Sejak malam pernikahan, Clara Wu telah diracun oleh pamannya—racun yang membuatnya hanya bisa bertahan hidup lewat penawar yang diberikan setiap minggu.
Namun setiap kali penawar itu datang, bersamanya hadir obat perangsang yang memaksa tubuhnya menjerit tanpa kendali.
Tak sanggup menanggung hasrat yang dipaksakan padanya, Clara memilih menyakiti diri sendiri, melukai tangannya agar tetap sadar.
Tiga tahun ia bertahan dalam pernikahan tanpa cinta, hingga akhirnya diceraikan dan memilih mengakhiri hidupnya.
Ketika Adrian Zhou kembali dari luar negeri dan menemukan kebenaran tentang siksaan yang dialami istrinya, hatinya hancur oleh penyesalan.
Apakah Adrian akan mampu mencintai istri yang selama ini ia abaikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Tidak lama kemudian, Clara mulai tenang di dalam pelukan suaminya. Napasnya yang tadinya tersengal perlahan menjadi teratur. Tubuhnya yang lemas bersandar di dada Andrian, matanya perlahan tertutup karena kelelahan.
Andrian menatap wajah pucat itu dengan tatapan iba. Ia menidurkan Clara perlahan di atas ranjang, kemudian merapikan selimut untuk menutupi tubuh istrinya agar tetap hangat.
“Tidurlah, Clara… kau sudah aman,” bisiknya lembut.
Clara tidak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, tenggelam dalam tidur yang tenang untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Beberapa saat kemudian—
Andrian berdiri di ruang dokter, wajahnya tampak tegang namun berusaha tenang.
“Bagaimana kondisi tubuh istri saya? Apakah efek obat itu sudah benar-benar hilang?” tanyanya dengan nada penuh kekhawatiran.
Dokter menatap berkas hasil pemeriksaan di tangannya sebelum menjawab, “Tuan Zhou, efek obat itu sudah mulai berkurang. Dalam dua hari ke depan, seluruh zatnya akan keluar dari tubuh nyonya. Namun, tolong pastikan kejadian itu tidak terulang lagi. Tubuhnya sudah terlalu lemah untuk menerima serangan berikutnya.”
Andrian mengangguk pelan. “Saya mengerti… tapi tolong katakan yang sebenarnya. Apakah dia benar-benar bisa sembuh total?”
Dokter menarik napas panjang. “Secara fisik, bisa. Tapi yang kami khawatirkan adalah kondisi mentalnya. Saat racun menyerang tadi, dia sempat memohon agar diberi suntikan mati. Artinya, nyonya Clara berada di titik putus asa yang sangat dalam.”
Ucapan itu membuat dada Andrian sesak. Ia mengepalkan tangannya di sisi tubuh, menahan emosi yang membuncah.
“Bagaimanapun juga, sembuhkan istri saya,” ucapnya dengan nada tegas namun bergetar. “Gunakan semua cara yang diperlukan, dan saya ingin dokter terbaik menangani kondisinya, termasuk untuk masalah psikologisnya. Saya tidak peduli berapa biayanya.”
Dokter mengangguk penuh hormat. “Baik, Tuan Zhou. Kami akan mengatur sesi konseling khusus untuk nyonya. Tapi yang paling penting, dia membutuhkan seseorang yang bisa membuatnya merasa aman. Dan saya pikir… hanya Anda yang bisa memberikannya.”
Keesokan harinya.
Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui tirai jendela kamar rumah sakit. Udara terasa hangat dan menenangkan. Di meja kecil dekat ranjang, aroma lembut bubur ayam buatan Bibi Shu memenuhi ruangan.
Clara perlahan membuka matanya. Ketika melihat sosok wanita paruh baya yang sibuk menuangkan bubur ke dalam mangkuk, ia tersenyum tipis.
“Bibi Shu…” panggilnya lembut.
Bibi Shu menoleh dengan wajah penuh kasih. “Nona sudah bangun. Lihat, bibi bawakan bubur kesukaan Nona. Tambah sedikit jahe, supaya perutnya hangat.”
Clara menatap bubur itu dengan mata berkaca-kaca. “Bibi… maaf, beberapa hari ini membuatmu repot. Bibi harus merawatku lagi seperti dulu.”
Bibi Shu tersenyum lembut sambil menggeleng. “Nona, itu sudah jadi tanggung jawab bibi. Asalkan Nona bisa makan dengan baik dan cepat sembuh, bibi baru bisa tenang."
Clara menatap wajah wanita tua itu, lalu berkata pelan, “Terima kasih, Bibi. Hanya kaulah satu-satunya orang yang masih mau peduli padaku.”
Bibi Shu meletakkan sendok, lalu menggenggam tangan Clara erat-erat. “Nona, bibi hanya minta satu hal. Tetaplah bertahan hidup. Demi masa depan Nona sendiri. Tuan Zhou… beliau sudah tahu semuanya. Beliau juga sudah membalas perbuatan keluarga Wu.”
Clara menatapnya kaget. “Membalas? Bibi, kami sudah bercerai. Dia bahkan tidak mau melihatku lagi… mana mungkin dia peduli?”
Bibi Shu menggeleng pelan, matanya berkaca-kaca. “Nona salah. Saat mendengar Nona bunuh diri, Tuan Zhou langsung jatuh pingsan. Dokter bilang, jantungnya memang lemah. Sejak itu beliau tidak berhenti menjaga Nona, siang dan malam.”
Clara terdiam. Dadanya terasa sesak.
“Lemah jantung…? Tapi selama ini dia terlihat kuat dan sehat…” suaranya bergetar, seolah tak percaya.
“Beliau tidak pernah mau memperlihatkan kelemahannya. Nona tahu, Tuan Zhou itu keras kepala. Tapi jauh di dalam hati, beliau masih sangat mencintai Nona,” ujar Bibi Shu lembut.
Bibi itu lalu tersenyum kecil, meski air mata mulai menetes di pipinya. “Nona, jangan sakiti diri sendiri lagi. Tuan Zhou sudah banyak berbuat untuk orang lain, termasuk untuk keluarga bibi. Beliau membantu biaya sekolah anak-anak bibi, bahkan menanggung pensiunku agar aku bisa pulang dan berkumpul dengan keluargaku.”
Clara menatap Bibi Shu dengan mata berkaca. “Bibi… bukankah itu memang harapanmu sejak lama? Bisa kembali ke desa, berkumpul dengan keluarga? Jangan kembali lagi ke keluarga Wu. Mereka sudah cukup menyakitimu.”
Bibi Shu menggeleng cepat. “Tapi Nona… bagaimana bibi bisa meninggalkanmu? Sejak Nona kecil, bibi yang melihat Nona tumbuh. Bibi sudah menganggap Nona seperti anak sendiri. Melihat Nona menderita rasanya bibi tidak tega…”
Clara tak kuasa menahan air mata. Ia bangkit perlahan dan memeluk wanita tua itu erat-erat.
“Bibi Shu…” isaknya pelan.
Bibi Shu membalas pelukan itu, menepuk punggung Clara lembut, ikut menangis dalam haru.
Di ruang periksa rumah sakit.
Andrian duduk di kursi pasien, mengenakan kemeja putih dengan beberapa kancing terbuka. Di hadapannya, dokter senior berdiri sambil memegang berkas hasil pemeriksaan.
“Tuan Zhou,” ujar dokter dengan nada hati-hati, “hasil tes terakhir menunjukkan fungsi jantung Anda menurun cukup signifikan.”
Andrian terdiam, matanya tertuju pada lembar laporan yang diletakkan di atas meja.
“Penurunan ini disebabkan oleh stres emosional yang berat. Tekanan darah Anda sempat tidak stabil selama beberapa hari terakhir. Jika kondisi ini dibiarkan, risikonya bisa berujung pada serangan jantung,” lanjut sang dokter.
Andrian menegakkan punggungnya, meski tubuhnya terasa lemah.
“Seberapa parah?” tanyanya pelan.
“Cukup serius, Tuan. Kami menyebutnya sebagai kondisi cardiac insufficiency. Jantung Anda bekerja lebih keras dari seharusnya untuk memompa darah. Saya sarankan untuk menghindari emosi berlebihan dan istirahat total sementara waktu.”
Andrian menghela napas panjang.
“Menghindari emosi?” gumamnya lirih. “Bagaimana mungkin, jika separuh alasan saya bertahan hidup sedang terbaring di ruang sebelah?”
Dokter menatapnya penuh simpati.
“Saya mengerti, Tuan Zhou. Tapi jika Anda terus memaksakan diri, nyawa Anda pun bisa terancam. Ini sudah saya sarankan dari empat tahun lalu. Kalau terulang lagi belum tentu bisa seberuntung seperti kemarin."
"Andrian Zhou, kau bisa dikalahkan oleh penyakit ini," batinnya.