Asa terkejut saat membuka matanya semua orang justru memanggilnya dengan nama Zia Anggelina, sosok tokoh jahat dalam sebuah novel best seller yang menjadi trending topik paling di benci seluruh pembaca novel.
Zia kehilangan kasih sayang orang tua serta kekasihnya, semua terjadi setelah adiknya lahir. Zia bukanlah anak kandung, melainkan anak angkat keluarga Leander.
Asa yang menempati raga Zia tidak ingin hal menyedihkan itu terjadi padanya. Dia bertekad untuk melawan alur cerita aslinya, agar bisa mendapat akhir yang bahagia.
Akankah Asa mampu memerankan karakter Zia dan menghindari kematian tragisnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15
Tapi entah kenapa kepalanya tiba-tiba berdenyut, ia terdiam memegangi kepalanya dengan dahi mengernyit menahan sakit. "Duh, kenapa kepala gue mendadak sakit, ya?"
Bibir Arza menipis menahan emosi melihat Zia tidak mau menyingkir. "Gue bilang minggir, sialan!" bentak Arza dengan suara kencang, hingga membuat Zia tersentak kaget. Kepalanya yang pusing semakin terasa sakit ketika mendengar bentakan Arza.
Leon menarik lembut lengan Zia, ia bergerak maju hingga menutupi tubuh gadis itu. Kini Leon dan Arza saling pandang, pemuda itu mengamati sosok Arza dari ujung kaki hingga ujung rambut.
"Lo Arza Regaza?" tanya Leonis.
Arza menaikan sebelah alisnya. "Lo anak baru?"
Leon hanya tersenyum miring, nada suaranya terdengar santai tapi tajam menelusup ke ego lawan bicaranya.
"Masalah kalo gue anak baru?"
Tatapan Arza mengeras, langkahnya mendekat satu kali hingga jarak mereka hanya tinggal sejengkal. "Gue nggak peduli siapa lo. Jangan sok jadi pahlawan kesiangan di sini."
Leon menahan tawa kecil, lalu menatap Arza dengan pandangan datar. "Lucu ya. Lo ngomong kayak gitu, yang jadi pahlawan kesiangan itu siapa? Lo atau gue?"
Beberapa siswa yang menonton mulai berbisik pelan. Udara di lapangan terasa menegang. Arza melirik sekitar dengan rahangnya mengeras, lalu menatap Leon lebih tajam.
"Jaga ucapan lo. Gue nggak suka sama cowok yang sok jago."
"Gue juga nggak suka cowok yang nyembunyiin arogansinya di balik kata 'tegas'," balas Leon cepat. Ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya menurun tapi penuh tekanan. "Lo pikir lo kuat karena bisa teriak dan nyalahin orang lain? Nggak, bro. Itu cuma bukti lo belum bisa mengendalikan diri sendiri."
Zia yang berdiri di belakang Leon menatap keduanya khawatir, ingin menghentikan ketegangan itu tapi suaranya tertahan. Arza mendengus kasar, wajahnya menegang penuh amarah, namun Leon tidak menunjukkan sedikit pun rasa gentar.
Arza mengepalkan tangannya, napasnya memburu, tapi suara Kevin yang datang memecah ketegangan. "Cukup, kalian berdua! Ini lapangan, bukan ring tinju!"
Leon hanya mendengus pelan dan menepuk bahu Zia dengan lembut. "Ayo, Zia. Nggak ada gunanya ngadepin orang yang ngerasa dirinya jadi pusat dunia."
Maddy dan Gina yang tengah bertengkar pun langsung berhenti mendengar suara Arza dan Leonis, mereka menoleh dengan pandangan berbeda. Lapangan yang ramai langsung senyap seketika.
"Zia, lo kenapa?" tanya Zia khawatir.
Zia hanya menggeleng pelan sebagai jawaban, ia berusaha tetap berdiri dengan normal.
Masih dengan wajah keras, Arza memperhatikan tangan Leon yang memegang wajah Zia. Ia mendengus pelan, kemudian membawa Gaby dengan langkah cepat menuju UKS. Sementara Gina menarik sudut bibirnya puas melihat Zia diperlakukan seperti itu oleh Arza. Zia memang pantas menerima segala amarah Arza.
Emosi Maddy tersulut melihat ekspresi menjijikkan Gina pada sahabatnya, ia langsung menjambak rambut gadis itu lagi.
"Kita belum selesai, jalang kecil!" Maddy menyeringai sadis.
Semakin mengencangkan jambakannya, Gina mengerang sakit dengan tubuh gemetar ketakutan.
Sementara Leon, ia melihat wajah Zia yang semakin pucat. "Mau ke rumah sakit aja?"
"Nggak perlu!" Zia berbalik dan berniat pergi.
Namun kakinya mendadak terasa seperti jelly, Zia terhuyung ke belakang. Ia berpikir akan jatuh dan sudah memejamkan mata, tapi detik demi detik berlalu dan Zia merasakan tangan seseorang melingkari pinggangnya.
Ia membuka mata dan melihat wajah Leon yang hanya berjarak beberapa senti darinya. "Makanya jangan bandel jadi cewek."
"Apa maksud–"
Ucapan Zia terhenti ketika Leon tiba-tiba mengangkat tubuhnya, ia reflek melingkarkan tangannya di leher pemuda itu.
"Lo apa-apaan sih?" tanya Zia sinis.
Leon tersenyum tipis. "Nggak usah baper."
***
Saat ini Zia dalam perjalanan pulang dengan sopir keluarganya. Wajah gadis itu masih kusut mengingat kejadian di lapangan tadi, belum lagi kemunculan Leon yang mendadak semakin membuat kepalanya berdenyut hebat.
Sedari dulu ia memang tidak pernah tahan berlama-lama di bawah terik matahari. Jika terlalu lama berada di bawah sinar matahari, ia akan merasa pusing dan lemas seperti tadi.
Sejujurnya, ia cukup kesal dibentak di depan umum oleh Arza. Ia malu dan tidak suka melihat tatapan kasihan dari teman-teman sekelasnya yang lebih mirip tatapan mengejek. Kenapa bisa Zia asli bisa menyukai pemuda menyebalkan seperti itu. Arza tidak ada bagus-bagusnya untuk dijadikan pasangan apa lagi suami.
Sesampainya di rumah, Zia sudah disuguhkan penampakan Damian yang sedang duduk di ruang tamu. Sepertinya sengaja menunggunya pulang, terlihat dari gerakan tubuh lelaki paruh baya itu yang langsung berdiri dari duduknya setelah melihatnya masuk ke dalam rumah.
Zia menghela napas panjang ketika mendapat tatapan tajam dari Damian, sepertinya ini akan cukup melelahkan. Dan ia yakin kabar jika ia mencelakai Gaby sudah di dengar oleh ayahnya itu.
"Papi benar-benar gak habis pikir sama kamu, Zia." Damian melangkah mendekat dengan suara beratnya yang membuat Zia memalingkan wajah.
Muak. Andai ia tadi merekam kejadian itu, ia pasti bisa menyerahkannya pada sang ayah dan tanpa perlu bersusah payah menjelaskan yang pada akhirnya tetap sama, ayahnya akan memojokan dirinya dan menuduhnya sebagai penjahat.
"Kenapa kamu gak bisa membiarkan Gabriella tenang, Zia. Kalau kamu kecewa sama Papi jangan kamu lampiaskan sama dia!"
Zia mengerti, ini masih masalah yang sama mengenai Gaby yang terkena lemparan bolanya.
Benar-benar novel sialan, pikir Zia.
"Aku gak sengaja," kata Zia.
"Gak sengaja? Selalu itu yang kamu jadikan alasan. Ini bukan pertama kalinya, Zia! Sebelumnya Gaby yang membiarkan kamu begitu saja, dia yang memohon pada Papi untuk nggak memarahi kamu. Tapi apa yang kamu lakukan, bukannya kamu introspeksi diri, ini malah semakin menjadi, kamu harusnya malu, Zia!" Suaranya menggema memenuhi ruangan.
"Jangan pernah nyuruh orang lain buat introspeksi diri kalau Papi aja gak bisa ngelakuin itu," balas Zia dingin.
"Ini yang Papi gak suka dari kamu, selalu saja kamu melawan ucapan Papi!"
Zia mendengus. "Banyak hal yang gak aku sukai dari Papi, salah satunya ini. Selalu gak pernah sadar diri! Dan menyalahkan aku tanpa mau mendengar penjelasan dariku."
Rahang Damian mengeras. "Jaga sopan santun kamu, Zia!"
"Aku sopan tergantung orangnya, coba nilai sendiri setelah apa yang udah Papi lakuin sama aku, apa pantas Papi dapat hormat dari aku?"
Damian terdiam tidak mengatakan apa pun, tapi beberapa saat kemudian dia kembali berkata, "Sebaiknya kamu minta maaf sama Gaby sekarang, kamu harus lebih baik sama dia, Zia. Bagaimanapun Gaby anak kandung Papi, dia saudara kamu, kalian berdua mempunyai tempat yang sama di hidup Papi," ucap Damian kembali ke topik pertama.
"Halah, basi!" balas Zia dingin.
Damian kembali marah. "Kamu memang gak bisa dibicarakan baik-baik, Zia!"
Damian melangkah ke arah Zia, menarik lengan putrinya kasar menuju lantai dua ke kamar Gaby berada.
Zia meringis pelan, berusaha melepaskan cengkeraman tangan Damian di pergelangan tangannya. Pintu kamar Gaby dibuka paksa hingga membuat Gaby yang tengah beristirahat tersentak kaget, begitu pun Amanda yang saat itu sedang menjaga putrinya.
"Astaga! Papi!"