NovelToon NovelToon
The Legend Of The Shadow Eater

The Legend Of The Shadow Eater

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / TKP / Hantu
Popularitas:560
Nilai: 5
Nama Author: Senara Rain

Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

12

Masa kini...

Kini, di hadapannya, terbaring seorang gadis lain di atas dipan reyot rumah Pak Merta. Wajahnya pucat, lehernya berlumur darah segar yang dibalut ramuan daun. Namun bagi Yash, itu bukan sekadar wajah Lira—melainkan wajah yang sama, senyum yang sama, bahkan napasnya yang sekarat sama persis.

Arum.

Jari-jarinya gemetar saat menggenggam tangan dingin itu. Setiap helaan napas Lira seolah menyalin kembali malam terkutuk ratusan tahun lalu. “Tidak lagi… jangan kau tinggalkan aku lagi,” bisik Yash, suaranya parau, hampir serak.

Air matanya jatuh di punggung tangan Lira. Bagi orang lain, ini hanya gadis manusia yang terluka. Namun bagi Yash—ini adalah kesempatan kedua yang tak pernah ia bayangkan akan datang. Kesempatan… yang sama sekali tak boleh ia biarkan hilang lagi.

...

Sore itu, cahaya lembut matahari merembes lewat celah dinding bambu, menorehkan garis-garis tipis di wajah pucat Lira. Kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka. Pandangannya buram sesaat, tapi napasnya mulai teratur.

Di sisi dipan, Yash yang semalaman tidak beranjak mencondongkan tubuh. Bahunya tegang, mata yang lelah langsung berbinar lega.

“...Kau sudah sadar,” ucapnya pelan, seolah takut kata-katanya akan mengganggu.

Lira mencoba mengangkat tubuh, tapi lengannya gemetar dan ia kembali jatuh di atas bantal tipis. Bibirnya bergerak lirih.

“Aku… masih hidup.”

“Iya,” jawab Yash singkat, suaranya serak menahan emosi.

Sejenak hening. Hanya derit bambu yang ditimpa angin. Lira mengerjap beberapa kali, lalu menoleh, wajahnya menyisakan kebingungan.

“Kai… mana?”

Pertanyaan itu membuat Yash kaku seketika. Jemarinya yang tadi menggenggam lutut kini mengepal erat, buku-buku jarinya memutih. Ia tidak menjawab.

Lira menatapnya lebih dalam, kerutan muncul di keningnya.

“Kai. Temanku yang di dermaga kemarin… di mana dia?” suaranya terdengar memaksa, meski rapuh.

Yash menunduk. Tenggorokannya bergerak menelan kata-kata yang sulit ia keluarkan.

“Dia… sudah mati.”

Udara di ruangan seolah membeku. Lira menatap Yash tanpa berkedip, pupil matanya melebar. Napasnya tercekat, dadanya naik turun cepat.

“Apa maksudmu…?”

Yash menarik napas panjang, namun tetap tak sanggup menatap mata Lira.

“Kai tertelan oleh bayangan itu,” suaranya rendah, berat, “Aku… aku menyerapnya, agar bisa menyelamatkanmu.”

Lira membeku. Kedua tangannya perlahan terangkat, lalu menutup mulutnya sendiri. Bahunya bergetar. “Tidak…” ujarnya parau. “Kau bohong. Kai tidak mungkin mati. Tidak mungkin!”

Yash akhirnya menegakkan wajahnya. Matanya merah, penuh luka, tapi suaranya tegas.

“Maafkan aku… aku tidak punya pilihan lain. Jika tidak, kau pun sudah tiada, Lira.”

Air mata mengalir deras di pipi Lira. Ia menggeleng keras, tubuhnya bergetar hebat.

“Tidak! Kau tidak berhak menentukan siapa yang harus hidup dan siapa yang mati!” serunya, suaranya pecah di ujung.

Tangannya memukul dada sendiri, seakan ingin merobek rasa sakit yang menyesakkan. Tubuhnya meringkuk, bahunya terguncang dalam isakan.

Yash hanya duduk membeku, tatapannya terkunci pada sosok gadis yang menangis karena dirinya. Jemarinya terulur, ingin menyentuh bahu Lira, namun terhenti di udara. Tangan itu akhirnya jatuh kembali ke pahanya, gemetar, penuh keputusasaan.

Air mata terus mengalir di wajah Lira, matanya merah membara. Ia mendongak, menatap lurus ke arah Yash dengan tatapan yang menusuk seperti bilah tajam. Suaranya pecah, penuh getir yang tak tertahan.

"Kau memang monster! Tak peduli berapa kali pun kau menyelamatkanku… kau tetap monster, Yash!”

Kata-kata itu menghantam Yash lebih keras daripada luka fisik manapun. Tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Jemari yang sempat terulur padanya kini terhenti, lalu mengepal pelan di sisi.

Tatapan Yash kosong sejenak, seolah kata-kata Lira merobek lapisan terakhir yang ia pertahankan. Bibirnya bergerak, tapi suaranya hampir tak terdengar.

“Jika itu… yang kau lihat dariku…”

Ia menunduk, bayangan wajahnya jatuh dalam cahaya samar senja. Rahangnya mengeras, namun matanya bergetar, menahan sesuatu yang dalam.

“…maka kau benar. Aku adalah monster.”

Lira terisak semakin keras, wajahnya terkubur di kedua telapak tangan. Pundaknya berguncang tak terkendali. Ruangan terasa sesak, seakan udara enggan mengalir.

Yash duduk diam, tubuhnya membeku di tempat. Hanya tatapan kosongnya yang tertuju pada Lira—tatapan penuh cinta yang tersisa, bercampur dengan luka tak tertanggungkan.

Dalam hati, ia ingin berkata “Aku tidak ingin kehilanganmu lagi, Lira… Arum…” tapi lidahnya kelu. Yang tersisa hanyalah keheningan panjang, dipenuhi isak tangis Lira dan kesunyian pahit Yash.

Lira beranjak dari dipan, tubuhnya masih lemah, tapi langkahnya penuh amarah. Papan bambu berderit setiap kali kakinya menginjak. Tanpa menoleh, ia meraih daun pintu dan menariknya kasar.

“Lira!” suara Yash parau, penuh cemas. Ia segera bangkit dan menyusul, tangannya terulur menahan bahu gadis itu. “Kau mau ke mana?”

Lira menoleh sekilas, wajahnya pucat tapi matanya menyala dingin. “Bukan urusanmu.”

“Jangan keras kepala,” desis Yash, menahan napasnya. “Kau tak bisa pergi sendiri. Makhluk halus di sini mengincarmu.”

Lira memukul tangan Yash agar terlepas, langkahnya mantap keluar teras rumah bambu. “Justru karena itu aku mau pulang!”

“Aku antar.” Suara Yash tegas, tak memberi ruang bantahan.

Lira berhenti, tubuhnya bergetar menahan emosi. Ia berbalik cepat, tatapannya tajam menusuk. “Stop! Jangan ikuti aku!”

Namun Yash sudah lebih dulu maju dan mencengkeram lengannya erat, seakan tak ingin melepas lagi. Jemarinya menekan kuat, hampir menyakitkan. “Jangan ceroboh,” bisiknya rendah, matanya berkilat. “Aku antar kamu.”

Lira mendekat, langkahnya menantang, hingga wajah mereka hanya terpisah sejengkal. Suaranya pecah, tapi tajam bagai belati.

“Jangan mengaturku, pembunuh.”

Kata itu jatuh begitu berat. Nafas Yash tercekat. Tatapannya goyah, pupil matanya bergetar. Rahangnya mengeras, menahan gejolak antara marah, sakit hati, dan rasa bersalah.

Tangan yang mencengkeram lengan Lira perlahan melemah, tapi ia belum juga melepaskannya. “Aku…” suaranya nyaris tak terdengar, “…tidak pernah ingin kau melihatku begitu.”

Lira menepis tangannya kasar hingga benar-benar terlepas, lalu melangkah cepat menuruni tangga bambu rumah Pak Merta. Langkahnya gontai, tapi penuh tekad.

Yash hanya berdiri di ambang pintu, dadanya naik turun, matanya tak lepas dari punggung Lira yang menjauh. Antara ingin menyusul—dan takut kehilangan lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!