Dendam dua jiwa.
Jiwa seorang mafia cantik berhati dingin, memiliki kehebatan dan kecerdasan yang tak tertandingi, namun akhirnya hancur dan berakhir dengan mengenaskan karena pengkhianatan kekasih dan sahabatnya.
Jiwa yang satu adalah jiwa seorang gadis lugu yang lemah, yang rapuh, yang berlumur kesedihan dan penderitaan.
Hingga akhirnya juga mati dalam kesedihan dan keputus asaan dan rasa kecewa yang mendalam. Dia mati akibat kelicikan dan penindasan yang dilakukan oleh adik angkatnya.
Hingga akhirnya dua jiwa itu menyatu dalam satu tubuh lemah; jiwa yang penuh amarah dan kecewa, dan jiwa yang penuh kesedihan dan putus asa, sehingga melahirkan dendam membara. Dendam dua jiwa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ikri Sa'ati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14. Masih Belum Memahami
Malam itu di kediaman Keluarga Winata....
Entah sejak kapan, entah sudah berapa lama, Nindira sudah amat gelisah menunggu di ruang tamu. Jelas dia amat mengkhawatirkan keadaan Annabella, adiknya.
Sudah larut malam begini belum juga Annabella pulang. Entah anak itu pergi ke mana? Apakah sudah makan apa belum?
Sofa ruang tamu begitu empuk dan nyaman untuk diduduki. Namun Nindira duduk di situ bagai duduk beralas duri, amat gelisah.
Wajah cantiknya menampakkan raut kekhawatiran yang sangat, bukan dibuat-buat. Di situ juga terselip kesedihan yang mendalam, tapi masih juga berpadu dengan rasa kecewa.
Kecewa atas sikap pembangkangan Annabella yang saat sekarang ini semakin menjadi-jadi.
Seketika telinganya mendengar deru suara motor sport seperti telah melingkupi seantero areal kediaman besar dan megah ini.
Dia memang sempat terkejut, tapi benaknya tidak berpikir jika deru suara motor sport yang cukup menggetarkan itu milik Annabella. Paling itu suara motor sport kakak ke duanya, Arden, pikirnya.
Kebetulan juga Arden sampai saat ini belum pulang.
Beberapa saat lamanya Nindira masih menunggu Annabella pulang. Dan seolah pula menunggu Arden masuk, tiba-tiba pintu utama terbuka.
Ceklek!
Dengan malas Nindira menoleh ke arah pintu. Tanpa berpikir jika yang masuk itu adalah Annabella. Benak naifnya menyangka yang masuk adalah Arden.
Namun alangkah terkejutnya dia, hingga terlonjak berdiri, mendapati yang masuk itu bukan Arden. Melainkan....
Seorang gadis cantik memakai kacamata berfrem hitam dengan rambut panjang dikuncir rapi di belakang kepala. Bersetelan pakaian dari bahan kulit warna hitam.
Salah satu tangannya menenteng helm sport warna biru gelap. Sedangkan di punggung belakangnya menggendong tas ransel cukup besar yang berisi sesak.
Beberapa detik lamanya Nindira menatap gadis yang seperti asing baginya itu. Beberapa detik itu juga dia belum tahu siapa gerangan adanya gadis itu. Namun detik berikutnya....
"Bella..., ka-kamu kah itu?" tanya Nindira sedikit terbata dalam keraguan yang masih mengganjal.
Gadis cantik yang memang Annabella --dalam penampilan luar-- adanya tidak menggubris keterkejutan Nindira yang terkejut melihatnya. Dia cuma melirik sebentar, sudah itu melangkah masuk.
Melihat Annabella tidak menggubris pertanyaannya, bahkan seperti tidak menghiraukan keberadaannya, Nindira langsung bergerak cepat menghadang di depan Annabella.
"Hei, kamu belum jawab pertanyaanku!" tegur Nindira dengan ekspresi kesal. "Kamu Bella bukan?"
"Iya, aku Bella! Kenapa?" sahut Annabella bernada ketus dan datar, sedikit meninggi suaranya, setelah berhenti dengan terpaksa. "Heran ya melihat aku kayak gini?"
"Kamu memang benar-benar berubah sekarang, Bella," desah Nindira bernada sedih bercampur kecewa. "Entah dari mana kamu dapatkan pakaian model begini?"
"Maaf, Nona Nindira, aku mau lewat!" kata Annabella masih ketus dan datar, tidak merespon komentar Nindira tentang dirinya. "Mohon jangan menghalang jalanku!"
"Aku tadi mendengar suara motor sport," Nindira juga tak menghiraukan ketidak pedulian Annabella, tetap saja menginterogasi. "Apa itu motormu?"
"Itu motor teman," sahut Annabella tidak berbohong, tetap bernada ketus dan datar.
"Kamu dari mana saja? Kenapa sekarang baru pulang? Apa kamu sudah makan?"
"Please deh, aku capek! Aku ingin istirahat! Mohon beri jalan, Nona Nindira...!"
"Aku ini kakakmu, Bella, bukan orang lain," dengus Nindira agak meninggi suaranya bernada kesal, Annabella tetap saja tak menghiraukan perhatian tulusnya. "Kenapa sekarang kamu menganggap kakak orang lain?"
"Aku peduli sama kamu, peduli sama keadaanmu, peduli sama keselamatanmu!" lanjut Nindira makin meninggi nada suaranya karena kesal dan emosi. "Kenapa kamu jadi keras kepala begini, Bella?"
"Nggak usah sok-sokan peduli dengan diriku, karena aku nggak perduli dengan perhatian palsumu itu!" balas Annabella dengan nada muak, nada suaranya juga meninggi. "Minggir!"
"Bella!" jerit Nindira seakan kehilangan kendali.
Nindira tidak bisa lagi menahan emosinya yang sudah membuncah di kepalanya.
Dia yang benar-benar peduli akan keadaan adiknya itu, akan tetapi sang adik mala tak membalas rasa pedulinya sama sekali. Malah menganggapnya sebagai orang lain. Maka....
★☆★☆
Plak!
Nindira langsung menampar pipi kiri Annabella seolah di luar kendali sadarnya. Namun kejap berikut dia langsung terkejut menyesal dengan apa yang dia lakukan barusan.
"Oh...."
Nindira langsung membekap mulutnya. Menatap sedih dan sejuta sesal pada Annabella. Kemudian menatap telapak tangannya yang menampar pipi Annabella dengan tatapan nanar.
Sedangkan Annabella tampak biasa-biasa saja saat menerima tamparan itu. Wajah cantiknya tetap datar, tetap dingin.
"Masih ada yang ingin kamu katakan atau lakukan padaku, Nona Nindira?" kata Annabella dengan tenang seolah tanpa emosi, bernada datar dan dingin.
"Ma-maaf..., maaf, Bella..., Kakak...," cetus Nindira dengan sejuta penyesalan sambil kembali menatap sedih pada Annabella.
"Permisi kalau begitu...."
Tanpa menanti tanggapan Nindira dan tanpa memperdulikannya lagi, Annabella langsung meninggalkan ruang tamu. Meninggalkan Nindira yang masih terpaku diam di tempatnya.
Langkahnya begitu ringan seakan tanpa beban. Cukup cepat seakan tak mau lama-lama berada di area ruang tamu.
Annabella terus saja berjalan cukup cepat, melewati area ruang tengah yang lengang. Biasanya di situ berkumpul keluarga Winata sambil berbincang santai. Kini ruang tengah itu terendam dalam sunyi.
Baru saja dia hendak naik ke tangga menuju ke lantai atas, Bibi Lastri telah menyapanya dengan lembut dan sopan.
"Eh, Nona Bella ternyata sudah pulang...."
Annabella urung naik ke lantai atas. Terus berbalik menghadap Bibi Lastri sambil tersenyum hangat.
"Bibi kok belum tidur?" sapa Annabella alias Fiorella sudah mulai akrab dengan Bibi Lastri.
"Bibi tidak bisa tidur karena mengkhawatirkanmu, Nona," ungkap Bibi Lastri jujur. "Dari pagi nona pergi, baru pulang sampai larut malam begini. Bibi amat takut kalau nona kenapa-kenapa di luar sana."
"Terima kasih atas perhatianmu, Bibi," Annabella cukup tersentuh dengan ketulusan wanita paruh baya itu. "Maaf kalau perbuatanku membuat bibi khawatir."
Lalu Annabella menjelaskan secara singkat apa yang dilakukan di luar sana kepada Bibi Lastri saat wanita tua itu menanyakan, tanpa merasa kesal ataupun enggan.
Termasuk memberitahukan kalau dia sudah membuat SIM. Termasuk menjelaskan motor sport yang dia bawa ke rumah ini itu motor siapa. Tapi jelas dia tidak memberi tahu kalau dia habis balapan secara terpaksa dengan Rangga dan Reinald.
Sementara itu Nindira hanya memperhatikan percakapan mereka dari ruang tengah. Tanpa bermaksud ikut gabung apalagi mengganggu.
"Nona sekarang 'kan sudah sehat," kata Bibi Lastri selanjutnya. "Kapan masuk sekolah lagi?"
"Entahlah mungkin besok," sahut Annabella seakan tidak mau memberi jawaban pasti.
"Nona sudah makan? Bibi ambilkan makan ya? Nanti bibi antarkan ke kamar nona!"
"Nggak usah, Bibi, terima kasih," tolak Annabella dengan halus. "Aku sudah makan."
"Ya sudah, sekarang nona istirahat ya," kata Bibi Lastri begitu perhatian. "Semoga besok bisa masuk sekolah lagi. Kasihan, Nona, kalau sekolahnya ditinggal lama-lama."
"Terima kasih, Bibi," tanggap Annabella dengan hangat. "Semoga saja."
Setelah saling berbasa-basi sewajarnya, Annabella segera naik ke lantai atas. Sedangkan Bibi Lastri segera menuju ruang pembantu untuk istirahat.
Sementara Nindira masih di tempatnya, menatap Annabella hingga tubuh rampingnya hilang.
Melihat keakraban Annabella dengan Bibi Lastri, dia sempat iri juga. Dia juga menginginkan Annabella ngobrol santai dengan dia. Tapi rasanya itu sulit, untuk sekarang ini.
Annabella berperangai aneh semenjak dia bangun dari koma. Membuat seluruh keluarganya merasa heran dan belum habis pikir.
"Kamu sebenarnya kenapa, Bella?" gumamnya bertanya pada dirinya sendiri. "Kenapa perangaimu semakin tak terkendali sekarang?"
"Apa benar kamu memang telah ditindas di rumah ini, sehingga kamu memberontak seperti itu?"
★☆★☆★