaqila rasanya sulit membuka suara, skripsi yang dipegang erat-erat tadi kini diserahkan dengan perasaan penuh harap.
'Bukalah pintu hatinya sedikit agar kasihan kepadaku,' batin Shaqila dengan wajah gelisah.
Reyhan mengambil skripsi itu dan menatap wajah gelisah Shaqila. "Apa kau sudah merivisi sesuai yang ku ajarkan?" tanya dosen itu.
"Sudah pak?" jawab Shaqila. Perasaannya saat ini sangat was was.
Seakan tumpukan kertas-kertas itu adalah hidup matinya.
Reyhan membuka lembaran kertas itu menggunakan dua jari seperti memegang sesuatu yang sangat rapuh, atau sangat tidak penting.
Kacamata bertengger di wajah tegasnya, matanya menyipit membaca dan memeriksa seluruh kertas itu.
"Masih banyak hal yang perlu diperbaiki lagi." Suara itu datar, tenang, tapi memotong napas Shaqila lebih efektif daripada pisau.
"Tapi pak, saya sudah merevisi sesuai yang anda ajarkan," ucap Shaqila lesu. Suaranya bergetar, ia membenci kalimat itu lagi.
Reyhan mengangguk sekali, tanpa menatapnya lebih dari satu detik. Ia mulai membaca sekilas lagi.
Shaqila berharap agar kalimat yang diucapkan dosennya tadi itu dapat diubah lagi.
Harapan itu runtuh dalam tiga puluh detik ketika ia melihat Reyhan mengambil pulpen dan mulai mencoret-coret lagi kertas yang ia revisi mati-matian.
Setelahnya, Reyhan menutup lembaran tersebut dengan tenang dan mendorongnya kembali ke arah Shaqila.
"Tidak layak," ucapnya pendek.
Shaqila terpaku. "B-Pak?"
"Tidak layak. Bab satunya masih lemah. Rumusan masalah tidak tajam. Variabel tidak relevan, metodologi berantakan." Reyhan menatapnya datar, tatapan gelap di balik kacamata tipis itu menusuk telak.
"Saya sudah bilang, kalau mau lulus tahun ini, Anda harus serius dan teliti," lanjutnya lagi seraya bersandar di kursi kebesarannya.
Shaqila kesal dengan perkataan itu.
Serius?
Ia sudah tidak tidur dua hari,
Ia bahkan sampai lupa kapan terakhir makan.
Shaqila menggigit bibir, merasakan rasa asam naik ke tenggorokan. "Tapi saya sudah revisi sesuai catatan Bapak-"
"Kalau begitu kamu tidak benar-benar membaca catatan saya." Reyhan menyela tanpa emosi. "Perbaiki lagi, sebelum datang ke saya usahakan baca berulang kali dan teliti lagi," ucapnya lagi.
Shaqila membeku.
Ini berarti ini penolakan yang ke enam belas kalinya.
Reyhan melihat wajahnya, lalu menghela napas sangat pelan, seolah lelah menghadapi seorang mahasiswa yang tidak becus.
"Ini penolakan ke enam belas, bukan?"
Tubuh Shaqila panas dingin.
Gadis itu mengangguk karena entah mengapa lidahnya terasa sulit di gerakkan.
Diam, senyap, detak jam terdengar lebih keras daripada napasnya.
Lalu Reyhan berdiri.
Postur tinggi itu membuat Shaqila langsung menunduk refleks. Reyhan berjalan mengitari mejanya, berhenti di depan Shaqila, membuat jarak mereka hanya dua langkah.
"Kalau Anda tidak sanggup..." ucapnya pelan namun tegas, "katakan saja. Saya akan minta fakultas mengganti saya. Tapi saya sangat yakin dengan kemampuan anda yang hanya segini, dosen manapun akan tidak sanggup membimbing anda!"
Shaqila mendongak kaget.
Air bening tidak sengaja menggenang di pelupuknya.
Bukan karena marah.
Tapi karena putus asa.
"Tolong bantu saya pak, orang tua saya sudah menunggu saya lulus tahun ini." ucapnya dengan nada bergetar.
Reyhan terdiam agak lama. Tatapannya turun ke mata Shaqila, tanpa emosi, tetapi ada sesuatu yang tidak bisa ia definisikan. Belas kasihan? Tidak. Itu pasti bukan milik seorang Reyhan.
Akhirnya ia bicara.
"Bukan saya yang seharusnya membantumu, tapi dirimu sendiri. Jangan menangis di depan saya?" ucapannya tegas, namun tidak setajam biasanya.
"Saya tidak akan meng acc skripsi kamu karena air mata. Saya hanya meng acc jika skripsi kamu memang sudah layak untuk di acc!" ucapnya lagi.
Shaqila buru-buru menghapus sudut matanya. "Maaf, Pak…"
Reyhan merapikan bajunya, bersiap memulai kelas. Tapi sebelum ia melangkah keluar ruangan, ia menatap Shaqila sekali lagi.
"Kembali dengan sesuatu yang pantas untuk saya baca!"
Pintu tertutup.
Shaqila berdiri sendiri, lututnya hampir goyah.
Ia menghembuskan napas panjang dan jatuh terduduk di kursi ruang dosen.
"Enam belas kali ditolak…" gumamnya putus asa.
"Tuh dosen tidak berperikemanusiaan banget. Bagaimana bisa orang kejam seperti dia bisa menjadi dosen," gerutu Shaqila.
"Gue rasanya pengen bunuh diri aja deh," gerutunya lagi dan berdiri untuk keluar dari ruangan yang menurutnya keramat.
Hai hai hai guys,
Kali ini author membawa cerita baru lagi,
Dukung karya baru author ya😅😅🤗
Setiap dukungan kalian sangat berharga bagi author🥹🥹🤗
See you guys🤗🤗
tapi bener juga sih instruksi dan kata-kata tajamnya itu.. skripsi itu mengerti apa yang dikerjakan😌