Series #1
•••Lanjutan dari novel TAWANAN PRIA PSIKOPAT (Season 1 & 2)•••
Universidad Autonoma de Madrid (UAM) menjadi tempat di mana kehidupan Maula seketika berubah drastis. Ia datang ke Spanyol untuk pendidikan namun takdir justru membawa dirinya pada hubungan rumit yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Rayden Salvatore, terus berjuang untuk menjaga gadis kecilnya itu dari semua yang membahayakan. Sayangnya dia selalu kecolongan sehingga Rayden tidak diizinkan oleh ayah Maula untuk mendekati anaknya lagi.
Maula bertahan dengan dirinya, sedangkan Rayden berjuang demi cintanya. Apa keduanya mampu untuk bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 : Kali Pertama
...•••Selamat Membaca•••...
“Kami tak datang mengetuk. Kami datang membakar.” — R. S.
Tiga minggu setelah insiden di Castell de Bellver, kota berikutnya adalah Belgrad, Serbia.
Rayden dan Maula berdiri di depan sebuah bangunan tua bergaya Bizantium—Stari Dvor, istana tua yang kini digunakan sebagai kediaman pribadi Dragomir Kosović, pemimpin baru mafia Balkan. Dikenal sebagai The Collector, pria ini tak hanya memperdagangkan manusia, tapi juga menyimpan artefak gelap dan data kompromi dari tokoh-tokoh dunia.
Maula dan Rayden berhasil menghabisi Valerio dengan beberapa tikaman pisau sampai tubuh Valerio hancur tak berbentuk. Berita itu cukup menggemparkan dunia bawah, bahkan sampai ke telinga Archer dan Isabella.
Archer yang sudah mengetahui cara kerja Rayden, cukup bingung dan selalu bertanya, “kenapa dia kembali ke dunia bawah?”
Misi pengambilan kekuasaan berlanjut, “Masuk ke sana bukan sekadar menyusup,” bisik Maula. “Kita sedang masuk ke perut dewa kuno.”
Rayden menarik napas. “Dewa atau tidak, semua bisa berdarah.”
“Hati-hati.”
Penyusupan dilakukan saat malam gala tahunan—Dragomir merayakan keberhasilan transaksi organ gelap. Tamu-tamunya adalah para pengusaha, jenderal bayangan, dan pembunuh berjas Armani.
Rayden menyamar sebagai investor senjata dari Argentina. Maula sebagai pendamping diplomatik Swiss, mengenakan gaun beludru biru tua yang menyembunyikan senapan lipat dan pisau kecil di pahanya.
Di dalam istana, Maula menyusup ke ruang data melalui terowongan samping yang dijaga drone. Ia menonaktifkan sistemnya dengan sinyal gangguan yang disembunyikan dalam gelang safir. Di ruang data, ia menemukan rekaman percakapan antara Dragomir dan Valerio tentang, “pengiriman besar dari Jakarta—manusia dengan DNA dimodifikasi.”
Sementara itu, Rayden menghadiri jamuan utama. Dragomir duduk di singgasananya, tinggi besar, berjenggot kelabu seperti panglima perang. Tatapannya tajam, dan ia tahu siapa tamu sebenarnya.
“Victory Dragonvich,” gumamnya dalam bahasa Serbia. “Dulu aku pikir kau legenda. Tapi kau ternyata hanya pria lain yang bisa mati.”
Rayden tersenyum. “Bedanya, aku memilih kapan sedangkan memilih bagaimana. Benarkan.”
Lima penjaga segera mengepung. Tapi Rayden bergerak duluan—melempar sendok perak ke leher penjaga kiri, menendang meja makan ke arah dua lainnya, lalu melompat ke belakang tirai emas sambil meledakkan granat kilat dari sakunya.
Sementara itu, Maula sudah memulai pemusnahan data. Tapi sistem keamanan aktif ulang.
“Tiga menit,” gumamnya. “Atau kita mati dalam gemerlap arsitektur Serbia.”
Mendengar hal itu, Rayden segera menghabisi semuanya tanpa sisa walau dia banyak mendapatkan luka dari berbagai serangan.
Dragomir memilih untuk bersembunyi dari kejaran Rayden.
Rayden muncul di ruang data, membawa luka di pelipis tapi masih berdiri. Mereka saling berpandangan yang tak butuh kata.
Maula menyalakan pemicu pembakar server.
“Selamat tinggal, rahasia dunia,” bisiknya.
“Ayo!” Rayden menarik Maula, gadis itu terkilir saat sepatunya membuat dirinya tak nyaman.
“Aduh sakit,” keluh Maula ketika hendak berdiri. Rayden menggendong gadis itu dan membawa sepatu hal tinggi miliknya.
Rayden berjalan cepat melewati koridor utama, dikejar pasukan pribadi Dragomir. Rayden sempat menjatuhkan pilar marmer untuk menghalangi jalan, sementara Maula menembakkan peluru api ke tangga utama. Masih dalam gendongan Rayden.
Saat keluar dari istana, langit Belgrad terbakar—api menyembur dari jendela, seperti ritual purifikasi.
Rayden dan Maula memilih tempat yang aman terlebih dahulu, istana itu terbakar habis bersama dengan Dragomir yang ikut menjadi abu.
Di atap gedung tua seberang istana, mereka menyaksikan kobaran dari kejauhan. Nafas mereka berat, debu dan peluh bercampur, darah mengering di dahi Rayden.
Maula menyentuh wajahnya. “Kau butuh jahitan.”
Rayden menggenggam tangan Maula. “Yang kubutuhkan cuma kamu, kakimu pasti akan bengkak nanti.”
“Kau kan ada untuk memijatku,” gurau Maula yang dibalas kecupan singkat di pelipis Maula.
Dinginnya malam membuat tubuh Maula sedikit meriang, dia terus meringis saat Rayden memijat kakinya perlahan.
Selesai dengan semua itu, mereka bersandar di tembok sambil menatap kobaran api di istana. Napas Rayden maupun Maula menderu kencang, Rayden menatap kekasihnya itu dalam diam dan perlahan mendekatkan wajahnya ke pipi Maula.
Dan untuk pertama kalinya, mereka mencium satu sama lain bukan karena keterpaksaan misi. Tapi karena mereka tahu setelah malam itu, segalanya berubah.
“Untuk menjadi seorang raja, kita butuh penaklukan bukan?” ujar Rayden yang dibalas anggukan oleh Maula.
“Tentu.”
“Hari ini, aku sudah menaklukkan gadis psikopat yang merupakan putri kesayangan dari psikopat senior, Leo Maximillian.” Maula memukul pundak Rayden dan tersenyum.
...***...
Malam di Belgrad tidak pernah benar-benar gelap. Lampu kota memantul di sungai Sava, dan bayangan istana yang terbakar masih terlihat seperti api di ujung dunia.
Di atap gedung tua tempat mereka bersembunyi, angin dingin membelai tubuh mereka yang kelelahan. Rayden duduk bersandar pada dinding bata retak, sementara Maula bersimpuh di hadapannya, merawat luka di pelipis Rayden dengan kain yang dibasahi air minum.
“Apa kau selalu sengaja membuat wajahmu luka?” tanya Maula pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.
Rayden menatapnya dalam. “Tidak. Tapi kurasa aku menyukainya, karena kamu yang mengobati dan wajahmu begitu dekat denganku.”
Maula tertawa kecil, suara itu seperti suling di tengah reruntuhan. Ia menyentuh wajah Rayden dengan kedua tangannya, jemarinya menyusuri tulang pipi, pelipis, dan rambut Rayden yang basah oleh keringat.
“Aku seketika merasa sedikit takut, Ray?” katanya, kali ini tanpa tawa, hanya kejujuran.
Rayden mengusap pipi gadis itu. “Sudah pernah aku katakan padamu, kalau dunia ini sangat gelap dan penuh darah. Aku tidak pernah takut kegelapan karena aku terlahir di sana.”
“Tapi aku takut, hanya sedikit karena aku buta di dalam gelap.” Rayden tertawa kecil lalu memegang dagu gadisnya dengan gemas.
“Aku bisa menuntunmu di dalam gelap sampai kau aktif lagi menjadi cahaya.”
Maula tak menjawab. Ia hanya mendekat, perlahan, dan menyandarkan dahinya ke dahi Rayden.
Hening. Nafas mereka bertaut. Dunia di luar mereka gemuruh dan hancur, tapi di antara jeda napas itu, mereka menciptakan ruang sendiri yaitu rapuh, tapi utuh.
Jari Rayden menyentuh bibir Maula, lembut, lalu turun menyentuh bekas luka di rahangnya.
“Aku takut kehilanganmu,” kata Maula akhirnya.
Rayden membalas sentuhan itu, menggenggam wajah Maula seolah mencoba mengingat semua garisnya. “Lalu jangan lepaskan aku.”
“Tidak akan pernah, untuk apa aku melangkah sejauh ini kalau hanya untuk melepaskanmu.”
“Yakin bisa menggenggam aku?” Maula menatap tajam Rayden.
“Kalau kau lepas, aku pastikan aset berhargamu itu tidak akan pernah dinikmati oleh wanita mana pun.” Rayden tertawa lepas, tidak menyangka kalau gadis itu berpikiran terlalu jauh.
“Oh ya? Dari mana kau belajar? Dan sejak kapan?”
“Sejak aku bergabung dalam misi ini dan dari mafia yang pernah kita habisi.”
Ia menarik Maula ke dalam pelukannya. Tubuh mereka melekat, erat, tapi bukan karena nafsu, melainkan perlindungan. Maula menyembunyikan wajahnya di leher Rayden. Ia menangis diam-diam karena cukup takut kehilangan dan Rayden membiarkannya.
Hujan turun pelan. Atap beton tempat mereka berdua bersembunyi mulai dingin, tapi tak satu pun dari mereka bergerak. Maula masih bersandar di dada Rayden, mendengarkan detak jantungnya yang mulai tenang. Setiap denting hujan yang jatuh seperti menandai waktu yang mereka curi dari dunia.
Rayden membelai rambut Maula perlahan. Ia tidak terburu-buru. Tidak memaksa.
Hanya diam, memberi ruang. Lalu ia berkata lirih, seolah takut kata-katanya akan memecahkan keheningan suci itu.
“Aku pernah membunuh demi bertahan. Tapi malam ini... aku sadar aku bisa hidup demi seseorang juga.”
Maula mengangkat wajahnya perlahan. Matanya basah, bukan karena luka, tapi karena sesuatu yang lebih dalam dari rasa takut.
“Kau... adalah satu-satunya luka yang tidak ingin kusembuhkan,” bisik Maula.
Rayden tersenyum kecil, senyuman yang hanya ia simpan untuk Maula. Lalu ia menyentuh pipi gadis itu dengan punggung jarinya—sentuhan yang begitu lembut, nyaris seperti permintaan maaf.
“Jika nanti aku kecolongan lagi dalam melindungimu, tolong maafkan aku tapi aku akan berusaha untuk tetap menjadi perisaimu.”
“Aku memiliki perisai alami, kau tenang saja.”
Maula mencium jemari Rayden. Lalu mencium pelipisnya, seperti menenangkan perang yang berkecamuk di kepala Rayden.
“Aku ingin kamu tahu,” katanya pelan, “kalau suatu hari dunia ini memisahkan kita, aku akan tetap mencarimu. Entah dalam wujud manusia, atau kenangan.”
Rayden menggenggam tangan Maula dan meletakkannya di dada kirinya. “Aku akan selalu menyisakan tempat di sini. Hanya untukmu.”
Angin berhembus lembut, membawa aroma hujan dan darah yang mulai kering.
Maula menyelipkan kakinya ke sela kaki Rayden, kepalanya di bawah dagu Rayden dan satu tangannya menempel di jantung Rayden—seakan tak ingin detak itu hilang.
Dan malam itu berlalu tanpa kata lain. Tapi tak ada malam yang lebih penuh cinta, lebih dalam dari sekadar tubuh, karena mereka saling menyelamatkan.
Hujan membasahi tubuh mereka berdua, sehingga darah yang tadinya kering, luntur perlahan.
Hujan sudah reda, tapi udara masih basah dan berat. Rayden memandang Maula dengan tatapan yang selama ini tersembunyi di balik kerasnya wajahnya yaitu rindu, kekhawatiran, dan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan.
Maula, yang biasanya begitu kuat dan terkendali, kini tampak rapuh. Matanya yang tajam redup oleh kelelahan dan keraguan. Rayden menggerakkan tangan, membelai wajahnya perlahan, seperti ingin mengukir setiap lekuk.
“Aku tak akan membiarkan dunia ini mencabutmu dariku,” gumam Rayden.
Tanpa kata lagi, jarak di antara mereka luntur. Rayden menunduk, bibirnya menekan lembut bibir Maula.
Maula yang baru pertama kali seperti ini cukup kaget dan tersentak kecil, tubuhnya seketika merinding halus.
Perlahan, ciuman itu berubah menjadi api yang membakar ragu dan kesepian mereka selama ini. Maula membalas dengan nafas tertahan, tangan menjalin erat leher Rayden, merasakan detak jantungnya yang liar.
Ciuman itu bukan sekadar hasrat, tapi ledakan emosi yang selama ini mereka tahan. Rasanya pahit dan manis, menyakitkan dan menenangkan sekaligus.
Bibir mereka bergerak serasi, lidah Rayden menyusup mencari kehangatan yang selama ini ia rindukan. Maula tak mundur—dia pun menginginkan api itu, tapi juga takut terbakar.
Maula memberi akses bagi lidah Rayden masuk dalam mulutnya. Ia memejamkan mata dan menikmati sentuhan bibir Rayden di bibirnya.
Saat ciuman itu terpisah, napas terengah, wajah mereka berdekatan, dan mata Maula berkilat basah. “Ini... pertama kalinya aku benar-benar merasa hidup,” katanya lirih.
Rayden tersenyum dan menyentuh hidungnya dengan hidung Maula. “Untuk pertama kalinya, aku punya alasan untuk bertahan.”
Malam itu, ciuman itu bukan hanya tentang dua tubuh yang bertemu, tapi dua jiwa yang menemukan rumah di dalam satu sama lain.
...•••Bersambung•••...
...
...
...----------------...
Hai teman-teman tersayang, tinggalkan komentar biar novel ini semakin maju dan berkembang. Terima kasih 🥰