"Meski kau adalah satu-satunya lelaki di dunia ini, aku tetap tidak akan mau denganmu!" Britney menolak tegas cowok yang menyatakan cinta padanya.
Tapi bagaimana kalau di hari Britney mengatakan itu, terjadi invasi virus zombie? Seketika satu per satu manusia berubah menjadi zombie. Keadaan Zayden High School jadi kacau balau. Pertumpahan darah terjadi dimana-mana.
Untungnya Britney mampu bertahan hidup dengan bersembunyi. Setelah keadaan aman, dia mulai mencari teman. Dari semua orang, satu-satunya orang yang berhasil ditemukan Britney hanyalah Clay. Lelaki yang sudah dirinya tolak cintanya.
Bagaimana perjalanan survival Britney dan Clay di hari kiamat? Apakah ada orang lain yang masih hidup selain mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter ¹⁵ - hide
Perjalanan menuju rumah sakit pusat bukanlah sesuatu yang mudah. Jaraknya jauh, dan kondisi kota yang telah hancur membuat perjalanan terasa semakin panjang dan melelahkan. Jalanan yang dulu ramai kini tampak seperti kuburan raksasa, sepi, namun penuh kenangan tentang kehidupan yang telah hilang. Mobil-mobil terbengkalai di pinggir jalan, beberapa di antaranya tertutup debu dan darah. Di beberapa sudut, terdapat bekas kebakaran, dan angin membawa bau logam serta abu yang menusuk hidung.
Di dalam mobil yang melaju perlahan, Clay memegang kemudi dengan fokus. Ia sesekali menatap kaca spion, memastikan tak ada sesuatu yang mengikuti mereka. Britney duduk di kursi penumpang dengan tubuh sedikit merunduk. Gadis itu sudah terlihat lelah, matanya berat, kepala terangguk kecil beberapa kali.
“Kalau mengantuk, tidurlah. Tidak apa-apa,” saran Clay tanpa menoleh, suaranya tenang namun tetap waspada. “Kita masih jauh dari rumah sakit. Aku bisa menyetir sendiri.”
Britney cepat-cepat menggeleng. “Tidak,” sahutnya pelan namun tegas. “Aku tidak akan membiarkanmu menyetir sendirian. Siapa tahu ada zombie di jalan.” Ia membuka lebar matanya dengan kedua jari, berusaha mengusir kantuk yang sudah sejak tadi menyerangnya.
Clay terkekeh kecil. Nada tawa itu seperti secuil cahaya di tengah dunia yang gelap. “Kau keras kepala, ya,” ujarnya. “Mungkin camilan bisa membantu.”
Britney mengangkat alis, lalu mengeluarkan sebungkus keripik kentang dari dalam tas ranselnya. “Kau benar juga,” katanya sambil tersenyum tipis. Ia membuka bungkusnya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara keras, lalu menawarkannya. “Mau?”
Clay melirik sebentar, lalu mengangguk. “Sedikit saja.” Ia mengambil beberapa keping keripik, lalu mengunyah pelan sambil tetap fokus ke jalan. Rasa asin yang ringan di lidah itu terasa seperti kemewahan kecil di dunia yang sudah kehilangan segalanya.
Selama beberapa menit, perjalanan mereka berjalan mulus. Tak ada suara selain deru mesin mobil dan desiran angin yang masuk melalui jendela yang sedikit terbuka. Di kejauhan, langit tampak mendung. Awan hitam menggantung berat, seolah ikut meratapi dunia yang telah hancur ini.
Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Clay memperlambat laju mobilnya ketika melihat sesuatu di depan. Jalanan utama yang menuju rumah sakit tampak tertutup oleh deretan mobil yang berhimpitan satu sama lain. Ada yang saling bertabrakan, ada pula yang terguling. Di antara bangkai mobil itu, beberapa jasad terlihat membusuk.
Clay menekan rem. “Sial,” gumamnya pelan. Dia keluar sebentar dari mobil untuk memastikan keadaan. Pandangannya menyapu ke segala arah, tapi tak terlihat tanda-tanda kehidupan, baik manusia maupun zombie.
Britney membuka pintu dan keluar juga. “Apa kita bisa lewat dari sisi lain?” tanyanya dengan nada khawatir.
Clay menggeleng pelan. “Tidak mungkin. Semua jalur tertutup. Bahkan kalaupun kita memaksa lewat, mobil ini akan nyangkut. Tapi jaraknya tidak jauh dari sini. Mungkin dua kilometer lagi ke rumah sakit.”
Britney menarik napas dalam. “Kalau begitu... satu-satunya cara ya jalan kaki.” Ia menatap bangunan tinggi di kejauhan, menandai arah rumah sakit. “Aku rasa kita bisa sampai sebelum sore.”
Clay menatapnya dan mengangguk mantap. “Baiklah. Kita lanjut jalan kaki.”
Keduanya mengenakan ransel masing-masing, lalu mulai berjalan menyusuri jalanan kota yang hancur. Suara langkah kaki mereka bergema di antara gedung-gedung yang sepi. Setiap suara kecil, bahkan desir angin sekalipun, mampu membuat keduanya waspada.
Namun ketenangan itu lagi-lagi tidak bertahan lama. Dari arah kiri, Britney mendengar suara aneh. Seperti langkah kaki yang terseret. Lalu dari kanan, terdengar raungan lirih yang begitu khas, suara yang tidak akan pernah bisa ia lupakan. Zombie...
Dalam sekejap, Clay menarik tangan Britney dan berlari kecil menuju balik sebuah bus besar yang terparkir miring di sisi jalan. Nafas mereka tersengal, jantung berdetak cepat.
“Sial!” desis Clay dengan napas memburu. Ia melongok sedikit dari balik bus, lalu matanya membulat. “Ada banyak sekali...”
Britney mengintip pelan. Pemandangan di hadapannya membuat bulu kuduknya berdiri. Puluhan zombie berjalan tertatih, sebagian tubuh mereka rusak parah. Ada yang hanya punya satu tangan, ada yang rahangnya terlepas separuh. Mereka bergerak lambat, tapi jumlah mereka terlalu banyak.
“Sekarang bagaimana?” bisik Britney nyaris tanpa suara.
“Kita harus cari jalan lain,” jawab Clay cepat. Ia menatap sekitar dengan cermat, menilai setiap kemungkinan. Tak jauh dari sana, sekitar tiga puluh meter, terdapat sebuah gang sempit yang tampak relatif aman.
“Lihat itu.” Clay menunjuk arah gang. “Kalau kita bisa sampai ke sana, mungkin bisa memutar lewat belakang.”
Britney mengerutkan dahi. “Bagaimana kalau itu jalan buntu?”
Clay memutar mata. “Bisakah kau, untuk sekali ini saja berpikir positif?” balasnya dengan suara berbisik namun terdengar frustrasi.
Britney menatapnya dengan wajah datar. “Aku hanya memikirkan kemungkinan terburuk. Tapi baiklah, aku ikut saja.”
Clay menarik napas panjang, mencoba menahan tawa sekaligus tegangnya suasana. “Baik, dengar. Kita jalan perlahan. Ikuti aku. Kita lakukan dalam hitungan tiga.” Ia menoleh memastikan arah zombie. “Satu... dua... tiga!”
Mereka mulai bergerak. Langkah-langkah kecil, hati-hati, hampir tanpa suara. Britney berusaha menyesuaikan napasnya agar tidak terdengar. Setiap detik terasa seperti menit. Clay menunduk rendah, menyusuri sisi kanan jalan. Jarak ke gang semakin dekat. Namun tepat ketika mereka tinggal beberapa meter lagi, sebuah kesalahan kecil mengubah segalanya. Kaki Britney tanpa sengaja menyenggol kaleng minuman yang tergeletak di tanah.
Klontang!
Suara logam bergema keras di udara yang sunyi. Detik berikutnya, semua kepala zombie serentak menoleh ke arah sumber suara.
“Tidak...” desis Clay dengan wajah tegang.
“Sekarang bagaimana?” bisik Britney panik.
“Cepat! Di bawah mobil itu!” seru Clay pelan tapi tegas.
Tanpa berpikir panjang, mereka berdua merangkak cepat ke bawah sebuah mobil besar yang terparkir di pinggir jalan. Clay masuk lebih dulu, diikuti Britney. Nafas mereka tersengal, dan jantung mereka berdetak sekeras gendang perang.
Beberapa detik kemudian, suara langkah-langkah berat terdengar mendekat.
Sret... sret...
Suara kaki zombie yang terseret di atas aspal terdengar begitu dekat, begitu nyata. Dari bawah mobil, mereka bisa melihat kaki-kaki busuk itu lewat satu per satu.
Britney membekap mulutnya rapat-rapat. Tubuhnya gemetar, keringat dingin mengucur dari pelipis. Matanya terpejam, berharap para makhluk itu segera pergi. Clay di sampingnya juga tak berani bergerak sedikit pun. Ia menggenggam gagang pisaunya erat, tapi ia tahu, jika mereka mencoba melawan dalam posisi ini, mereka pasti mati.
Detik demi detik berjalan. Namun jumlah zombie justru semakin banyak. Mereka tampak berkumpul di sekitar mobil, seperti tahu ada mangsa bersembunyi di bawahnya. Suara raungan mereka menggetarkan udara. Salah satu zombie bahkan membungkuk, dan ujung jarinya hampir menyentuh tanah tempat mereka berbaring.
Britney menahan napas. Matanya menatap Clay dengan panik. Clay hanya menggeleng pelan, memberi isyarat agar tetap diam.
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Di atas mereka, langit semakin gelap, bukan karena malam tiba, tetapi karena awan tebal menutupi matahari. Hujan mungkin akan turun, dan jika itu terjadi, suara air bisa membantu menutupi keberadaan mereka… atau justru membuat situasi makin berbahaya.
Britney menatap ke luar dari celah sempit di bawah mobil. Ia bisa melihat puluhan kaki zombie berkeliaran. Beberapa di antaranya berhenti tepat di dekat wajahnya. Bau busuk yang menusuk membuat perutnya mual. Ia menutup hidung, menahan diri untuk tidak muntah.
Clay perlahan mencondongkan kepala, berbisik nyaris tanpa suara, “Tunggu sampai mereka pergi... jangan bergerak sedikit pun.”
Britney mengangguk pelan. Ia tahu, satu gerakan kecil bisa mengakhiri hidup mereka.
Suasana menjadi begitu sunyi, hanya terdengar erangan para zombie dan dentuman halus dari petir di kejauhan. Waktu seolah berhenti bagi mereka berdua yang bersembunyi di bawah mobil itu, di antara hidup dan mati.
Dan di tengah ketegangan itu, Clay merasakan sesuatu di dadanya, sebuah kesadaran yang tak bisa ia abaikan, jika hari ini berakhir dengan selamat, ia akan mengatakan pada Britney apa yang sebenarnya ia rasakan selama ini. Namun untuk saat ini, mereka hanya bisa bertahan.
SELAMAT DATANG peradaban baru.
Itulah kalimat yang layak diucapkan saat ini.
Manusia ditakdirkan menjadi khalifah, pembawa perubahan dan pembentuk peradaban di muka bumi.
Mengubahnya dan memicu lahirnya peradaban baru bagi umat manusia.
Virus zombie yang mewabah di hampir semua daerah ini telah mengubah hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat bahkan sangat tidak siap dengan kehadiran wabah yang mematikan ini.
Manusia hadir untuk bertindak melakukan perubahan dan membangun peradaban yang diamanatkan oleh Allah SWT.
Dimana semua orang bisa hidup damai, membuat sebuah daerah mampu bangkit dan berkontribusi dalam peta peradaban...🤩🥰