Tujuh dunia kuno berdiri di atas fondasi Dao, dipenuhi para kultivator, dewa, iblis, dan hewan spiritual yang saling berebut supremasi. Di puncak kekacauan itu, sebuah takdir lahir—pewaris Dao Es Surgawi yang diyakini mampu menaklukkan malapetaka dan bahkan membekukan surga.
Xuanyan, pemuda yang tampak tenang, menyimpan garis darah misterius yang membuat seluruh klan agung dan sekte tertua menaruh mata padanya. Ia adalah pewaris sejati Dao Es Surgawi—sebuah kekuatan yang tidak hanya membekukan segala sesuatu, tetapi juga mampu menundukkan malapetaka surgawi yang bahkan ditakuti para dewa.
Namun, jalan menuju puncak bukan sekadar kekuatan. Tujuh dunia menyimpan rahasia, persekongkolan, dan perang tak berkesudahan. Untuk menjadi Penguasa 7 Dunia, Xuanyan harus menguasai Dao-nya, menantang para penguasa lama, dan menghadapi malapetaka yang bisa menghancurkan keberadaan seluruh dunia.
Apakah Dao Es Surgawi benar-benar anugerah… atau justru kutukan yang menuntunnya pada kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Di tengah badai es yang meluluhlantakkan langit, Xuanyan menggertakkan giginya.
Tubuhnya seakan dicabik-cabik dari dalam, bukan oleh pedang atau tombak, melainkan oleh dingin yang menusuk hingga ke sumsum tulang. Setiap tetes darah yang mengalir dari pori-porinya langsung membeku, meninggalkan bercak es tipis di permukaan kulitnya.
“Urghhh—!”
Batuk darah berwarna merah gelap segera mewarnai salju di sekitarnya, lalu membeku menjadi kristal merah yang retak dan pecah. Qi di dalam tubuhnya memberontak tanpa kendali, mengamuk bagai naga buas yang terlepas dari rantai.
Dao Es Surgawi… tidak… terkendali!
Xuanyan menutup matanya, mencoba menahan ledakan Qi itu. Namun seiring dengan pusaran badai, Dao-nya semakin liar, seakan langit sendiri menolak keberadaannya.
Di dalam pikirannya muncul bayangan masa lampau—Xuan Zhi’er, yang pernah melewati badai es ini. Tapi dia tidak sendirian. Dia memiliki bimbingan seorang guru yang membantunya menahan rasa sakit, memberi jalan keluar.
Sementara Xuanyan… hanya berdiri seorang diri.
Sendiri melawan langit.
Sendiri menanggung siksa yang bisa meremukkan jiwa.
Dia tersenyum getir, darah mengalir dari sudut bibirnya.
“Sialan… ternyata ini… lebih menyakitkan dari yang kubayangkan. Sulit… terlalu sulit… dilakukan seorang diri…”
Matanya terarah ke kejauhan, menembus badai. Ia melihat cahaya samar—dua pilar formasi yang dipancarkan oleh Grand Elder Qingshan dan Beihai. Cahaya itu bergetar, menahan badai agar tidak menyebar ke seluruh sekte.
“Hah… kalau bukan karena mereka… Sekte Azure Cloud pasti sudah lenyap tertelan badai ini…” Xuanyan bergumam lirih.
Tangannya bergetar. Perlahan, jemarinya mulai tertutup lapisan es, membekukan sendi-sendinya. Ia menatap kedua tangannya yang membiru, tubuhnya nyaris tak mampu bergerak.
“Urghhh… Jalan Dao Es Surgawi… tidak semudah kelihatannya…”
Namun ia tahu, menyerah berarti mati. Dengan sisa kekuatan, Xuanyan mengangkat tubuhnya, berdiri di tengah pusaran salju. Lalu, ia menarik napas panjang, menstabilkan Qi yang memberontak.
Tangan kanannya perlahan terangkat, lalu tubuhnya bergerak membentuk pola kuno.
Gerakan pertama Dao Es Surgawi—
Langit Beku.
BOOM!
Langit bergetar.
Badai semakin bergejolak, merespons gerakan itu. Qi di tubuh Xuanyan melonjak liar, memaksanya untuk menanggung tekanan berlipat.
Tubuhnya kaku, gerakannya melambat. Retakan muncul di kulitnya, seperti porselen yang retak. Dari retakan itu, cahaya biru menyembur, menyilaukan sekaligus menyakitkan.
“Arghhhhhh!”
Jeritannya menembus badai, mengguncang hati setiap orang yang mendengarnya.
Di luar pusaran badai, murid-murid sekte hanya bisa menatap dengan ngeri.
“Itu suara Xuanyan…”
“Apakah dia… akan hancur?”
Namun tak seorang pun bisa bergerak mendekat. Mereka hanya berlutut, memanjatkan doa lirih, berharap Xuanyan bisa selamat.
Di dalam badai, Xuanyan merasakan tubuhnya semakin rapuh. Retakan semakin banyak, bercahaya biru hingga ke wajahnya. Dari mata dan mulutnya mulai mengalir cahaya yang menyilaukan, seakan tubuhnya hendak meledak dari dalam.
“Apakah… aku akan hancur di sini?” pikir Xuanyan.
Rasa iri menusuk dadanya.
“Sial… aku iri pada Xuan Zhi’er. Dia bisa melewati ini dengan mudah… karena ada guru yang membimbingnya…”
Namun tiba-tiba, kesadarannya terhentak.
Ia menggertakkan gigi, matanya terbuka lebar, dipenuhi api perlawanan.
“Tidak… SIALAN! Aku bukan Xuan Zhi’er! Berhenti membandingkan dirimu sendiri, Xuanyan!”
Tangannya yang retak diangkat tinggi, menantang langit yang bergejolak.
“Aku… akan berhasil melalui ini! Dengan atau tanpa bantuan siapa pun!”
Teriakannya mengguncang badai, suaranya bercampur dengan deru angin.
“Aku akan melampaui Xuan Zhi’er!”
Cahaya biru yang keluar dari retakan tubuhnya semakin membara, membuat sosoknya tampak seperti patung es bercahaya.
Dan tepat ketika tekad itu membakar hatinya—Ingatan seseorang masuk.
Di sebuah masa lampau yang jauh, dunia berbeda dari pusaran badai yang kejam.
Xuan Zhi’er berjalan menuruni jalur berbatu, menuju sebuah air terjun yang memancarkan cahaya biru pucat. Suasana damai, angin sejuk berhembus, bunga persik berguguran di sekitarnya.
Di samping air terjun itu, duduk seorang wanita dengan rambut panjang berwarna hitam kebiruan. Ia bermeditasi dengan tenang di bawah pohon persik yang sedang mekar.
Melihat sosok itu, wajah Xuan Zhi’er berbinar. Senyumnya tulus. Ia berlari kecil, lalu berlutut dengan hormat.
“Murid memberi hormat pada Guru.”
Wanita itu perlahan membuka mata. Tatapannya lembut, bagaikan samudera tanpa dasar. Senyum tipis terukir di wajahnya.
“Zhi’er… kau sepertinya kembali naik dengan pesat lagi, ya?”
Xuan Zhi’er tersenyum canggung, tangannya menggaruk tengkuk.
“Ah… aku hanya baru mencapai ranah Great Emperor lapisan kelima. Sebenarnya murid ini agak malu dengan pencapaian ini. Jika saja aku berusaha lebih keras—”
Pak!
Sebuah sentilan mendarat di dahinya, membuatnya meringis kesakitan.
“Au! Guru~!”
Gurunya menatap dengan sedikit kesal, namun penuh kasih.
“Bukankah sudah kukatakan jangan terlalu memaksakan dirimu? Kau harus menyayangi tubuhmu sendiri. Semuanya butuh proses dan kesabaran. Kalau kau tergesa-gesa, pada akhirnya hanya akan merugikanmu.”
Xuan Zhi’er terkekeh kecil, wajahnya memerah.
“Iya, iya… murid ini salah. Murid minta maaf, Guru.”
Senyum lembut muncul di wajah gurunya. Ia menatap Xuan Zhi’er dengan mata penuh kebanggaan.
“Pencapaianmu ini bahkan sudah melampaui para jenius lain seumuranmu. Jadi, katakan padaku… sudah berapa gerakan Dao Es Surgawi yang bisa kau kuasai?”
Xuan Zhi’er menegakkan badan, matanya berbinar.
“Aku sudah sampai di gerakan keenam, Guru.”
Mata gurunya melebar tipis, lalu senyuman bangga muncul di wajahnya.
“Enam gerakan… luar biasa. Kau benar-benar murid yang membuat guru ini bangga.”
Xuan Zhi’er menunduk dengan wajah bersemu merah. Namun segera ia menatap gurunya dengan penuh tekad.
“Guru… aku akan menjadi sosok yang kuat. Agar aku bisa terus berada di sisimu selamanya.”
Kata-kata itu membuat gurunya terdiam sejenak. Ada rasa sayu yang melintas di matanya, seolah ada beban tersembunyi yang tak bisa ia ungkapkan. Namun melihat semangat menyala di mata muridnya, ia memilih untuk tersenyum lembut.
“Kalau begitu… kau harus terus bekerja keras. Guru akan menunggumu.”
Mata Xuan Zhi’er berbinar terang, hatinya dipenuhi kebahagiaan.
“Guru janji akan menungguku?”
Senyum lembut itu semakin dalam.
“Iya… guru janji.”
Xuan Zhi’er tertawa senang, lalu seolah teringat sesuatu.
“Oh iya! Aku punya sesuatu untukmu, Guru.”
“Hm?” Gurunya sedikit tertegun. “Apa itu?”
Dengan senyum malu-malu, Xuan Zhi’er mengeluarkan sebuah jepit rambut dengan ukiran bunga persik. Tangannya bergetar saat menyerahkan benda itu.
“Hehe… aku membuatnya sendiri. Aku harap guru menyukainya. Walau… agak jelek sih.”
Pak!
Sentilan lain mendarat di dahinya.
“Auuhh~!”
Wajah gurunya terlihat sedikit kesal.
“Jadi kau tidak fokus latihan karena membuat ini?”
Xuan Zhi’er mematung, matanya berkedip cepat.
“Itu… anu… maaf, Guru…”
Namun tawa lembut terdengar. Gurunya menerima jepit rambut itu, menatapnya lama.
“Ini… sangat indah. Terima kasih, Zhi’er.”
Mata Xuan Zhi’er berbinar, wajahnya berseri-seri.
Melihat gurunya memakai jepit itu, hatinya terasa penuh, seakan dunia menjadi sempurna hanya karena senyuman wanita itu.