Rendra Adyatama hanya memiliki dua hal: rumah tua yang hampir roboh peninggalan orang tuanya, dan status murid beasiswa di SMA Bhakti Kencana—sekolah elite yang dipenuhi anak pejabat dan konglomerat yang selalu merendahkannya. Dikelilingi kemewahan yang bukan miliknya, Rendra hanya mengandalkan kecerdasan, ketegasan, dan fisik atletisnya untuk bertahan, sambil bekerja sambilan menjaga warnet.
Hingga suatu malam, takdir—atau lebih tepatnya, sebuah Sistem—memberikan kunci untuk mendobrak dinding kemiskinannya. Mata Rendra kini mampu melihat masa depan 24 jam ke depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilo Ginting, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15. Konfrontasi di Gudang Logistik dan Tawaran Kegelapan
Malam itu, Rendra tidak membawa uang, tidak membawa laptop. Ia hanya membawa dirinya dan kemampuannya. Ia meninggalkan rumahnya yang kini terasa lebih seperti benteng isolasi, menuju alamat gudang industri yang diberikan Tuan Wirawan.
Gudang itu terletak di kawasan industri pinggiran kota, jauh dari keramaian. Lampu jalanan redup, dan udara dipenuhi bau oli dan besi tua. Gudang logistik itu besar, tampak sunyi dari luar, tetapi Rendra tahu, di dalamnya ada kekuatan besar yang menantinya.
Rendra memfokuskan Visi nya, mencoba memprediksi skenario terburuk di dalam gudang.
Deg!
Visi itu samar: Ia melihat dirinya terpojok, dikelilingi oleh setidaknya lima pria bertubuh besar. Tuan Wirawan duduk di tengah. Rendra melihat Wirawan mengangkat tangan, memberi isyarat kepada anak buahnya. Ia melihat dirinya membalas dengan sebuah counter-move yang cepat, melukai salah satu pria di lutut. Ini memberinya ruang bernapas, tetapi tidak menyelesaikan masalah.
Rendra menghela napas. Visi itu menunjukkan bahwa ini bukan hanya pertemuan, tetapi tes fisik dan psikologis. Ia akan diserang, dan dia harus siap.
Ia memasuki gudang. Di dalamnya, suasana terasa dingin dan luas. Hanya ada beberapa truk logistik besar dan tumpukan peti kemas. Di tengah ruangan, sebuah meja bundar kecil diposisikan di bawah satu-satunya lampu gantung yang terang.
Di meja itu, duduk Tuan Wirawan, elegan dengan setelan jas mahal. Di belakangnya, berdiri Rudi dan empat pria berbadan tegap lainnya.
"Selamat datang, Rendra," sapa Wirawan, suaranya tenang, seolah menyambut tamu di ruang tamunya. "Aku senang kau datang sendiri, seperti yang kuperintahkan."
Rendra berjalan maju, tanpa menunjukkan rasa takut. Ia berdiri di seberang meja dari Wirawan. "Anda memanggil saya, Tuan Wirawan. Saya sudah menyelesaikan utang saya, dan bahkan sudah memberikan Anda keuntungan di pasar saham Anda sendiri."
Wirawan tersenyum, senyum yang sama sekali tidak ramah. "Aku suka gayamu, Rendra. Langsung pada intinya. Ya, kau cerdas. Kau tidak hanya melunasi utangmu. Dalam dua minggu, kau mencuri Rp65.000.000 dariku di saham SRPA. Itu namanya pencurian, Rendra. Bukan perdagangan."
Rudi dan anak buahnya maju satu langkah. Rendra siap.
"Jika Anda menuduh saya mencuri, lapor ke OJK. Saya berdagang sesuai aturan bursa. Jika saya berhasil memprediksi timing gerakan block trade Anda, itu bukan salah saya. Itu keunggulan saya," balas Rendra, suaranya datar, tanpa emosi.
Wirawan tertawa kecil. "Keunggulan. Ya. Matamu itu keunggulan. Aku tahu kau bukan dukun, Rendra. Kau melihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain. Aku tahu kau melihat masa depan."
Pengakuan Wirawan itu mengejutkan Rendra. Mafia itu tidak sekadar curiga, dia yakin.
"Aku tidak peduli bagaimana caramu melihatnya," lanjut Wirawan. "Yang aku peduli, adalah kau menjadi bagian dari jaringanku. Aku tidak akan membunuhmu, Rendra. Kau terlalu berharga."
Wirawan memberi isyarat kepada anak buahnya, bukan untuk menyerang, tetapi untuk mundur.
"Aku akan memberimu tawaran yang tidak bisa kau tolak," kata Wirawan, suaranya berubah serius. "Uang Rp150.000.000 itu, anggap saja sebagai modal startup dariku. Aku akan memberimu akses ke informasi rahasia yang jauh lebih besar. Proyek pembangunan yang melibatkan dana negara triliunan, skema korupsi politik, dan manipulasi pasar properti. Tugasmu adalah menjadi Mata-ku. Kau akan memprediksi setiap celah, setiap langkah lawan, dan setiap gerakan bursa yang akan terjadi dalam 24 jam ke depan."
Wirawan mengambil amplop tebal dari balik mejanya. "Ini adalah misi pertamamu. Aku ingin kau memastikan sebuah partai politik memenangkan tender di sebuah provinsi. Uang muka: Rp500.000.000. Setelah sukses, kau akan mendapatkan saham di holding company baruku, Rendra. Kau akan menjadi orang kaya sejati. Seorang KINGPIN di balik layar."
Rendra terdiam. Setengah miliar. Itu adalah uang yang tak terbayangkan. Ia bisa berhenti sekolah dan menghilang selamanya.
"Apa yang Anda inginkan sebagai imbalan?" tanya Rendra.
"Loyalitas mutlak. Dan kau harus tahu, Rendra. Sekarang aku tahu kau melihat masa depan, aku punya cara untuk memastikan kau tetap loyal. Kau mengenal Clara Paramita, bukan? Putri dari politisi yang sedang diserang di bursa? Dan kau mengenal Elena Paramita, kakaknya, perantara kepercayaanku?"
Ancaman itu datang. Tepat pada kelemahan Rendra.
"Clara sangat menghargaimu. Elena sangat mencintai ayahnya. Jika kau mencoba mengkhianatiku atau kabur, aku akan menggunakan informasi ini untuk menghancurkan mereka. Ayah Clara akan masuk penjara karena kasus suap, dan Clara akan kehilangan segalanya. Kau dan aku, Rendra, kita adalah partner sekarang. Partner yang terikat oleh rahasia dan ancaman," kata Wirawan, menyeringai puas.
Rendra memproses tawaran itu. Uang dan kekuasaan mutlak, ditukar dengan jiwanya, dan keamanan Clara sebagai jaminan.
"Saya menerima tawaran Anda, Tuan Wirawan," jawab Rendra. Suaranya terdengar dingin, tetapi di baliknya, api rencana baru mulai terbakar.
Ia menerima tawaran itu, bukan karena ia ingin menjadi budak Wirawan, tetapi karena ia membutuhkan waktu dan akses. Ia harus berada di dalam jaringan Wirawan untuk mengumpulkan bukti yang cukup untuk menghancurkan mereka, dan yang terpenting, untuk melindungi Clara.
Rendra mengambil amplop tebal itu. Pria di depan Wirawan itu bukan lagi anak sekolah. Dia adalah pemain dalam permainan politik dan mafia yang jauh lebih besar.
Rendra meninggalkan gudang itu, membawa amplop berisi Rp500.000.000. Langkahnya terasa berat, tetapi matanya kini memancarkan tekad yang membaja.
Ini adalah awal dari perang yang sesungguhnya.
Semangat Thor