Kirana Azzahra, dokter yang baru saja lulus program internship, menerima penempatan program Nusantara Bakti di pelosok Sumatera Barat. Ia ditugaskan di Puskesmas Talago Kapur, sebuah wilayah yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa, dikelilingi hutan, perbukitan kapur, dan masyarakat adat yang masih sangat kuat mempertahankan tradisinya.
Kirana datang dengan semangat tinggi, ingin mengabdikan ilmu dan idealismenya. Tapi semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Ia harus menghadapi fasilitas kesehatan yang minim, pasien yang lebih percaya dukun, hingga rekan kerja pria yang sinis dan menganggap Kirana hanya "anak kota yang sok tahu".
Sampai suatu waktu, ia merasa penasaran dengan gedung tua peninggalan Belanda di belakang Puskesmas. Bersama dr. Raka Ardiansyah, Kepala Puskesmas yang dingin dan tegas, Kirana memulai petualangan mencari jejak seorang bidan Belanda; Anna Elisabeth Van Wijk yang menghilang puluhan tahun lalu.
Dapatkah Kirana dan Raka memecahkan misteri ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MATAHARI DARI BARAT
Langit sore Talago Kapur membara jingga ketika Kirana berjalan keluar dari gua dengan langkah lemah. Di tangannya, kalung manik itu terasa lebih berat dari biasanya. Bukan karena berat kalung itu yang makin bertambah… tapi karena makna yang mulai terbuka lapis demi lapis.
Sesampainya di rumah, Kirana langsung mencuci wajah dan duduk di depan cermin kecilnya. Wajahnya sendiri tampak asing —garis-garis kelelahan, lingkaran hitam di bawah mata dan pandangan mata yang sayu.
Ia memejamkan mata. Bukan karena rasa kantuk yang datang. Ia seperti “dihisap” — oleh getaran kalung yang tiba-tiba bersinar pelan. Dan dalam hitungan detik, dunia di sekelilingnya berubah.
Ia berdiri di tengah padang terbuka. Rumput menguning di bawah cahaya matahari keemasan. Di kejauhan, deretan pasukan berkuda dengan tombak panjang berbaris rapi, mengenakan baju perang dari logam yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Ribuan tentara dengan baju zirah dari besi tampak berbaris rapi. Di depan mereka, berdiri seorang pria tinggi tegap berambut gelap keperakan, memakai mantel panjang ungu keemasan. Di lehernya terdapat liontin matahari — serupa dengan yang ada pada kalung Kirana.
Suara terngiang di udara:
“Inilah dia, Raja yang memiliki dua tanduk!”
“ISKANDAR ZULKARNAIN, cucu dari darah agung matahari, yang menaklukkan timur dan barat bukan hanya dengan pedang, tapi atas kehendak yang maha kuasa...!”
Kirana ingin bicara, tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Namun Kirana di tempat itu bukan lah dirinya— ia sedang melihat dari dalam jiwa Anna, yang entah bagaimana berada pada masa itu. Di sebuah tempat yang jauh...
Kemudian peristiwa berganti
Kirana melihat bagaimana Zulkarnain berdiri di depan sebuah peta di atas meja besar setinggi pinggang. Peta yang dibentuk dari tanah liat, menggambarkan wilayah kekuasaan nya.
Zulkarnaian, membagi wilayah kekuasaannya kepada anak-anak angkatnya, dan salah satu di antaranya — seorang wanita muda bermata hitam pekat — dikirim jauh ke timur, menyusuri laut dan hutan… ke sebuah tanah tinggi...
“Bawalah Cahaya Matahari ke timur, di mana bumi belum tahu nama, tapi langit sudah menulis nasib.”
“Jagalah rahim bumi, sampai waktu membalik ke asal.”
Dan saat Kirana menatap perempuan itu — ia melihat wajahnya sendiri.
Kirana terbangun dengan keringat dingin. Kalung di lehernya berdenyut pelan, seperti jantung kedua.
Raka baru kembali dari perjalanan dinas ke ibukota Kabupaten, melakukan serah terima kendaraan dinas, mobil Puskesmas Keliling yang cocok untuk wilayah kerja nya yang belum memiliki jalan aspal.
Saat itulah ia mendengar suara-suara dari rumah dinas Kirana. Raka mengetuk pintu dan langsung membukanya dengan wajah cemas. “Kirana, kamu kenapa? Saya mendengar kamu berteriak.”
Kirana seperti terhempas kembali ke masa kini. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya.
Kirana menatap Raka dengan napasnya yang masih memburu. “Aku... aku melihat, sesuatu." Kirana tercekat. Mengingat kilasan-kilasan penampakan yang baru saja dialami nya.
"Apa yang kamu lihat?" Raka penasaran.
"Sepertinya... Iskandar Zulkarnain.”
Raka mengerutkan dahi. “Iskandar...? Maksudmu—?”
Kirana terdiam. Ia seorang dokter. Punya logika berpikir yang sudah terasah. Meski Raka sudah pernah menemani Kirana ke Gua dan melihat sendiri bagaimana kondisi Kirana saat itu, ia yakin Raka tidak akan mudah percaya.
Raka yang melihat kebingungan Kirana mengambil air dari teko lalu menyodorkan gelas kepada Kirana.
"Minumlah!"
Kirana menerima air itu lalu duduk di kursi dan meneguk air putih itu hingga tenggorokan nya terasa segar.
Kirana membuka ponselnya lalu mengetik asal usul minangkabau.
Tentu saja muncul hasil pencarian seperti yang ia duga dan alami tadi. Iskandar Zulkarnain. Salah satu tokoh besar. Dan dalam tambo adat minangkabau mengatakan bahwa iskandar zulkarnain adalah nenek moyang masyarakat Minangkabau.
“Zulkarnain." Kirana menyodorkan ponsel nya ke arah Raka. "Dia memberiku... kunci. Bukan secara harfiah, tapi simbolis. Dan ada perempuan... keturunan Iskandar, yang dikirim ke timur. Ke tanah ini. Dia pendiri garis perempuan... Minangkabau.”
Raka terdiam. Membaca artikel yang disodorkan Kirana. Sekarang ini tidak lagi tentang Anna Van Wijk. Ini sudah melebar. Melebar ke asal-usul suku nenek moyang nya.
Raka ingat lagu dan cerita nenek nya tentang 'gunuang marapi sagadang talua itiak' (gunung Merapi sebesar telur bebek). Cerita tentang nenek moyang yang berlayar hingga dataran tinggi di Sumatera Barat yang saat itu tertutup lautan.
Terlalu banyak hal yang sudah terjadi, terlalu banyak kebetulan yang tak bisa lagi disebut “kebetulan.”
Kirana memegang dadanya. “Aku rasa… aku salah satu dari garis itu, Pak Raka. Kalung ini mengenaliku. Anna terseret karena ia menyentuh garis keturunan itu tanpa warisan darah. Tapi aku... aku bagian darinya.”
Raka duduk perlahan. Ia masih mencerna cerita-cerita Kirana yang tak masuk akal. “Lalu... apa yang harus kita lakukan? kita harus ke mana untuk mencari kebenaran itu sekarang?”
Kirana menatap Raka. Mencari apakah ucapan pria itu hanya semacam empati, atau Raka benar-benar mempercayainya. “Aku pikir, kita harus mencari ke tempat semuanya dimulai. Ke pusat silsilah. Ke naskah asli yang belum dibakar oleh waktu.”
“Ke Batusangkar. Ke Istana Pagaruyung.”
***
Disclaimer: Kisah Kirana dan Raka ini murni fantasi ya gaes. Meski menyinggung tentang salah satu hipotesis tentang asal-usul Minangkabau. Tidak ada kaitan dengan tempat asli dan sejarah asli. Hope u enjoy this story guys!