Anesha dan Anisha adalah kakak beradik yang terpaut usia tiga tahun. Hidup bersama dan tumbuh bersama dalam keluarga yang sama. Namun mereka berdua dibesarkan dengan kasih sayang yang berbeda. Sebagai kakak, Nesha harus bekerja keras untuk membahagiakan keluarganya. Sedangkan Nisha hidup dalam kemanjaan.
Suatu hari saat mereka sekeluarga mendapat undangan di sebuah gedung, terjadi kesalah pahaman antara Nesha dengan seorang pria yang tak dikenalnya. Hal itu membuat perubahan besar dalam kehidupan Nesha.
Bagaimanakah kehidupan Nesha selanjutnya? Akankah dia bahagia dengan perubahan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sikap Fandi
Nisha dan Fandi pulang dari PT.BLJ dengan senyum yang terkembang. Pasalnya ia diberitahu kalau kompensasi yang harus ia bayarkan diturunkan menjadi setengahnya. Meskipun lima puluh juta masih terbilang cukup banyak, namun keduanya yakin bisa mendapatkan uang itu segera.
"Nah, masalahnya sekarang kita pikirkan darimana uang segitu, Nis", ucap Bu Rumi.
"Kita pinjem Pak Haji aja, Bu", usul Nisha.
"Nggak boleh!" Dengan tegas dan lantang Pak Edi menentang usulan Nisha.
"Ih kenapa sih, Pak?" Raut wajah Nisha pun langsung berubah cemberut.
"Kita jangan merepotkan orang lain terus-terusan, Nak. Kita berusaha sendiri", tutut Pak Edi.
"Emangnya bapak punya uang segitu?" Nisha mencebikkan bibirnya seraya membuang muka.
"Nggak tahu. Semua uang bapak kan dikasih ke ibumu semua", Pak Edi melirik Bu Rumi dengan senyum menggoda.
"Nggak ada", jawab Bu Rumi dengan cepat.
"Ih ibu. Masa uang bapak nggak ada buat tabungan?" Nisha menggoyang-goyang kan lengan ibunya.
"Lha kamu tiap hari makan pakai uang siapa kalau bukan uang dari bapakmu?"
"Ibu bilang kebutuhan dapur semua belanja pakai uang Nesha. Kenapa ibu nggak—", belum juga Nisha menyelesaikan kalimatnya, Bu Rumi langsung mencubit lengannya agar anak itu berhenti bicara.
Pak Edi yang mendengar perkataan Nisha langsung mengernyitkan dahi. Dalam benak Pak Edi langsung dipenuhi dengan pertanyaan. "Apakah benar yang diucapkan Nisha? Apa selama ini Nesha yang membiayai kehidupan rumah ini sendiri?"
"Uang Nisha kan dipake beli vitamin, periksa kandungan, dan juga beli perlengkapan bayi nanti, Bu", rengek Nisha. Kalau sudah begini, pasti Bu Rumi akan mendesak Pak Edi untuk mengusahakan semua keinginan Nisha.
"Pak, pinjam saja sama Pak Haji", bujuk Bu Rumi seraya mengusap lengan Pak Edi dengan lembut.
Pak Edi terdiam, memikirkan perkataan Nisha dan juga memikirkan cara untuk mencari uang lima puluh juta tersebut.
"Nanti bapak pikirkan caranya", ucap Pak Edi lalu berdiri dan masuk ke dalam kamar.
Bu Rumi pun tersenyum penuh kemenangan. Pasti suaminya itu akan selalu menuruti semua ucapannya.
Nisha lega setelah mendengar ucapan Pak Edi. Ia menghampiri Fandi yang duduk di teras depan. Ia melihat suaminya sedang tersenyum sambil melihat ponselnya.
"Mas lagi apa kok senyum-senyum?" Tanya Nisha penasaran, apakah ada hal lucu yang sedang Fandi lihat.
Saat melihat Nisha duduk di sampingnya, segera Fandi mematikan layar ponsel dan tersenyum canggung kearah istrinya.
"Apa sih, aku cuma lihat kerjaan aja, kok", jawab Fandi seadanya.
"Kok senyum-senyum? Penghasilanmu lagi banyak ya, Mas?"
"Ah apa sih. Kamu tuh tahunya cuma duit, duit, duit aja, Nis!" Fandi memalingkan wajahnya kesal. Pasalnya Nisha selalu saja masih meminta ini itu meski tahu sekarang dirinya diambang kebangkrutan karena terlalu sering berfoya-foya.
"Sabtu ini jadwal kontrol kandungan, Mas", tutur Nisha seraya mencebikkan bibir.
"Periksa aja di puskesmas aja kan bisa. Gratis pula".
"Nggak mau, Mas. Aku mau nya di dokter kandungan di rumah sakit". Nisha bersedekap tangan karena kesal. Apa kata orang-orang nanti kalau ia periksa di puskesmas dan ketemu sama tetangganya?
"Darimana uangnya? Pemasukanku sekarang aja selalu minus. Periksa di puskesmas kan sama saja. Toh bayinya juga sehat, kan?"
"Ih Mas tuh nyebelin banget! Pokoknya aku nggak mau periksa di puskesmas. Titik." Nisha pun berdiri dan meninggalkan Fandi. Ia berjalan masuk rumah seraya menghentak-hentakkan kaki seperti anak kecil yang merajuk.
Fandi merasa kesal dengan Nisha. Hampir setiap hari, cuma uang aja yang selalu dibicarakannya. Sedang asyik ngobrol dan bercanda, tiba-tiba Nisha akan meminta sesuatu. Jika tak dituruti, ia akan mengadu pada ibunya. Alhasil, Bu Rumi pun akan menegurnya dan akan memojokkannya. Sehingga mau tak mau ia harus selalu memenuhi keinginan Nisha.
Ingin sekali ia membawa Nisha tinggal di rumah orang tuanya, tapi Nisha ngotot nggak mau dan diujung perdebatan pun nama ibunya akan selalu jadi tameng. Membuatnya tak berkutik dihadapan ibu mertuanya.
Lalu ia menerawang jauh, membandingkan Nisha dengan sang kakak, Nesha. Tak pernah sekali pun terdengar Nesha mengeluh atau pun mengadukan suaminya itu pada ibu atau bapak mertuanya. Sepertinya pernikahan Nesha dan Garvi pun adem ayem. Tak pernah pula terdengar Nesha yang merengek pada Garvi untuk dibelikan ini itu. Yang ada, Nesha selalu melayani Garvi dengan setulus hati. Berbeda dengan Nisha yang tak bisa mengurus dirinya, bahkan hampir setiap hari selalu membuatnya pusing.
Tiba-tiba terselip rasa iri pada Garvi yang beruntung mendapatkan Nesha. Sudah cantik, mandiri, lemah lembut, penurut, dan juga nggak neko-neko. Apalagi sekarang Nesha terlihat lebih glowing dari sebelumnya, membuat hati Fandi berdesir tatkala membayangkan wajah kakak iparnya.
"Seandainya aku lebih dulu ketemu sama Nesha, pasti aku nggak bakalan pusing tiap hari", batin Fandi seraya terus membayangkan wajah Nesha yang tersenyum.
Saat sedang asyik melamun, orang yang sedang dipikirkannya pun muncul sepulang kerja.
"Baru pulang, Nes?" sapa Fandi sambil melemparkan senyum.
"Iya. Tumben kamu sendirian, Nisha mana?"
"Nisha baru aja masuk", jawab Fandi seraya membenahi posisi duduknya.
"Oh ya sudah. Aku masuk dulu", pamit Nesha.
Saat berjalan melewati Fandi, Nesha merasakan tangannya sedang di sentuh oleh adik iparnya itu. Karena terkejut, Nesha dengan reflek cepat menarik tangannya dan menjauh dari Fandi.
"Maaf, nggak sengaja, Nes", ucap Fandi seraya nyengir kearah Nesha.
Nesha yang kaget masih memegang kedua tangannya di depan dada.
"I-iya nggak apa-apa". Dengan langkah cepat, Nesha masuk ke dalam rumah.
Di dalam kamar, Nesha merasa gelisah dengan sikap Fandi yang tak seperti biasanya. Padahal Fandi adalah orang yang dulunya sangat jijik hanya dengan melihat dirinya. Bahkan dia sering ikut mengolok-oloknya. Namun hari ini ada yang aneh. Mulai dari menyapa sambil tersenyum dengan lembut sampai berani menyentuh tangannya.
Nesha yakin kalau Fandi sengaja menyentuhnya, karena sentuhan itu lebih terasa seperti belaian, bukan ketidaksengajaan. Ia pun menjadi takut dengan perubahan sikap adik iparnya itu.
Untuk menepis kegelisahannya, Nesha pergi mandi dan akan melaksanakan sholat maghrib. Mungkin dengan itu ia akan merasa tenang.
Tak lama setelah menuntaskan kegiatan mandinya, Nesha pun mengambil wudhu.
"Astaghfirullah", pekik Nesha dengan suara lirih ketika melihat Fandi yang berdiri di depan kamar mandi.
"Maaf, kamu kaget, ya?" ucap Fandi seraya tersenyum.
"Sedang apa kamu?" tanya Nesha sedikit panik.
"Aku mau ke kamar mandi, nunggu kamu keluar lama banget".
"Kamu kan bisa nungguin di ruang makan atau di mana saja. Ngapain nunggu tepat di depan pintu kamar mandi?" cecar Nesha.
"Ya suka-suka aku, dong!" Fandi pun terkekeh melihat Nesha yang panik.
"Kubilangin sama Nisha, baru tahu rasa kamu!" ancam Nesha.
"Coba aja bilang. Kita lihat, dia percaya sama aku atau kamu", Fandi kembali terkekeh.
"Dasar sinting!", Nesha pun pergi meninggalkan Fandi dan bergegas masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamar, Nesha segera menutup pintu kamarnya dan menguncinya dari dalam. Ia sangat takut melihat ekspresi Fandi yang seperti harimau siap menerkam mangsanya.
Dalam kegelisahannya, Nesha sangat ingin segera bertemu dengan Garvi. Karena ia akan merasa aman dan nyaman jika ada suaminya di sampingnya.