Dua minggu yang lalu, Rumi Nayara baru saja kehilangan bayi laki-lakinya setelah melahirkan. Lalu, seminggu kemudian suaminya meninggal karena kecelakaan. Musibah itu menjadi pukulan berat bagi Rumi. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan bayi laki-laki yang alergi susu botol di rumah sakit, dan butuh ASI. Rumi pun menawarkan diri, dan entah mengapa ia langsung jatuh cinta dengan bayi itu, begitu juga dengan bayi yang bernama Kenzo itu, terlihat nyaman dengan ibu susunya.
Tapi, sayangnya, Rumi harus menghadapi Julian Aryasatya, Papa-nya baby Kenzo, yang begitu banyak aturan padanya dalam mengurus baby Kenzo. Apalagi rupanya Julian adalah CEO tempat almarhum suaminya bekerja. Dan ternyata selama ini almarhum suaminya telah korupsi, akhirnya Rumi kena dampaknya. Belum lagi, ketika Tisya— istri Julian siuman dari koma. Hari-hari Rumi semakin penuh masalah.
“Berani kamu keluar dari mansion, jangan salahkan aku mengurungmu! Ingat! Kenzo itu adalah anak—?”
Siapakah baby Kenzo?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Diam-diam Perhatian
Cahaya matahari menembus tirai tipis berwarna krem, menebar rona hangat ke dalam ruang VIP itu. Pendingin udara berdesis pelan, bercampur dengan aroma antiseptik yang samar-samar masih menyelimuti ruangan. Di meja kecil sudut ruangan, vas kaca berisi bunga mawar putih membuat suasana lebih tenang, meski hati di dalamnya justru penuh gejolak.
Julian berdiri kaku di samping troli makanan yang tadi didorong masuk oleh Derry. Wajahnya tegas, nyaris tanpa ekspresi. Gerakannya dingin, efisien, tapi tidak bisa dipungkiri ada ketelitian dalam setiap tindakannya. Dengan raut datar, ia menarik overbed table—meja kecil yang bisa disesuaikan posisinya di atas ranjang pasien—lalu menggesernya perlahan ke hadapan Rumi. Suara roda meja yang bergesekan dengan lantai licin terdengar jelas, membuat Rumi refleks menoleh sebentar, lalu buru-buru memalingkan wajahnya.
Ia tidak sanggup menatap pria itu terlalu lama. Ada semacam benteng di dalam dirinya yang ia bangun rapat-rapat—antara rasa segan, kesal, sekaligus perasaan asing yang sulit ia namai.
Julian menaruh satu per satu makanan dari kotak ke atas meja. Nasi hangat dalam piring keramik putih, dada ayam panggang dengan saus herbal, semangkuk sup krim jagung, salad segar, hingga jus jeruk yang masih dingin dengan embun menempel di gelasnya. Penataannya nyaris sempurna, seperti hidangan restoran bintang lima yang dipindahkan ke ruang rumah sakit.
“Sudah siang.” Suara Julian rendah, tanpa intonasi berlebihan. Ia menarik kursi lalu duduk di tepi ranjang, begitu dekat hingga Rumi bisa merasakan aroma maskulin yang samar keluar dari jas hitamnya. “Makanlah sekarang. Mumpung Kenzo masih tidur.”
Rumi tetap menunduk, jemarinya sibuk merapikan selimut di samping tubuh mungil Kenzo. Bayi itu terlelap dengan napas halus, sesekali tangannya bergerak refleks meraih baju ibunya. “Saya … nggak terlalu lapar, Pak,” jawabnya lirih.
Tatapan dingin Julian tak bergeming. Ia melirik sekilas wajah pucat Rumi, lalu kembali menata sendok dan garpu di hadapan wanita itu. “Tubuhmu masih lemah. Kamu menyusui Kenzo. Kalau kamu tidak makan, kamu bukan hanya menyiksa dirimu, tapi juga anak saya.”
Kata “anak saya” terucap begitu tegas, menancap di hati Rumi. Ia menghela napas, tapi matanya tetap tak berani menatap Julian.
Mama Liora yang sejak tadi duduk di sofa, ikut bicara dengan nada lebih lembut. “Rumi, dengar kata Julian. Makanlah, Rum. Walau sedikit. Kamu butuh tenaga. Jangan biarkan badanmu makin drop.”
Rumi menggigit bibir bawahnya. Hidangan itu tampak lezat, uap sup krim bahkan menebarkan aroma gurih yang memikat. Namun rasa mual bercampur penat membuatnya tak bergairah.
Julian menarik napas pelan, seolah menahan kesal. Tanpa berkata lagi, ia mengambil sendok, mencedok sup krim jagung hangat, lalu mengangkatnya ke arah Rumi. “Buka mulutmu.”
Rumi menoleh cepat, matanya membulat. “Apa …?”
“Sup ini hangat. Baik untuk lambungmu. Buka mulutmu, Rumi.” Suara Julian dingin, tak memberi ruang untuk perdebatan.
Mama Liora sampai tertegun sejenak, tapi senyum tipis tersungging di bibirnya melihat pemandangan itu.
Wajah Rumi memanas. Ia gelagapan, menatap sendok yang sudah begitu dekat. “Pak … jangan bercanda. Saya bisa makan sendiri.”
“Kalau bisa, sudah dari tadi kamu makan,” balas Julian dingin. Ia masih menunggu, tangannya tidak bergerak sedikit pun.
Rumi akhirnya gemetar, buru-buru meraih sendok itu dari tangan Julian. “Saya bisa sendiri, Pak. Jangan … jangan begini. Nanti ... ada yang salah paham.” Suaranya serak, nyaris seperti bisikan.
Julian menatapnya beberapa detik, lalu menyerahkan sendok tanpa perlawanan. “Baiklah.”
Namun di matanya, ada sesuatu yang sulit ditebak—entah kesabaran, entah keteguhan.
Rumi menunduk lagi, lalu perlahan menyuapkan sesendok sup ke mulutnya. Rasanya lembut, gurih, menenangkan tenggorokan. Ia hanya mengambil beberapa suap, lalu meletakkan sendok kembali. Nafsu makannya memang belum kembali, tapi setidaknya ia berusaha.
Dari sofa, Mama Liora tersenyum lega. “Nah, begitu. Sedikit demi sedikit, Rum. Yang penting ada tenaga.”
Julian hanya mendengus ringan, lalu tanpa basa-basi mengambil piring lain dan mulai menyendok nasi ke mulutnya sendiri. Ia duduk santai di tepi ranjang, seolah makan siang bersama dalam situasi itu adalah hal lumrah.
Rumi tertegun, menoleh sekilas. “Pak Julian … makan di sini?”
“Kenapa tidak?” jawab Julian singkat. Ia melanjutkan makannya tanpa terganggu, gerakannya tetap anggun meski sederhana.
Sementara itu, Aulia yang duduk di sofa seberang, wajahnya sudah memerah karena kesal. Tatapannya menusuk ke arah Rumi yang terlihat “diperhatikan” begitu istimewa. Giginya bergemeletuk, jemarinya meremas bantal sofa.
Dalam hati ia mengumpat. “Kenapa sih Kak Julian bisa sebegitu lembutnya sama dia? Padahal dia cuma ibu susu, bukan siapa-siapa!”
Ia lalu menegakkan tubuh, mencoba tersenyum manis. “Kak, aku juga belum makan. Boleh nggak aku coba makanannya?”
Julian menoleh sekilas, matanya datar. “Minta sama Derry. Ada makanan tambahan di troli.”
“Mah, sekalian makan, aku udah pesanan makanan buat Mama,” lanjut kata Julian.
Aulia tercekat. Senyumnya kaku, lalu dengan canggung ia berdiri menuju troli. Kotak makanan tambahan memang ada, tapi jelas berbeda dengan porsi yang Julian taruh di meja Rumi. Hidangannya lebih sederhana, tanpa sup hangat dan salad segar.
Mama Liora meliriknya sambil menahan tawa kecil, jelas melihat wajah cemberut Aulia. Ia memilih diam, membiarkan gadis itu menanggung rasa kesalnya sendiri.
Rumi masih menunduk, mencoba menghabiskan beberapa suap nasi meski sulit. Sesekali ia melirik Kenzo, memastikan bayi itu tetap tidur nyenyak. Sesekali pula ia tanpa sadar mencuri pandang ke arah Julian, yang makan dengan tenang di sisinya. Setiap kali tatapan mereka nyaris bertemu, Rumi buru-buru mengalihkan pandangan.
Suasana ruangan hening, hanya suara sendok garpu dan desis pendingin udara. Namun bagi Rumi, jantungnya berdetak kencang tak beraturan. Bukan karena jatuh cinta, tapi karena ada rasa sungkan dan tidak nyaman dengan Julian.
Aulia, yang sudah duduk lagi sambil mengunyah makanan tambahan dengan wajah masam, tak tahan melihat kebersamaan itu. Ia mencoba lagi menarik perhatian Julian. “Kak Julian, nggak ke kantor? Memangnya nggak ada meeting. Lagian kalau terlalu lama di sini, kan repot.”
Julian tetap tenang. “Derry yang akan mengurus. Aku cukup di sini.”
Jawaban singkat itu seperti tamparan. Aulia terdiam, wajahnya makin kelam.
Mama Liora pura-pura menunduk, tapi matanya berbinar geli melihat bagaimana Julian sama sekali tidak tergoyahkan oleh usaha Aulia. Dalam hati ia bahkan berbisik, Rupanya darah keturunan papa-nya memang begini. Kalau sudah fokus sama satu hal, yang lain tak terlihat.
Rumi sendiri merasa makin canggung. Perhatian Julian, meski ditunjukkan dengan cara dingin, justru membuatnya sulit bernapas. Ada rasa syukur, ada pula rasa takut—takut dianggap menyalahi batas, takut Tisya tiba-tiba bangun dan melihat semuanya.
Ia akhirnya meletakkan sendok, menutup piringnya dengan napkin. “Sudah cukup, Pak. Terima kasih.”
Julian berhenti makan, menoleh, tatapannya menusuk dalam. “Hanya segitu?”
“Ya … saya sudah kenyang.”
Julian menghela napas, lalu meletakkan garpunya. “Baik. Tapi nanti malam kamu harus makan lagi. Saya tidak mau mendengar alasan apa pun.”
Nada suaranya datar, tapi jelas mengandung perintah yang tak bisa dibantah.
Rumi hanya mengangguk kecil, tak berani membantah lebih jauh.
Di sudut sofa, Aulia mengepalkan tangan di bawah meja, bertekad mencari cara lain. Ia tak bisa membiarkan wanita itu terus mendapat perhatian Julian. “Harus ada sesuatu … sesuatu yang bisa bikin Kak Julian sadar kalau dia terlalu memanjakan orang asing itu!”
Bersambung ... 💔
tapi Kenzo juga bayi kandungnya Julian...? gimana ceritanta masi misteri...
Bagaimana Rumi terpaksa harus menikah disaat kuliah yg sudah sedikit lagi skripsi.. karena hamil...dan siapa sebenarnya yang menghamili...
Lalu Tisya.. apakah benar wanita yang sangat disayangi dan dicintai Julian?? knp dengan ipar dan mertuanya?
Jadi ibu susunya Kenzo aja dah luar biasa mana nyusu langsung lg... walaupun sebenarnya itu anak kandungnya Rumi sih...tp kan kondisinya skrg tidak asa yg tau
ataw tau ttg baby Kenzo?? 🤔🤔