Ardina Larasati, sosok gadis cantik yang menjadi kembang desa di kampung Pesisir. Kecantikannya membuat seorang Regi Sunandar yang merupakan anak pengepul ikan di kampung itu jatuh hati dengannya.
Pada suatu hari mereka berdua menjalin cinta hingga kebablasan, Ardina hamil, namun bukannya tanggung jawab Regi malah kabur ke kota.
Hingga pada akhirnya sahabat kecil Ardina yang bernama Hakim menawarkan diri untuk menikahi dan menerima Ardina apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung hingga 9 tahun, namun di usia yang terbilang cukup lama Hakim berkhianat, dan memutuskan untuk pergi dari kehidupan Ardina, dan hal itu benar-benar membuat Ardina mengalami gangguan mental, hingga membuat sang anak yang waktu itu berusia 12 tahun harus merawat dirinya yang setiap hari nyaris bertindak di luar kendali.
Mampukah anak sekecil Dona menjaga dan merawat ibunya?
Nantikan kelanjutan kisahnya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Matahari sudah merangkak naik keatas, namun gadis kecil itu masih berdiri diambang pintu kamar sang ibu, yang mana saat ini terlihat 10x lebih kosong, sunyi mencengkam, tak ada lagi teriakan sang ibu, dan tak adalagi sosok yang selalu membuatnya aman, meskipun ibunya tidak berdaya.
Air mata terus membanjiri wajahnya, dan tidak lama kemudian, para warga datang berbondong-bondong untuk membantu membersihkan rumah Dona, terutama tempat ibunya di kurung selama ini.
"Dona," panggil Pak RT.
Anak itu langsung terkejut dan buru-buru menghapus air matanya. "Iya Pak," sahut Dona.
"Saya, dan para warga lainnya khususnya ibu-ibu, ingin membersihkan rumah kamu, agar terlihat lebih bersih lagi," ujar Pak RT.
Niat baik itu di terima dengan lapang dada, Dona mempersilahkan para warga untuk membersihkan rumahnya, anak kecil itupun turut membantu, namun di tengah-tengah kondisi riuh ini para tetangga masih saja ada yang ghibah mengenai ia dan ibunya.
"Duuuh ... jika seperti ini siapa yang susah, tetangga juga ikut ke seret-seret, padahal kita gak ngelakuin apa-apa," celetuk Ibu Minten.
"Bener banget Bu Minten, orang ya kalau cantik itu seharusnya di jaga jangan diumbar, kalau sudah kaya gini siapa yang jadi korban," timpal Ibu Selfi.
"Anaknya yang jadi korban, lihat lah, kasihan itu anak, sudah sama bapak kandungnya gak diakui, giliran dapat bapak sambung baik, eh ujung-ujungnya pergi juga sampai buat ibunya gila," timpal yang lainnya.
Tanpa mereka sadari Dona yang ada di ruang dapur mencoba untuk menahan rasa sakit, dari cibiran mereka, rasa sakit yang menyayat dasar hatinya, membuatnya kuat untuk melangkah memberi peringatan.
"Tolong jangan pandang kami berdua sebagai, kami juga tidak meminta hidup seperti ini," ucap Dona terdengar pelan tapi tegas.
Sontak, para ibu-ibu itu terkejut dan menoleh ke belakang melihat seorang anak yang berdiri diambang pintu dapur dengan wajah yang lusuh dan mata yang sembab.
"Kami berbicara fakta Dona, dan itu kenyataannya, ibumu memang begitu, dan seharusnya kamu bersyukur kita semua mau membatu mu," sahut Minten.
"Aku berterima kasih banyak, tapi aku juga tidak tahan, kalian hina terus, aku juga punya hati Bu, hidupku sudah seperti ini, tapi kalian terus menerus menyalahkan ibukku," ujar Dona dengan bulir yang terus mengucur membasahi pipinya.
Mendengar suara ribut-ribut, akhirnya Pak RT datang melerai. "Sudah-sudah jangan bikin suasana semakin kacau," tegur Pak RT.
"Ibu-ibu kita di sini untuk membantu rumah Ibu Ardina, dan tolonglah jangan terlalu menyalahkan Ibu Dina dan juga Dona mereka berdua sudah banyak menderita, jadi tolong jangan seperti ini ya," imbuh Pak RT.
Suasana rumah itu perlahan mereda setelah teguran dari Pak RT, para ibu-ibu ada yang menyibukkan diri membersihkan ruangan ada yang sekedar hanya berbisik-bisik, ada yang berdengus kecil, semua itu mereka lakukan untuk menghindar dari pandangan Dona.
Dona menunduk sambil meremas ujung bajunya, hatinya bergetar, bukan karena takut, tapi karena sering menjadi sasaran oleh kata-kata yang tidak pernah ia minta, bahkan anak itu berusaha untuk menampung semua kata-kata tajam itu di dalam hati kecilnya, agar tidak berisik.
Pak RT menepuk pelan bahu Dona. “Nak, kamu kuat… kamu sudah lakukan yang benar. Biar Bapak yang urus sisanya, ya?”
Dona mengangguk lemah. “Terima kasih, Pak…”
Pak RT kemudian menatap tajam para ibu-ibu yang masih bergumam. “Barang siapa yang membantu, dengan hati… bukan dengan lidah tajam, lebih baik pulang, dari pada semakin membuat kegaduhan."
Kali ini mereka benar-benar terdiam, tidak ada yang berani lagi mengusik ataupun bergumam kecil kepada Dona.
☘️☘️☘️☘️☘️
Setelah rumah hampir bersih, beberapa ibu-ibu berpamitan. Ada yang melempar senyum kaku, ada yang sekadar melirik. Dona melihat punggung-punggung mereka hilang satu per satu di balik pintu rumahnya. Hatinya tiba-tiba terasa hampa, sepi itu kembali merayap masuk ke dalam biliknya seperti kabut dingin.
Di ruang tengah, hanya tersisa Pak RT dan dua perangkat desa. Mereka tengah berdiskusi pelan.
“Hari ini Dona akan tetap tinggal sendiri dulu, Pak?” tanya salah satu perangkat.
“Iya. Tapi nanti sore saya akan ke kantor desa urus surat agar bantuan tetap jalan ke rumah ini. Dan juga… saya mau bicara sama pihak puskesmas, biar kita tahu perkembangan Ibu Dina,” jawab Pak RT.
Dona mendengar semuanya walau ia pura-pura menyapu serpihan daun kering di sudut ruangan.
Tiba-tiba Pak RT memanggilnya lagi. “Dona, sini sebentar Nak.”
Dona mendekat dengan langkah kecil.
“Kamu mau tinggal di rumah Pamanmu dulu? Atau Bu RT? Sementara saja, sampai keadaan Ibumu jelas.”
Dona menatap lantai. “Aku… mau di sini saja, Pak. Di rumah Ibu.”
“Sendirian?”
“Iya, Pak.”
Pak RT menghela napas pendek. “Kalau kamu butuh apa pun, bilang ke Bapak, ya. Mulai hari ini Bapak yang bertanggung jawab sama kamu.”
Dona mengangguk. Tetapi jauh di dalam dirinya, ia merasa seperti daun yang patah dari tangkainya, tak punya tempat untuk singgah, hanya bisa jatuh mengikuti angin.
Pak RT kemudian pamit pulang. “Bapak ke kantor dulu, Nak. Kamu istirahat, ya.”
Dona mengantar mereka sampai pintu. Setelah itu, sunyi kembali menelan seluruh ruangan, hatinya kembali teriris melihat dirinya yang hidup hanya sebatang kara, kadang rasa rindu terhadap seseorang yang dulu ia panggil ayah datang menyeruak.
"Ayah Hakim setelah kepergian mu Ibu sakit, dan terus memanggil namamu, apa di sana kamu tidak mengingat kami," ucap Dona bermonolog.
☘️☘️☘️☘️☘️
Setelah acara geladi bersih rumah Dona selesai, kabar itu sampai di telinga rumah besar juragan Halik, pria bermata elang dan berkumis tipis itu mulai menatap sinis seolah tidak terima jika anak kecil itu disangkut pautkan dengannya.
"Mas Halik ini gimana? Para warga mulai berbicara terus mengenai anak itu, mereka bilang kasihan, padahal keluarga kandungnya hidup melimpah," ujar Serly, adik perempuan dari Halik.
"Sudah Ser, kamu tutup telinga saja, lagian anak itu anak haram, gak ada haknya di dalam keluarga kita," sahut Halik dengan sinis, pria tua itu langsung mengepalkan tangannya.
"Tapi Mas ..."
"Sudah jangan banyak tapi Ser," timpal Nindi istri dari Halik.
"Wanita gila itu sudah bikin anak kami malu, sekarang malah anaknya, kami semua sudah sepakat, untuk tidak menganggap anak itu, biar saja dia hidup sengsara kami tidak peduli, asal kamu tahu, nama keluarga kami pernah tercoreng gara-gara itu perempuan dan anaknya," cetus Nindi dengan nada sinisnya.
Serly hanya mengelus dada, sebagai seorang adik, ia tidak menyangka jika sang kakak begitu gila dengan kehormatan sampai-sampai menelantarkan anak yang seharusnya menjadi darah dagingnya.
"Mas ... Mbak ... jika kalian tidak mau anggap, lebih baik kasih tahu Regi saja, dia yang seharusnya merawat dan menjaga anak perempuannya," ujar Serly.
Duar!!
Halik menggebrak meja seolah tersulit amarahnya dengan ucapan sang adik. "Ngomong apa kau barusan!" sentak Halik. "Jangan pernah kau mengaitkan anakku kepada perempuan miskin itu lagi, dia bukan cucuku dan anakku tidak pernah memiliki anak dari rahim wanita gila itu!" cetus Hakim
Perkataannya tajam seperti belati yang menusuk hati.
Serly hanya bisa mengelus dada, berulang kali ia menyandarkan kakak laki-lakinya tapi yang ia dapat hanya amukan seolah hati keduanya sudah tertutup dengan yang namanya harga diri.
Bersambung ....
Selamat siang semoga suka ....
semangat Regi pasti bisa menjalaninya