Pernikahan Briela dan Hadwin bukanlah hubungan yang didasari oleh perasaan cinta—
Sebuah kontrak perjanjian pernikahan terpaksa Briela tanda tangani demi kelangsungan nasib perusahaannya. Briela yang dingin dan ambisius hanya memikirkan keuntungan dari balik pernikahannya. Sedangkan Hadwin berpikir, mungkin saja ini kesempatan baginya untuk bisa bersanding dengan wanita yang sejak dulu menggetarkan hatinya.
Pernikahan yang disangka akan semulus isi kontraknya, ternyata tidak semulus itu. Banyak hal terjadi di dalamnya, mulai dari ketulusan Hadwin yang lambat laun menyentil hati Briela sampai rintangan-rintangan kecil dan besar terjadi silih berganti.
Akankah benar-benar ada cinta dari pernikahan yang dipaksakan? Ataukah semuanya hanya akan tetap menjadi sebuah kontrak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cha Aiyyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERHATIAN KECIL
Hari ketiga setelah pernikahannya, Briela resmi menyandang istri dari seorang Hadwin Lewis. Umumnya pasangan pengantin baru akan mengambil cuti untuk berbulan madu. Namun, hal itu tidak berlaku untuk Hadwin dan Briela. Pernikahannya hanya sebatas kontrak.
Hadwin sejak pagi memperhatikan Briela yang sudah terlihat sibuk seperti dikejar waktu. Hadwin mendekati Briela yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya.
Sejak Briela keluar kamar, Hadwin sudah menawarinya teh dan sandwich. Pria itu duduk di depan televisi yang bahkan tidak menyala, penampilannya sudah paripurna sejak Briela keluar kamar. Briela berlalu melewati Hadwin tanpa menyentuh sandwich dan teh yang Hadwin siapkan.
Hadwin terlihat bingung. Briela kembali memberi jarak di antara mereka. Hadwin pikir hubungannya sudah jauh lebih dekat karena kemarin interaksinya dengan Briela berjalan natural dan normal.
Apa aku melakukan kesalahan? Atau— Briela marah karena kemarin pertanyaan terakhirnya tidak ku jawab.
Hadwin mengerang frustasi.
Briela keluar dari kamarnya, wanita itu membawa tas kerjanya. Ia sudah selesai dengan penampilannya.
"Kau sudah siap? Ayo berangkat bersama!" Hadwin berdiri, membawa serta tas kerjanya menuju rak sepatu. Di mana Briela saat ini sedang memakai sepatu kerjanya.
"Tidak perlu, tujuan kita berlawanan arah," tolak Briela.
"Aku bisa mengantarmu dulu, Brie. Tidak masalah," ucap Hadwin tenang. Pria itu bahkan tidak mempermasalahkan Briela yang tidak menyentuh sarapan yang ia siapkan.
"Lebih baik kita berangkat sendiri-sendiri. Aku akan membawa mobilku."
Hadwin mengesah pelan. "Baiklah." Akhirnya hanya itu yang bisa Hadwin katakan pada Briela.
Pria itu memilih untuk tidak memaksakan kehendaknya. Briela keluar dari pintu apartemen lebih dahulu, disusul Hadwin tidak lama setelahnya. Keduanya turun ke lantai basement menggunakan lift yang sama. Hening— tanpa obrolan.
Begitu sampai di parkiran, Hadwin menghentikan langkah. "Berhati-hatilah saat menyetir!" ucapnya pada Briela.
Briela menatap Hadwin yang berdiri di samping mobilnya, wanita itu mengangguk pelan. Namun tanpa ekspresi.
Keduanya berangkat kerja dengan mengendarai mobil masing-masing. Begitu Briela sampai di kantornya sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya.
"Belilah, sarapan! Tadi, kau tidak memakan sarapanmu." Briela membaca pesan itu lalu mengesah pelan. Wanita itu menyimpan ponselnya tanpa membalasnya.
Sekertaris Briela masuk ke dalam ruangannya, ia menyerahkan dokumen berisi tentang pelunasan hutang dan juga rincian aliran dana baru pada perusahaannya. Meskipun nama pengirimnya disamarkan, Briela tahu betul jika dana tersebut berasal dari Hadwin.
Hadwin lagi-lagi menepati isi dari kontrak pernikahannya. Briela merasa kembali tertampar kenyataan, sebab bantuan yang Hadwin berikan sangat besar. Dan mulai saat itu Briela berjanji akan melakukan yang terbaik untuk perusahaannya, demi menghargai bantuan Hadwin.
Begitu Briela selesai memeriksa dokumen, Stella memberikan sebuah kantung kertas berisi roti lapis dan sebuah kopi latte pada Briela.
"Apa ini?" Briela tampak bingung.
"Suami Anda meminta saya untuk membelikan Anda sarapan. Beliau bilang Anda melewatkan sarapan pagi tadi," ucap wanita kaku yang menjadi sekertarisnya itu.
Briela mengesah pelan, lalu ia mengucapkan terimakasih pada sekertarisnya.
"Bukankah sudah selesai? Mengapa belum kembali ke tempatmu, Stella?"
"Saya harus memastikan Anda memakannya sebelum pergi."
"Ini juga Hadwin yang memintamu melakukannya?" Briela hampir saja marah.
"Tidak, ini adalah inisiatif saya sendiri. Jadi silahkan Anda memakannya."
Briela kembali mengesah, kali ini lebih keras dan kasar. Wanita itu terpaksa menggigit roti lapis yang Stella berikan.
"Aku sudah menghabiskan satengah roti isiku. Kembalilah ke ruanganmu, Stella!"
Stella akhirnya membungkuk dan keluar dari ruangan Briela.
Briela kembali melanjutkan pekerjaannya dengan serius, ia bahkan tidak menyadari jika sudah tiba jam makan siang.
Ponselnya berdering, Briela mengangkat panggilan telepon tanpa melihat nama sang penelepon.
"Hallo, selamat siang," sapa Briela.
"Hm, ini memang siang dan sudah waktunya jam makan siang." Deep voice yang begitu familiar di telinga Briela, membuat wanita itu dengan segera memeriksa siapa sang penelepon.
Nama Hadwin terpampang jelas di layar ponselnya. Briela menepuk jidatnya pelan.
"Ada apa?" tanya Briela dingin.
"Tidak ada— hanya mencoba mengingatkanmu perihal makan siang," ucap Hadwin. "Jangan sampai telat makan!" lanjutnya.
Hadwin menutup teleponnya tanpa menunggu Briela merespon. Sepertinya Hadwin tahu jika Briela tidak akan merespon apapun.
Briela makan siang di kantin perusahaannya, bersama dengan Stella dan beberapa staf lain yang duduk satu meja dengannya. Mereka mengobrol ringan.
Briela tidak terlalu masuk dalam obrolan, ia lebih banyak berperan menjadi pendengar sampai mereka kembali ke ruangan masing-masing.
"Hari ini perkiraan cuaca mengatakan akan turun hujan di sore hari. Setelah bekerja langsung pulang saja, Brie! Nanti aku akan memasak untuk makan malam."
Lagi-lagi Hadwin menjejali Briela dengan perhatian-perhatian kecil sejak pagi.
Briela mengesah pelan. Entah sudah kali ke berapa Briela melakukan hal itu sejak pagi. Wanita itu menyenderkan tubuhnya pada punggung kursinya.
Briela itu memutar kursinya ke kanan dan ke kiri dengan tubuhnya yang masih berada di atasnya. Layaknya anak kecil yang sedang bermain. Pekerjaannya kali ini tidak terlalu banyak jadi ia memiliki waktu untuk itu.
Ramalan cuaca yang Hadwin beritahukan ternyata benar terjadi. Di tengah perjalanan pulang, hujan turun dengan sangat lebat.
Briela sampai di apartemen namun wanita itu tidak melihat sepatu Hadwin di atas rak. Pria itu belum sampai. Briela mengabaikan hal itu, ia bergegas ke kamarnya untuk mandi dan menghilangkan lelah.
Usai mandi wanita itu memilih membaca buku dengan posisi tiduran di atas sofa ruang tamu. Ia melirik jam dinding, sudah pukul lima sore lewat dua puluh menit dan belum ada tanda-tanda kepulangan Hadwin.
Bel apartemen berbunyi beberapa kali dan Briela terkejut mendengar suara itu. Jantungnya berdegup kencang, ia langsung duduk begitu mulai membuka mata. Dan entah sejak pukul berapa Briela tertidur.
Briela membuka pintu apartemen, seorang kurir pengantar makanan berdiri di depan pintu.
"Dengan Nyonya Lewis?" kurir itu mengonfirmasi.
Briela sejenak terdiam, ia mencerna kata-kata kurir itu dan cukup lama ia baru tersadar jika yang kurir maksud memanglah dirinya. Saat ini ia adalah istri Hadwin jadi wajar jika orang akan memanggilnya dengan nama suaminya.
"Ya," ucap Briela.
"Tuan Lewis sudah membayarnya, Anda hanya perlu tanda tangan di sini." Kurir itu menyerahkan sebuah nota serah terima pada Briela untuk ditanda tangani.
Briela membawa masuk makanannya, ia berniat menanyakan hal itu pada Hadwin lewat pesan. Namun, ternyata sebelumnya Hadwin terlihat menghubunginya beberapa kali dan mengirim pesan yang berisi tentang permintaan maafnya karena tidak bisa pulang cepat, juga soal memberitahu Briela bahwa ia memesankan Briela Buffalo Chicken Wings sebagai ganti karena tidak bisa memasak untuk Briela.
Briela mengeluarkan semua makanan yang diantarkan kurir padanya. Nyatanya tidak hanya seperti yang Hadwin jelaskan dalam pesan. Ada pasta dan beberapa Apple pie juga di dalamnya.
Hadwin menelepon lagi, kali ini Briela mengangkatnya.
"Kau sudah menerima makanannya? Makanlah, maaf karena tidak menepati janji. Ada hal mendesak yang mengharuskan ku tinggal lebih lama di kantor."
"Aku sudah menerimanya. Tidak masalah. Selesaikan saja urusnmu!"
"Brie ... " Hadwin menjeda kalimatnya. Briela menunggu.
Ada yang penasaran Hadwin mau ngomong apa nggak?? Yang penasaran komen yuk!
sekertaris keknya beb. ada typo.