NovelToon NovelToon
My Enemy, My Idol

My Enemy, My Idol

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Enemy to Lovers
Popularitas:378
Nilai: 5
Nama Author: imafi

Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.

Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.

Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15

Pulang sekolah, Dima dan teman-temannya langsung menghilang dari pandangan Quin seolah-olah menjadi penyihir yang bisa cepat pergi menggunakan sapu terbang. Lebay, memang, tapi Quin penasaran kenapa hari itu Dima dan teman-temannya buru-buru pergi dari sekolah. Mereka bahkan tidak nongkrong dulu di warung Bu Neneng.

“Motor ayahnya itu diambil begal. Mang Ujo kemaren langsung dibawa ke Haji Naim buat ngelurusin sikutnya yang bengkok,” jelas Quin pada Nisa yang sedang menyalin tugas bahasa Indonesia di kamarnya.

“Sikut bukannya emang bengkok?” tanya Meta yang juga sedang menyalin tugas bersama Nisa. Meta menunjukkan sikut lengannya yang bengkok.

“Ah, nggak tau deh. Pokoknya katanya Teh Santi, bengkok. Makanya Papa aku ngasih bantuan buat bayar ke tukang urut,” jelas Quin yang melihat hapenya. Ada chat dari Arka.

“Mungkin Dima lagi bantuin Mang Ujo,” jawab Nisa sambil masih menulis. “Aduh! Gue jadi nulis Mang Ujo,” sambungnya dan langsung mengambil tipp-ex dan memperbaiki tulisan di bukunya.

“Tapi tadi kayaknya gue denger dia sama Givan mau nyari siapa gitu,” kata Meta yang berhenti menyalin.

“Siapa?” tanya Nisa yang kini mengambil tumblernya lalu minum.

“Nggak, tau. Elu denger nggak, Quin?” tanya Meta pada Quin.

Quin fokus pada hapenya. Sedang mengetik pesan.

Meta dan Nisa saling bertatapan.

“Quin?” tanya Nisa pelan. “Lagi chat sama siapa?”

“Eh, bentar. Gue ke bawah dulu ambil minum,” jawab Quin sambil bergegas keluar kamar.

“Chat sama Dima?” tanya Meta pada Nisa.

“Nggak mungkin!” jawab Nisa yang lalu melanjutkan menyalin.

Ban motor Givan melintas di kubangan. Air tanah menyiprat ke sepatu Dima yang sedang dibonceng oleh Givan. Mereka berhenti di depan pasar. Satpam pasar yang rambutnya gondrong tapi giginya ompong, Bambang sedang duduk di pos sambil menghitung uang.

Masih di atas motornya, Givan teriak, “Bang, Bang Toyib di mana?”

Bambang tidak menjawab, masih terus menghitung uang.

“Bang!” Givan kembali teriak.

“Lagi ngitung duit, tunggu bentar!” kata Dima sambil menepuk pundak Givan.

Givan dan Dima yang masih duduk di motor menunggu Bambang menghitung uang yang dipegangnya.

Burung terbang melintasi langit yang cerah menuju senja. Tidak lagi terdengar suara orang ramai karena pasar yang semakin sepi. Beberapa kios terlihat sudah tertutup pintu seng.

“Lama juga ngitungnya,” keluh Dima pada Givan.

“Bentar lagi tuh kayanya,” kata Givan yang melihat lembaran di tangan Bambang menipis.

Bambang yang baru saja menyelesaikan hitungannya, menatap Givan dan teriak, “Dua ratus lima puluh delapan rebu!” Dia lalu menyimpan uangnya di tas saku belakang celananya, “Kenapa?”

“Bang Toyib dimana?” tanya Givan ulang.

“Rumahnya, lah! Hari gini mah dia di rumahnya!”

“Nggak ada, Bang! Barusan dari sono,” jelas Givan yang mulai pegal menahan motor.

“Oh, di warung Bang Sopan coba dah!”

“Makasih, Bang!” kata Givan sambil menyalakan motornya.

“Et dah, berapa tadi ni duit?” tanya Bambang pada dirinya sendiri. Lupa jumlah uang yang sudah dihitungnya.

“Dua ratus lima puluh delapan rebu!”sahut Dima ketika Givan menjalankan motornya pergi dari pasar.

Nisa dan Meta sedang duduk sibuk menatap hapenya masing-masing. Meta menguap. Nisa ikut menguap.

“Si Quin lama amat ambil airnya. Dia ambil air di sumur apa gimana sih?” tanya Meta pada Nisa, sambil melongok keluar kamar.

“Emang kenapa?” tanya Nisa masih menatap hapenya.

“Ngantuk gue. Pulang, yuk?”

“Ya udah deh. Ayo!”

Nisa dan Meta merapikan isi tasnya. Mereka lalu keluar dari kamar dan turun ke lantai satu. Dari tangga mereka bisa mendengar Quin sedang teleponan dengan seseorang.

“Dima?” tanya Meta pada Nisa setengah berbisik.

“Wah, dunia terbalik kalau Quin teleponan sama Dima,” jawab Nisa membuat Meta tidak bisa menahan tawanya.

Quin menoleh ke arah tangga, kaget melihat Nisa dan Meta datang. Dengan panik dia bicara ke telepon, “Udah dulu, ya.” Dia lalu mematikan teleponnya.

“Teleponan sama siapa?” tanya Nisa santai.

“Nggak,” jawab Quin salah tingkah.

“Oh gitu, oke. Ayo kita cus, Ta!” Nisa menarik tangan Meta dan bergegas melangkah ke luar rumah.

“Pundung! Gitu aja, marah!” Quin mengikuti Nisa dan Meta ke teras. “Gue teleponan sama Arka. Dia bilang pengumuman audisi, Sabtu malem. Hari Minggunya, peserta bakalan di-brief buat acara live minggu depan.”

“Oooh,” jawab Nisa sudah tahu siapa Arka.

“Arka siapa?” tanya Meta heran dan penasaran.

“Temen SDnya Quin yang juga ikutan YAMI,” jelas Nisa.

“Oooh! Kirain teleponan sama Dima!”

“Idih, ngapain gue teleponan sama Dima!” jawab Quin ngegas, lalu masuk ke rumah.

Dari kejauhan, Dima yang masih dibonceng Givan, bisa melihat warung kopi sederhana yang dibangun menggunakan triplek di dekat lapangan bola. Di sana ada seorang pria berumur sekitar 40an, rambutnya cepak warna coklat, kurus, dan ada tato di lengan atas tangan kanannya.

Givan menghentikan motor di depan warung, “Bang!”

Toyib berpaling ke Givan, “Kemana aja lu, Tong!”

Givan dan Dima turun dari motor, lalu duduk di sebelah Toyib. Seorang pria berpeci, bertubuh buncit dan berkumis tipis duduk di balik meja warung. Mungkin itu yang bernama Sopan, pikir Dima.

“Ada, Bang!” jawab Givan sambil mengambil gorengan di atas meja.

“Kopi?” tanya Sopan.

“Nggak, Bang. Nggak ada duit!” jawab Givan sambil mengunyah gorengan.

“Nggak ada duit, ngambil gorengan lu!” kata Sopan kesal.

Givan cuma bisa nyengir. Dia lalu menepuk Dima sambil menatap Toyib, “Temen gue abis dibegal orang, Bang! Bukan dia sih, tetangganya, tapi tetangganya bawa motornya dia. Nah, begal itu ngambil motornya dia yang dibawa tetangganya,” jelas Givan.

Toyib bengong, “Kagak paham gua, pegimane?”

“Intinya, motor ayah gua ilang, Bang. Diambil preman,” jelas Dima.

“Bisa nggak bantuin nyari motornya balik?” tanya Givan yang malah mengambil gorengan lagi.

Toyib mengangguk, “Gimana, yak?”

“Kapan ilangnya?” tanya Sopan.

“Kemaren sore,” jawab Dima yang sebenarnya lapar dan ingin mengambil gorengan, tapi dia tidak punya uang lagi. Tadi saja dia tidak jajan apa pun di sekolahan.

“Dibegalnya di mana?” tanya Sopan lagi.

“Deket Rawa Belong,” jawab Dima berusaha menahan perutnya untuk tidak bunyi, karena melihat Givan yang tampak mengunyah gorengan dengan semangat.

“Susah juga. Bisa jadi udah dipretelin, terus dijualin,” ujar Sopan sambil berdiri, lalu mengangkat baki gorengan, mengambil serbet, dan kemudian mengelap meja.

Dima tahu, maksud sebenarnya adalah untuk menjauhkan baki gorengan dari Givan yang sudah tahu tidak punya uang.

“Tapi gini aja,” tiba-tiba Toyib menegakkan badannya. “Ntar gue tanyain dulu sama yang lain. Kalau ada inpo, elu gue kabarin!” Toyib memegang pundak Givan.

Dima jadi bisa melihat jelas tato yang ada di lengannya Toyib. Ternyata gambar perempuan berkerudung dengan tulisan ‘My Love’ di bawahnya.

Bersambung

1
Leni Manzila
hhhh cinta rangga
queen Bima
mantep sih
imaji fiksi: makasih udah mampir. aku jadi semangat nulisnya.🥹
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!