NovelToon NovelToon
Lahir Kembali Di Medan Perang

Lahir Kembali Di Medan Perang

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Balas Dendam / Time Travel / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Penyelamat
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: zhar

Seorang pria modern yang gugur dalam kecelakaan misterius terbangun kembali di tubuh seorang prajurit muda pada zaman perang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4

“Musuh datang!” teriak seorang prajurit dari ujung parit.

Surya tersentak kaget. Di kepalanya masih terngiang suara Okta atau entah siapa seperti gema asing dari masa lain: “Angkat senjatamu, jangan biarkan komandan menangkapmu lagi!”

Ia mendongak, dan benar saja, sang komandan di parit menatapnya tajam. Sorot matanya seperti ingin menusuk, seolah menunggu Surya berbuat salah.

Surya merasa terjepit. Untuk sesaat, ia yakin bahwa selain Belanda, orang yang paling menginginkan dirinya mati justru instruktur itu sendiri.

Dengan tangan bergetar, Surya meraih senapannya. Ia mengangkat kepala perlahan, mengintip ke balik kepulan asap mesiu. Dari jauh, bayangan musuh mulai terlihat. Satu dua sosok, lalu semakin banyak, berbaris melebar membentuk dinding manusia.

“Tenang!” suara komandan menggelegar. “Dengar perintah! Jangan tembak sebelum komando! Pengecut saja yang jari-jarinya gemetar!”

Kalimat itu jelas diarahkan pada Surya. Seolah-olah komandan sengaja menantangnya.

Namun Surya tak peduli. Dalam situasi seperti ini, siapa yang masih sempat mengurusi harga diri? Yang penting hanyalah bertahan hidup.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berpacu liar. Lalu pikirannya mulai menganalisis:

Medan di depan parit terbuka lebar. Secara teori, posisi itu menguntungkan untuk bertahan. Musuh akan sulit mendekat tanpa jadi sasaran tembak. Seharusnya, ini lokasi pertahanan yang ideal.

Tetapi teori hanyalah teori.

Faktanya, persenjataan Belanda jauh lebih modern: mortir, senapan mesin ringan, hingga dukungan pesawat pembom. Sementara pasukan Republik hanyalah laskar rakyat, prajurit muda yang baru belajar menembak.

Surya menelan ludah. Ingatannya tentang sejarah ikut berbisik ini bukan pertempuran yang seimbang. Sama seperti cerita-cerita perang yang ia baca dulu, di mana pasukan kecil rakyat harus menghadapi kekuatan kolonial yang jauh lebih terlatih.

Dan ia sadar pertempuran ini, di atas kertas, adalah pertarungan yang sudah kalah sejak awal.

Anehnya, pemikiran itu membuat Surya sedikit lega. Kalau takdirnya memang sudah seperti itu, mungkin ia tak perlu terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri.

Tetapi Surya tidak berani bersantai sedikit pun, karena ia tahu bersantai berarti mati.

“Api!” teriak komandan.

Dentuman senapan langsung memekakkan telinga. Surya terkejut musuh masih sekitar enam ratus meter dari parit mereka.

Namun rupanya itulah maksudnya. Jika jarak optimal tembakan sekitar lima ratus meter, maka menembak lebih awal memberi waktu lebih banyak untuk menekan lawan sebelum mereka semakin dekat.

Peluru pertama Surya melesat entah ke mana. Ia melihat satu sosok jatuh di kejauhan, tapi tak yakin itu hasil bidikannya atau bukan. Peluru berikutnya sama saja asap mesiu terlalu pekat, jarak terlalu jauh.

Tapi itu tidak penting. Yang utama sekarang adalah hujan tembakan. Maka ia menembak lagi dan lagi, kadang tanpa sempat membidik dengan benar, hanya demi menjaga tekanan.

Di kiri kanannya, prajurit lain melakukan hal yang sama. Suara karaben, sten gun rampasan, dan senapan mesin berat buatan sisa Jepang bercampur menjadi badai mematikan. Tembakan membabi buta itu membuat barisan Belanda goyah.

Lebih penting lagi, para penembak mesin sudah diingatkan: begitu ada tanda mortir dipasang, hujani posisi itu sampai musuh tiarap. Akibatnya, beberapa kali percobaan artileri ringan Belanda gagal total.

Untuk sementara waktu, pasukan Belanda tertahan sekitar lima ratus meter dari parit. Satu demi satu prajurit KNIL dan marsose jatuh di tanah lapang, darah mereka membasahi rerumputan.

“Komandan!” salah satu opsir Belanda berteriak dari kejauhan. “Asap terlalu tebal! Sinyal ke udara tidak jelas pesawat tidak bisa membidik sasaran!”

Wajah sang kapten mengeras. Bom-bom minyak yang mereka jatuhkan sebelumnya memang membakar gedung pertahanan, tapi ternyata asapnya justru menutup pandangan udara.

“Coba kepung dari kiri!” saran seorang letnan.

Sang kapten menggeleng. “Tidak. Mereka sudah menanam ranjau di sana. Kita tidak tahu berapa yang masih aktif.”

“Lalu bagaimana, Kapten?”

Pria itu terdiam sejenak, lalu menjawab dingin, “Mundur. Kita tunggu saja.”

“Menunggu?” Letnannya heran.

“Ya. Kita punya waktu. Mereka tidak.”

Dan benar saja Belanda bisa menunggu. Mereka punya persenjataan, suplai, dan dukungan udara. Sedangkan pasukan Republik di parit hanyalah laskar rakyat, tanpa logistik jelas, tanpa bala bantuan pasti.

Bagi Belanda, ini hanya soal waktu.

Bagi Surya, yang berjongkok di parit sambil menahan napas, waktu itu terasa seperti pedang bermata dua: memberi kesempatan untuk tetap hidup hari ini, tetapi juga mengingatkan bahwa kematian bisa datang kapan saja.

1
RUD
terima kasih kak sudah membaca, Jiwanya Bima raganya surya...
Bagaskara Manjer Kawuryan
jadi bingung karena kadang bima kadang surya
Nani Kurniasih
ngopi dulu Thor biar crazy up.
Nani Kurniasih
mudah mudahan crazy up ya
Nani Kurniasih
ya iya atuh, Surya adalah bima dari masa depan gitu loh
Nani Kurniasih
bacanya sampe deg degan
ITADORI YUJI
oii thor up nya jgm.cumam.1 doang ya thor 3 bab kekkk biar bacamya tmbah seru gt thor ok gasssss
RUD: terima kasih kak sudah membaca....kontrak belum turun /Sob/
total 1 replies
Cha Sumuk
bagus ceritanya...
ADYER 07
uppppp thorr 🔥☕
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!