“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 9
Senja merangkak di kaki barat, semilir angin menggoyangkan pucuk ilalang. Riuh suara kuda meringkik sahut-menyahut seirama kicau burung derkuku di dalam kurungan rotan.
Dari balik tumpukan jerami, Kasman berjalan dengan langkah lelah sembari membenarkan resleting celana. Bibir hitamnya mengamit lidi jerami, sesekali tangannya menyeka peluh yang masih membanjiri pelipisnya.
Di belakangnya, Amina mengekori, tubuhnya yang semok berbalut kain jarik yang dibiarkan tersingkap dan kebaya yang terbuka kancing atasnya.
Amina menghela napas pelan sembari merapihkan gelungan rambutnya. “Jadi beneran wanita itu ada di rumahnya Londo, Man?”
“Yang aku dengar dari para biang gosip begitu, besok aku selidiki untuk memastikan,” jawab Kasman, sembari mengambil sebatang rokok, lalu menyulutnya.
“Tapi, bagaimana bisa wanita itu kenal Londo? Mereka itu ‘kan sulit sekali didekati pribumi,” ujar Amina dengan raut wajah penasaran.
“Mungkin kasihan,” sahut Kasman asal.
Amina mengernyitkan dahi, mulutnya sedikit terbuka. “Tapi … sepertinya tidak mungkin,” ujarnya sembari mengambil rokok yang terselip di jari Kasman.
“Kalau sama-sama mau, yang tidak mungkin bisa jadi mungkin, contohnya ….”
Amina menghisap dalam rokok di jarinya, lalu mengepulkan asap tipis ke wajah Kasman sembari tersenyum nakal. “Juragan apa masih mencari dia?”
Kasman menaikkan sebelah alisnya, sudut bibirnya terangkat tipis. “Sepertinya tidak, beberapa hari ini Den Bagus lebih sering menghabiskan waktu di kedai tuak.”
Amina berdecak kesal. “Ck, dasar laki-laki, sudah dipuaskan di ranjang, masih saja kurang!”
“Goyanganmu kurang mungkin kalau sama dia,” goda Kasman sembari tersenyum nakal.
Amina tersenyum kecil, sambil menggigit bibir bawahnya pelan. “Batang dia pendek, mana bisa digoyang.”
Kasman terbahak seketika, laki-laki itu kemudian mengambil segenggam jerami, lalu memasukkan ke tempat pakan sembari mengelus kuda coklat yang biasa menarik dokarnya.
“Andai dia bukan juragan, mungkin aku juga berpikir dua kali untuk dinikahi,” ucap Amina kembali.
“Berarti kau harus bersyukur ada aku,” celetuk Kasman.
Keduanya kemudian terbahak bersama, hingga suara Kartijo mengejutkan dari arah belakang.
“Apa yang kalian berdua lakukan di sini?!” tanya Kartijo dengan suara datar dan tatapan heran.
Amina terbelalak, seketika tawanya terhenti, lalu dia menoleh ke belakang. “Kangmas … a-nu, Aku pengen mangga muda,” jawabnya terbata.
“Mangga muda?” tanya Kartijo, dengan tatapan menyelidik.
“I-ya, sepertinya di pohon itu ada,” sahut Amina sembari menunjuk pohon mangga yang ada di belakang kandang kuda. “Aku meminta tolong Kasman untuk mengambilkan,” lanjut Amina, matanya mengerjap cepat, menutupi kegugupan.
Kartijo mengerutkan alisnya, tatapanya masih menyelidik. “Kenapa tiba-tiba pengen mangga muda, apa kau isi lagi?”
“Ah, tidak, Kangmas. Hanya kebetulan saja ingin makan yang asam-asam,” kilah Amina dengan suara manja.
“Ya sudah, cepat ambilkan, Man,” titah Kartijo.
“B-baik Den.”
Amina menatap lembut ke arah Kartijo, tersenyum manis sembari membelai lengan laki-laki itu. “Kangmas, sudah tau belum?”
“Opo.”
“Mbak Lastri … ternyata sembunyi di rumah Londo,” ucap Amina pelan.
“Kau tau dari mana?!”
Amina menatap tajam, sudut bibirnya terangkat tipis. “Di pasar sedang ramai diperbincangkan, salah satu pekerja di rumah Londo itu yang bercerita. Katanya, Mbak Lastri sering berduaan sama Meneernya.”
Kartijo mengerutkan alisnya, tatapannya tajam. “Apa maksudmu?!”
Amina tersenyum samar, tangannya melipat di depan dada. “Istrimu itu, ternyata main gila sama Londo.”
“Ojo asal ngomong kamu, Lastri tidak mungkin sembarangan bersama pria, apalagi Londo,” sahut Kartijo, sembari berjalan membelakangi Amina.
Amina menghela napas dalam, rahangnya mengeras namun seketika tersenyum saat Kartijo menoleh, “Saya juga tidak percaya sebenarnya, tapi ibu-ibu di pasar itu punya buktinya. Kalau tidak percaya, Kangmas bisa tanya sendiri di pasar.”
Kartijo mengepalkan tangannya ke sisi tubuh, tatapannya tajam. “Akan ku bunuh perempuan itu,” gumamnya, sembari beranjak pergi.
***
Suasana pasar masih begitu sepi, saat Ngatemi berjalan dengan tergesa menuju lapak milik Nur—pedagang jamu. Tangannya mengepal, rautnya gelisah. Berulang kali pedagang pecel itu menghela napas kasar.
“Sampean kenapa to, Mbak yu. Nunggu Nur kok kaya nunggu tukang kredit saja,” ujar Ijah yang sudah lebih dulu tiba di pasar.
“Biasane jam piro datangnya?” tanya Ngatemi.
“Kenapa?” Paerah yang juga baru tiba bertanya dengan penasaran.
“Mbak yu Ngatemi, itu lo, nunggu Nur koyo nunggu tukang kredit. Nah, itu orangnya dateng. Nur! Cepet. Ono yang mau brojol iki nungguni koe,” teriak Ijah.
Nur berjalan terhuyung dengan sebakul botol jamu di gendongannya, juga beberapa ditenteng di tangan.
“Cari jamu apa pagi-pagi begini, Mbak yu?” tanya Nur setelah menurunkan dagangannya.
“Jamu bobokan(mirip seperti parem),” jawab Ngatemi singkat.
Paerah berjalan mendekat, mengambil satu gelas kecil kunir asam lalu meminumnya. Matanya menyelidik Ngatemi yang berdiri dengan gelisah.
“Mau untuk siapa kok sampean sampe ketakutan begitu?” tanya Paerah.
Ngatemi menggerakkan jari-jarinya, matanya melihat sekitar. “Marni.”
Ijah yang sedang sarapan, seketika meletakkan tempat bekal nasinya. “Lha, kenak apa si Marni?”
“Hust! Jangan keras-keras, aku takut nanti ada yang mendengar,” bisik Ngatemi.
Seketika para biang gosip pun mendekati Ngatemi, telinga mereka dibuka lebar-lebar, dengan wajah penasaran.
“Marni itu habis dihajar sama Sulastri, sampai babak-bunyak,” bisik Ngatemi.
“Hah! Piye, Mbak yu, yang jelas to, ngomongnya,” protes Ijah.
“Kebrebekan tukang parkir tadi, gimana-gimana, ulangi,” timpal Paerah.
Ngatemi menghela napas kasar. “Marni—anak wedokku, dihajar sampai babak-bunyak sama Sulastri.”
Para biang gosip pun terbelalak sembari berseru nyaris bersamaan. “Kok bisa?!”
Ngatemi mendengus kesal, tangannya mengepal di ujung kebaya. “Marni itu mau berangkat panen tembakau, tidak sengaja melihat Sulastri di belakang, dia cuma bertanya—apa benar kamu Sulastri. Tiba-tiba mulutnya dibekap, langsung dihajar,” ceritanya dengan suara bergetar.
“Berarti bener, dia di rumah Meneer Londo?” tanya Ijah dengan mata melotot.
“Iyo bener,” sahut Ngatemi.
Ijah mengerutkan alisnya, matanya menyipit. “Apa mungkin takut ketahuan Meneer siapa dia sebenarnya?”
“Jelasnya begitu, kalau Meneer tau dia begenggek apa mungkin mau nampung,” sahut Paerah.
“Atau … benar Meneer yang membawa kabur,” imbuh Ijah.
Nur yang baru saja menyelesaikan ramuannya turut menyahut. “Tidak mungkin Meneer yang membawa kabur, jelase Meneer yo kapusan(dibohongi).”
Surti yang baru datang, mencondongkan kepalanya, tatapanya bolak-balik ke arah Ijah dan Paerah. “Sopo?”
“Sulastri, ternyata benar dia di rumah Meneer Londo,” sahut Ijah.
Surti terbelalak seketika, tangannya dengan tegas menunjuk wajah Nur. “Benerkan! Aku ndak salah inget, memang Sulastri yang aku lihat waktu itu.”
“Kamu kemarin nggak panen tembakau to, Sur?” tanya Ngatemi.
“Ndak, Mbak yu. Anakku semlenget(sedikit demam),” jawab Surti sembari meletakkan tas belanjaannya.
Ngatemi kembali menghela napas kasar, tangannya mengelus dada pelan. “Anakku mulus-mulus jadi lecet kabeh mukanya gara-gara Sulastri.”
“Hah! Kok bisa? Piye ceritanya?!”
“Dihajar sama Sulastri,” sahut Ijah.
Pasar pun semakin heboh dengan kabar yang dibawa Ngatemi. Semua orang tidak menyangka Sulastri bisa berada di rumah Meneer Londo yang terkenal kejam. Berita menyebar bak angin ribut, menyusup di sela-sela teriakan pedagang kain rombeng.
Di pinggir jalan, Kartijo baru saja memarkirkan kendaraannya. Niatnya ingin memastikan kabar yang dibawa Amina. Namun, belum sampai memasuki pasar, laki-laki itu dibuat naik pitam, tubuhnya membeku, matanya menyalak tajam. Suaranya pecah bersama amarah yang membuncah.
“Londo bajingan!”
Bersambung.