Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Aira tiba di rumah dengan wajah polos... padahal Pak Hadi sudah ngos-ngosan jalan kaki jauh demi menyusulnya. Begitu masuk rumah, Bu Maryam langsung menyilangkan tangan di dada.
"Aira! Kamu ke mana aja? Mama sama Papa sampai khawatir banget. Hilang begitu aja, masyaAllah...!" Bu Maryam mengusap dadanya melihat tingkah Aira.
Aira, melepas sandalnya sambil ngeluarin plastik jajanan dari tas: "Aku kan jajan lagi, Ma… Enak banyak jajanan. Gak kayak di kampung sini, pilihannya dikit."
Bu Maryam membelalak: "Aira… itu bukan alasan hilang setengah kampung! Lihat kanan kiri tuh kebanyakan kebun, Ra. Kamu sendirian. Apalagi malam-malam begini!"
Aira nyengir, mendekat sambil merangkul lengan mamanya: "Hehe… maaf mama yang cantiknya ngalahin aku."
Bu Maryam langsung menahan senyum meski berusaha tetap marah: "Anak ini… aduh, Aira…! Apa hubungannya mama cantik sama kamu hilang?!"
Pak Hadi duduk di kursi sambil memijat betis karena capek jalan: "Kamu itu bikin jantung papa turun naik. Untung belum terlalu gelap. Besok-besok kalau mau jajan bilang!"
Aira mendekat ke Pak Hadi: "Papa… maaf. Tapi jajanannya enak banget. Tuh, aku bawa buat Papa sama Mama juga."
Bu Maryam meraih satu plastik, mau marah tapi lirih: "Ih, ini cilok pedes? Aira tahu Mama suka."
Aira bangga: "Nah, kan! Jadi hilang bentar itu ada manfaatnya, Ma."
Bu Maryam: "Aira… Aira… serba ada aja alasannya!"
Pak Hadi terkekeh: "Sudahlah, Ma. Yang penting anaknya pulang."
"Betul! Aira pulang dengan selamat, bawa jajanan, dapat pahala sedekah juga. Full package." Aira merasa bangga kepada dieinya sendiri.
Bu Maryam menghela napasnya panjang, lalu menggeleng pelan. "Sudah sana mandi. Bau asap bakulan dari tadi. Mama bisa pusing."
"Baik, yang cantik mengalahkan anaknya…" Aira tersenyum lebar setengah meledek.
Bu Maryam berteriak. "AIRA—!"
Aira kabur sambil tertawa masuk ke kamar mandi.
***
Malam harinya.
Aira baru selesai mandi dan duduk di kamar sambil mengoles lotion ke kaki ketika HP-nya bergetar. Nama itu muncul lagi: Reno.
Aira menghela napas panjang. "Ya Allah… baru juga santai."
Ia angkat juga, karena kalau tidak, Reno bakal nelpon berkali-kali.
"Ya, Ren?" ucap Aira.
Reno langsung tanpa salam, suaranya ketus: "Aira… dari pagi lo ke mana aja sih? Chat gue gak dibalas. Telepon gak diangkat. Lo hilang kayak gak punya HP. Lo kenapa sih?"
Aira menegakkan punggung, nada suaranya capek: "Ren… gue di sini masih susah sinyal. Selain itu gue juga banyak kegiatan. Lo jangan gitu dong."
Reno makin meninggi: "Lo baru beberapa hari di kampung! Tapi gue kayak disingkirin. Lo bilang susah sinyal, tapi sore tadi gue lihat lo online sebentar. Lo baca chat gue tapi gak balas. Lo berubah, Aira. Lo ada siapa di sana?"
Aira langsung melotot. "Ren… sumpah lo aneh. Ini kampung. Banyak kegiatan. Ada pengajian. Ada sawah. Gue bantu mama. Lo pikir gue ngapain?"
Reno, masih berbicara kencang. "Ada cowok lain, ya? Kenapa lo jadi jauh? Kenapa lo gak cerita?"
Aira terdiam, kaget sekaligus muak. "Ren, kita tuh gak ada hubungan. Kita cuma temen. Dan lo protektif banget. Gue risih tau gak?"
Reno terdengar frustasi: "Gue cuma peduli, Aira! Lo tuh penting..."
Aira memotongnya cepat: "Peduli boleh. Ngatur-ngatur hidup gue kayak pacar gue? Gak bisa. Kita temen, Ren. Titik."
"Aira… lo jangan gitu. Lo gak ngerti perasaan gue..." suara Reno melemah.
Aira menutup mata, merasa makin gak nyaman. "Ren, gue capek. Beneran. Dan lo bikin tambah capek."
Reno makin memaksa: "Yaudah gue ke sana kalau perlu! Gue cari alamat lo, gue..."
Titik itu yang bikin Aira langsung tegang.
"STOP. Jangan drama. Ini kampung kecil. Jangan ribet." ucap Aira dengan tegas.
Reno kembali menjawab. "Aira! Jawab dulu, gue cuma mau..."
Klik.
Aira mengakhiri panggilan. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena suka… tapi karena gak nyaman.
Ia membuka kontak, menatap nama Reno beberapa detik.
Lalu… blokir.
HP-nya diam. Kamar sunyi. Aira bersandar di tembok.
Ia bergumam pelan: "Gue bukan karena ada yang baru. Bukan karena gak mau. Tapi lo… terlalu protektif. Dan kita gak punya hubungan apa-apa, Ren. Gue gak suka…"
Aira meletakkan HPnya di meja, mematikan lampu, lalu menarik selimut.
Baru saja menarik selimut sampai dada, mata tinggal 30% melek, ketika HP-nya kembali berdering.
Aira langsung bangun duduk.
"Astaghfirullah… siapa lagi sih?! Orang lagi healing!"
Ia meraih HP-nya dan mendengus lega...Ayu.
Aira menggeser tombol hijau.
"RAA! LO NGAPAIN BLOKIR RENO?! Dia telepon gue barusan. Nangis enggak, tapi suara retak-retak gitu. Kayak abis makan cabe rawit." ucap Ayu sesikit berteriak.
"Hah? Lah kok dia telepon lo?!" Aira kaget mendengarnya.
"Iya. Dia bilang lo nge-block dia. Lo kenapa, hah?" jawab Ayu. Sedikit kesal karena dia juga merasa terganggu.
Aira mengusap wajah, lelah: "Yu… dia itu protektif banget. Gue risih sumpah. Dan di sini tuh gue banyak kegiatan, bukan leha-leha. Baru mau tidur udah ribut lagi."
"Menurut gue mah… dia tuh suka sama lo, Ra. Tapi kayak belum siap ngaku. Jadinya… jadi gitu kelakuannya." jelas Ayu.
"Tapi gak gitu juga kali, Yu. Ini udah ngatur-ngatur, kayak gue milik dia aja." Aira kembali kesal.
"Ya iya sih… rada posesif lembut-lembut ganas gitu." Ayu terkekeh.
Aira mendesis: "Yaudah, buat lo aja deh Yu."
Ayu cepat:
"Eh! Pacar gue mau dikemanain, Neng?!"
Aira terbahak. "Ya ambil aja dua-duanya."
"AIRAAAA! Gila lo!" Ayu berteriak semakin kesal.
"Hehe… syorrry." Aira terkikik sendiri.
"Udahlah, yang penting lo aman di sana. Serius, lo dapat kerjaan apa aja? Lo bilang banyak kegiatan." ucap Ayu.
Aira langsung meringis: "Kerjaan gue itu ke sawah, Yu. Ikut ibu-ibu pengajian. Nganter teh. Bantu masak. Kayak ibu-ibu banget sumpah."
Ayu langsung pecah tertawa. "HAHAHAHA! PANTAS lo jarang aktif! Oh my God Aira jadi warga +62 versi kampung!"
"YA TAPI GUE DAH KAYAK IBU-IBU WEY! Yang lain jajan skincare, gue nanam padi." suara Aira semakin kencang.
"Tapi… jujur ya Ra… banyak manfaatnya juga. At least lo jadi belajar banyak hal baru." suaranya mulai merendah.
Aira ngedumel manja. "Iya sih… tapi tetap aja gue kayak ditarik ke masa depan jadi emak-emak."
"Udah-udah. Ceritain besok lagi. Sekarang tidur. Oh iya… kalau bisa bangun subuh. Di kampung jam lima udah rame, kan?" tanya Ayu.
"IYAAA… gue udah kayak ayam kampung, Yu. Bangun karena suara kokok ayam sama adzan." jawab Aira.
"Hahahaha! Good luck, emak-emak padi!" ledeknya.
"Benci deh gue…" meremas selimutnya kesal.
Mereka masih ngobrol seadanya... tentang hal-hal receh, gosip ringan, dan rencana Aira kedepannya. Suara mereka yang awalnya kencang pelan-pelan melemah…
…sampai akhirnya Aira tertidur sendiri, HP masih dalam genggaman, panggilan terputus otomatis.
***
Pagi hari. Matahari masih jinak, angin kampung sejuk, aroma rumput basah tercium.
Setelah sarapan, Bu Maryam mengajak Aira keluar ke jalan depan rumah. Jalan itu mulus, cukup untuk dua mobil berdempetan, dikelilingi pepohonan dan rumah-rumah bernuansa adem.
Aira berjalan sambil menguap lebar, bahkan belum sepenuhnya sadar hidup.
"Ra, ganti baju dulu." ucap Bu Maryam saat menyadari baju apa yang dipakai Aira pagi ini.
Aira langsung protes: "Baru ganti, Ma! Baru mandi juga! Ini fresh from lemari."
Aira sendiri memakai crop top warna biru muda dan celana selutut.
Bu Maryam melirik dari atas sampai bawah. "Baru pakai mama… atau baru nyebelin?"
Aira menghela napas kencang, setengah merengek: "Ma… jangan gitu. Aku nyaman pakai baju begini."
Bu Maryam langsung nyeletuk. "Kayaknya mama harus sortir baju kamu supaya gak dipakai lagi."
Aira berubah panik. "Jangan Ma! Serius. Aku cuma… belum bisa pakai yang panjang-panjang."
"Aira… di sini semua perempuan pakai lengan panjang. Bahkan kerudungan. Coba biasakan." ucap Bu Maryam setengah memohon.
"Aku belum bisa Ma. Panas. Gerah. Nanti gatal… aku kan princess." jawab Aira.
Bu Maryam kembali menjawab. "Princess pake baju lengkap juga bisa..."
Belum selesai menasehati, tiba-tiba dari ujung jalan muncul rombongan ibu-ibu, lengkap dengan sarung tangan karet, sapu lidi, karung sampah, dan topi lebar.
Mereka menghampiri Bu Maryam dengan antusias.
"Bu Maryam! Hayu atuh, waktunya bersihin jalan. Sabtu kan jadwal rutin." ucap Bu Rini.
"Enya, biar kampung kita tetap rapih jeung asri." Bu Sari menyahuti.
Aira langsung menepuk jidatnya kencang.
"MAA… mau ngapain lagi sih? Banyak banget kegiatan. Aku capek diatur hidupnyaaa…"
Bersambung