NovelToon NovelToon
INGRID: Crisantemo Blu

INGRID: Crisantemo Blu

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:560
Nilai: 5
Nama Author: I. D. R. Wardan

INGRID: Crisantemo Blu💙

Di balik nama Constanzo, Ingrid menyimpan luka dan rahasia yang bahkan dirinya tak sepenuhnya pahami. Dikhianati, dibenci, dan hampir dilenyapkan, ia datang ke jantung kegelapan-bukan untuk bertahan, tapi untuk menghancurkan. Namun, di dunia yang penuh bayangan, siapa yang benar-benar kawan, dan siapa yang hanya menunggu saat yang tepat untuk menusuk dari bayang-bayang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I. D. R. Wardan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4 Ombrello Funebre Nero

"Stai attento, amore."

Ingrid dan siswa laki-laki itu bertatapan untuk beberapa saat, sebelum akhirnya laki-laki itu melewatinya dan berjalan pergi. Sebelum benar-benar jauh Ingrid berteriak pada laki-laki itu.

"Apa kita pernah bertemu?!"

Lelaki itu tak menjawab dan terus berjalan menjauh hingga akhirnya menghilang di tikungan lorong.

...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...

"Hei, kau sudah kembali. Kenapa lama sekali?"

"Ya, obrolan panjang."

"Baiklah, aku paham. Tidak akan bertanya lebih jauh."

Ingrid tersenyum tipis singkat. "Di mana mereka?"

"Entahlah, beberapa saat kau pergi merekapun pergi," jawab Elsa acuh.

"Oh, begitu. Elsa, kau mengenal seorang siswa bermata biru?"

"Ada beberapa orang bermata biru di sini, termasuk Constanzo bersaudara dan dirimu, sebutkan ciri-cirinya lebih spesifik."

"Ada sesuatu seperti tato di tengkuknya."

Elsa yang tengah menyedot minuman seketika terhenti, dia melihat kearah Ingrid dengan mata melotot. "Kenapa kau bertanya tentangnya?"

Ingrid sedikit tercengang karena perubahan raut wajah dan nada suara Elsa secara mendadak. "Aku tadi tak sengaja bertabrakan dengannya."

"Bencana," Elsa menghembuskan nafas lelah, "tidakkah cukup kau bersinggungan dengan Marcello? sekarang kau juga bersinggungan dengan saudara kembarnya, yang jauh lebih buruk darinya." Elsa kembali menghembuskan nafas lelahnya.

"Tunggu, apa? Saudara kembar?"

"Ya. Merekalah yang kumaksud dengan Constanzo bersaudara."

"Tapi mereka tidak mirip sama sekali."

"Apa kembar itu harus mirip? Tidak bukan? Mereka memang kembar. Tapi memang aneh, mereka tidak pernah nampak bersama, bahkan cenderung seperti orang yang tak saling mengenal."

"Kau pikir itu aneh?" tanya Ingrid.

"Ya."

"Sudah, ayo kita berliling. Aku sudah lelah mendengar rengekan wanita di sebelah meja kita."

Ingrid dan Elsa memilih berjalan-jalan di sekitar taman sekolah seraya berbincang-bincang ringan setelah tur sekolah singkat yang di berikan Elsa.

"...dan sepertinya minggu depan akan diadakan pesta untuk penyambutan murid baru."

"Apa itu semacam tradisi di sekolah ini?"

"Ya, setiap tahun, tidak pernah terlewatkan. Itu adalah acara paling di tunggu-tunggu semua orang. Semua orang akan bersenang-senang pada malam itu, guru-guru, para murid, semua orang berpesta," jelas Elsa dengan bersemangat.

"Melihatmu seperti ini, sepertinya sangat menyenangkan."

"Tentu saja, kita tidak boleh melewatkannya."

"Entahlah, aku tidak suka pesta, di sana terlalu ramai."

"Aku akan memastikan kau datang nona Ingrid. Oh ya, di mana kau tinggal? tadi kau mengatakan baru saja pindah kemari."

"Aku tinggal di rumah Navarro. Ibunya adalah kakak dari Ayahku," terang Ingrid.

"Lalu orang tuamu?"

"Ayahku ... Sudah meninggal."

"Maaf aku tidak tahu, aku turut berduka untuk ayahmu. Lalu ... Ibumu?"

"Tidak penting, " Ingrid tersenyum, "ayo ke air mancur itu! Aku ingin melihatnya," ajak Ingrid.

Elsa terlihat penasaran, tapi urung bertanya lebih jauh.

"Aku dengar jika menepuk air di kolam ini sebanyak sembilan kali lalu mengutarakan permintaan, permintaan itu akan jadi kenyataan," beber Elsa pada Ingrid begitu mereka berada di dekat kolam air mancur.

"Kau pernah mencobanya?"

"Tidak pernah, aku tidak percaya," jawab Elsa acuh tak acuh.

"Tidak ada salahnya mencoba, bukan?" Ingrid menepuk sembilan kali permukaan air kolam itu, kemudian menutup matanya lalu mengucapkan keinginannya di dalam benaknya.

'Aku ingin bertemu dengannya.'

Elsa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menunggu teman barunya ini menyatakan keinginan sia-sianya. "Sudah selesai?"

Ingrid terkekeh. "Ya, kau tidak ingin mencoba?"

"Tidak, terima kasih. Aku tidak percaya pada takhayul seperti ini." Elsa memutar matanya. "Ngomong-ngomong apa yang kau minta?"

"Rahasia umum jika tidak boleh memberi tahu apa permintaan yang kita buat."

"Ya, ya baiklah. oh, Bel sudah berbunyi kita harus kembali ke kelas."

"Ya."

Ingrid dan Elsa pun pergi dari tempatnya beranjak untuk menuju ke kelas mereka, karena bel tanda waktu istirahat telah usai sudah berbunyi. Saat mereka sudah berjalan cukup jauh laki-laki yang menabrak Ingrid sebelumnya menghampiri tempat di mana Ingrid berdiri tadi, kemudian menepuk air sembilan kali sama seperti yang Ingrid lakukan, lalu menutup mata mengucapkan permintaannya.

"Amore." Laki-laki itu tersenyum miring sambil terus melihat Ingrid yang semakin menjauh dari jangkauan penglihatannya.

...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...

Suasana kelas begitu tenang. Hampir semua murid fokus pada penjelasan guru di depan kelas.

Ingrid melirik ke samping, ke arah Marcello—teman sebangkunya. Sejak istirahat tadi, dia jadi lebih dingin dari sebelumya. Padahal sebelumnya, Marcello masih mau menatapnya, bahkan tersenyum. Ada apa dengannya?

Tak terasa waktu berlalu. bel pulang sekolah berbunyi, disambut sorakan para murid yang bergegas meninggalkan kelas.

Begitupun Marcello yang melangkah pergi. Namun, Ingrid menghentikannya. "Hei, Marcello tunggu!"

Marcello menghentikan langkahnya tanpa berkata apapun. "Apa kau memiliki masalah denganku? Kenapa kau seperti sangat menjaga jarak denganku?"

"Aku menjaga jarak dengan semua orang," jawab Marcello tanpa berbalik kemudian kembali berjalan pergi.

...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...

"Hei! kau menunggu siapa?" tanya Elsa.

"Aku sedang menunggu Navarro," jelas Ingrid dan Elsa pun menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

"Itu supirku sudah datang, kalau begitu aku pergi lebih dulu, sampai jumpa." Elsa berjalan pergi melambai-lambai tangannya.

"Sampai jumpa." Ingrid tersenyum dan membalas lambaiannya.

Ingrid tidak percaya, dia dapat memiliki teman dalam waktu sesingkat ini. Dulu dia dan keluarganya selalu hidup berpindah-pindah, tidak pernah menetap di suatu tempat dalam jangka waktu yang lama, jadi ia sangat kesulitan untuk mendapatkan teman. Karena harus selalu beradaptasi dengan tempat dan orang baru, saat mulai dekat, dia harus pindah. Sebelum benar-benar menetap di San Lumeo, dia selalu sendiri, bahkan saat kedua kembarannya masih ada bersamanya. Saat menetap dia memiliki satu teman, satu sahabat, Dario.

Navarro datang bersama mobil miliknya, Ingrid masuk ke dalam mobil itu. "Kenapa kita harus memakai mobilmu yang sempit ini? Seharusnya bawa mobil biasa saja yang lebih nyaman," keluh Ingrid pada Navarro.

"Bukannya tadi kau yang meminta agar kita membawa mobil ini, sekarang kau malah mengeluh. Aku sudah memperingatkan, kau tidak akan terlalu suka jika menaiki mobil ini."

"Iya, ini salah ku, tidak perlu kau jabarkan seperti itu juga. Lain kali bawa mobil biasa saja." Navarro terkekeh mendengar Ingrid jera menaiki mobilnya.

Beberapa saat hening karena Navarro yang fokus menyetir dan Ingrid yang menikmati semilir angin dari jendela yang terbuka. Ingrid merasa takut dan gelisah saat di tempat sempit dan tertutup. Contohnya, seperti di dalam mobil, itu sebabnya ia selalu membuka kaca jendela mobil meskipun hanya sedikit.

"ASTAGA NAVARRO!!" mendadak Ingrid berteriak yang spontan mengejutkan Navarro.

"Ada apa?" tanya Navarro yang masih berusaha mengemudikan mobilnya dengan benar.

"PONSELKU TERTINGGAL DI SEKOLAH!!" seru Ingrid tanpa menurunkan nada bicaranya karena panik.

"Oke, oke tenanglah, adik kecil. Kita akan memutar balik. Astaga kasihan sekali telinga ku ini." Navarro mengusap-usap telinganya.

Ingrid meringis. "Maaf."

...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...

Beberapa saat kemudian mobil mereka sampai di depan gerbang sekolah.

"Biar aku yang mengambilnya, kau tunggu di sini saja," ucap Ingrid.

"Kau yakin, biar aku saja yang mengambil ponselmu, kau bilang saja di mana kau menaruhnya," tawar Navarro.

"Tidak perlu, biar aku saja, aku juga sudah hafal jalan menuju kelas." Ingrid membuka pintu mobil dan berlari memasuki kawasan sekolah.

...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...

"Huh~syukurlah masih ada di laciku, jika hilang aku tidak akan bisa menghubunginya," lega Ingrid.

Ingrid berjalan dengan tenang untuk segera keluar dari gedung sekolahnya. Langkahnya terhenti karena mendengar alunan piano yang berasal dari salah satu ruangan.

Ingrid menelan ludah takut. "Tidak mungkin ada hantu, bukan?" tanyanya pada diri sendiri. Tolonglah ia sangat pada hal-hal berbau mistis seperti ini. Ingrid sangat ingin berlari keluar secepatnya. Tapi, dikarenakan rasa penasarannya, Ingrid justru melangkahkan kedua kakinya ke sumber alunan piano yang indah itu.

Ingrid berdiri di depan pintu ruang musik yang sedikit terbuka. Piano mengalun, mengisi  keheningan sekolah.

Di dalam, seorang laki-laki berjaket kulit hitam duduk membelakanginya, jemarinya bergerak lincah di atas tuts piano. Ingrid menahan nafas.

'Dia ... '

Musik mendadak berhenti.

"Kenapa berdiri di sana? Kemarilah, amore." Suara laki-laki itu terdengar dalam, menggema di ruangan sepi. Ingrid menegang.

'Dia bicara tentangku? amore?' batin Ingrid

Seakan membaca pikirannya, lelaki itu terkekeh pelan. "Aku selalu tau saat kau di dekatku, Ingrid."

'Dia tahu namaku?'

"Sudahlah, kemarilah," katanya lagi, nada suaranya begitu yakin, seolah yakin Ingrid tak akan menolak.

Tanpa sadar, kaki Ingrid melangkah mendekatinya.

Laki-laki itu menyuruh Ingrid agar duduk di kursi yang tepat berada di sebelahnya. Ingrid tak mungkin menurut pada laki-laki di depannya ini. Dia lebih dahulu melihat dengan seksama wajah laki-laki yang sedang bermain piano tersebut.

"Aku ingat sekarang, Kau ... Kau yang memayungiku di pemakaman ayahku saat itu, aku yakin itu dirimu."

...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...

Suasana begitu memilukan di sebuah area pemakaman. Seorang gadis menangis tersedu-sedu sendirian seraya menyandarkan kepalanya pada sebuah batu nisan yang masih tampak sangat baru.

"Ayah, jangan tinggalkan aku ... Ayah sudah berjanji," bisik Ingrid. benar-benar menyayat hati bagi orang yang mendengarnya.

"Ayo bangun Ayah, aku masih membutuhkan Ayah, Ayah ... Ayah ... Ayah ..."

Langit pun sepertinya merasakan kesedihan mendalam yang dirasakan Ingrid hingga ia mulai menjatuhkan satu-persatu bulir airnya. Ingrid tak perduli, ia masih ingin dekat dengan Ayahnya, ia tetap duduk dengan kepala bersandar pada batu nisan.

Mata Ingrid tampak sayu, bengkak memerah, kantung mata hitam, jejak air mata tampak jelas tercetak wajahnya, rambutnya juga sangat berantakan tak beraturan.

Hujan turun membasahi sekujur tubuh Ingrid. Dia hanya diam meratapi nasib baik yang tak berpihak kepadanya. Langkah kaki terdengar mendekat, tetes air hujan perlahan menghujani. Ingrid menegakkan kepalanya lalu melihat ke sampingnya, di situ berdiri seorang laki-laki yang tak dikenalnya berpakaian serba hitam, termasuk payung yang di pegangnya untuk memayungi laki-laki itu sendiri beserta dirinya.

"Anggap saja aku tidak ada."

Mendengar itu Ingrid tak memikirkan apapun lagi, ia hanya menangis dan menangis terus-menerus selama setengah jam di bawah hujan. Ketika hujan telah usai, laki-laki itu pergi meninggalkan Ingrid tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ingrid melirik kepergian laki-laki itu, ia melihat tato di tengkuknya berbentuk seperti gabungan antara zodiak Taurus dan Cancer yang bersatu.

...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...

"Itu benar, bukan? Itu dirimu."

Laki-laki itu menghentikan pergerakan tangannya menekan Tuts piano, kemudian berdiri dan memandang Ingrid dengan senyuman miring. Ingrid gentar karena itu, apalagi saat laki-laki itu berjalan perlahan mendekati dirinya.

"Mau apa kau? Menjauh dariku!" Ingrid melangkah mundur seiring mendekatnya laki-laki itu.

Ingrid terhenti tak bisa melangkah mundur lagi karena ada sebuah lemari di belakangnya, sementara laki-laki itu semakin dekat dengannya. Laki-laki itu sekarang berada tepat di depan Ingrid, hanya jarak satu jari telunjuk saja yang memisahkan mereka. Ingrid ingin sekali mendorong laki-laki itu kemudian berlari. Tapi, entah kenapa tubuhnya tak bisa bekerjasama.

"Aku senang kau mengingatku, Amore." Laki-laki itu mengambil helaian rambut hitam Ingrid kemudian menghirup wanginya dengan mata terpejam.

Melihat itu Ingrid segera menarik rambutnya dari genggaman laki-laki itu. "Kau—"

1
minato
Terhibur banget!
I. D. R. Wardan: makasih udah mampir, semoga gak bosan ya🥹💙
total 1 replies
Yuno
Keren banget thor, aku jadi ngerasa jadi bagian dari ceritanya.
I. D. R. Wardan: Makasih ya🥹
total 1 replies
Yoh Asakura
Menggugah perasaan
I. D. R. Wardan: Makasih ya🥹 author jadi makin semangat nulisnya 💙
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!