Ye Fan, pemuda 15 tahun dari Klan Ye—klan kelas tiga di Kota Pelangi—dikenal sebagai anak ajaib dalam seni pedang. Namun hidupnya hancur ketika klannya diserang oleh puluhan pendekar tingkat ahli yang mengincar pusaka mereka, Pedang Giok Langit.
Seluruh klan terbantai. Hanya Ye Fan yang selamat.
Dengan luka di jiwanya dan kemarahan yang membakar hatinya, ia bersumpah untuk menjadi lebih kuat, merebut kembali Pedang Giok Langit, dan membalaskan dendam Klan Ye yang telah musnah.
Ikuti perjalanan Ye Fan di PENDEKAR PEDANG Halilintar!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Delapan Pusaka Penguasa
Pagi itu, Ye Fan dan Chu Ling melanjutkan perjalanan mereka menuju ibu kota. Cahaya keemasan matahari perlahan mengusir kabut tipis yang menutupi hutan perbatasan.
Suasana hening … namun bukan hening yang kosong. Hening yang menenangkan setelah malam penuh darah dan rahasia.
Kuda Ye Fan berlari stabil, dan Chu Ling duduk di depan, tubuhnya jauh lebih baik setelah ramuan pemulihan bekerja sepanjang malam.
Beberapa saat setelah keheningan itu, Chu Ling tiba-tiba membuka suara—pelan namun dalam.
“Tuan Muda Ye … ada sesuatu yang harus kau tahu. Sesuatu yang mungkin … berhubungan dengan nasib kita berdua.”
Ye Fan menoleh sedikit.
“Katakan.”
Chu Ling menggenggam erat lengan bajunya yang panjang, seolah kalimat itu sulit keluar.
“Anda pernah mendengar … tentang Delapan Pusaka Penguasa?”
Mata Ye Fan sedikit menyipit.
Ia pernah mendengar bisikan tentang itu, namun tidak pernah mendapatkan informasi langsung.
Chu Ling melanjutkan, suaranya bergetar tipis namun penuh tekad:
“Klan Chu … klanku … menyimpan salah satunya. Kitab Naga Air. Itu bukan sekadar kitab teknik. Itu … simbol kekuasaan leluhur kami. Salah satu dari delapan pusaka yang konon dapat mengubah peta kekuasaan seluruh Kekaisaran Tang.”
Ye Fan menahan napas.
Pusaka tingkat itu … sangat jarang muncul di dunia persilatan.
Chu Ling mengepal.
“Aku mendengar rumor … bahwa ada kelompok besar yang berusaha mengumpulkan ke-8 pusaka tersebut. Jika mereka berhasil … seluruh Kekaisaran Tang bisa jatuh ke tangan mereka.”
“Aku tidak pernah percaya … sampai malam klanku dibantai. Sampai mereka mengincar Kitab Naga Air.”
Ye Fan menunduk sedikit, wajahnya tenggelam dalam bayangan rambut hitamnya yang berkibar pelan.
Delapan pusaka … kelompok bayangan … jubah hitam…
Semuanya mulai tersambung.
Chu Ling memandang ke depan, matanya memerah namun tetap kuat.
“Sejak itu aku tahu … jika aku mempercayai orang yang salah, aku bisa menyeret mereka masuk ke kematian. Sebab aku membawa sesuatu … yang bisa membuat satu kota dibakar habis demi mendapatkannya.”
Ada jeda beberapa detik.
Ye Fan mendengarnya tanpa memotong.
Lalu Ye Fan membalas dengan nada yang sangat tenang, namun bergetar halus:
“Kalau begitu … aku adalah salah satu yang mereka cari.”
Chu Ling menoleh kaget.
Ye Fan menatap jauh ke depan, menuju garis tipis tembok besar ibu kota yang mulai tampak di kejauhan.
“Klan Ye … juga memiliki pusaka warisan. Pedang Giok Langit.”
“Dan klanku … juga dibinasakan dalam semalam.”
Dada Chu Ling serasa ditarik.
Ye Fan melanjutkan, suaranya dingin seperti bilah pedang namun menyimpan luka yang sama:
“Jika kitabmu salah satu dari Delapan Pusaka Penguasa…”
“…maka pedang Giok Langit kemungkinan besar juga salah satunya.”
Ia menatap Pedang Fenglei yang tersimpan rapi di cincin ruangnya.
“Dan mungkin … pedang yang memilihku ini juga bagian dari delapan pusaka itu.”
Chu Ling terdiam.
Keduanya mendadak merasa seperti dua titik kecil yang berdiri di atas pusaran badai besar yang baru mulai berputar.
Ye Fan menarik napas panjang.
“Semua ini bukan kebetulan. Kita berada di tengah sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar dendam pribadi.”
Chu Ling menunduk.
“Aku … mengerti. Dan itu sebabnya aku takut untuk berada dekat siapa pun.”
Ye Fan menatapnya, lebih lembut dari sebelumnya.
“Kalau begitu … kau tidak perlu takut padaku.”
Wanita itu terkejut.
Ye Fan melanjutkan, pelan namun mantap:
“Kita membawa beban yang sama. Klan yang dibantai. Pusaka yang diincar. Sosok yang tak diinginkan oleh dunia.”
“Kalau nasib kita sama … maka berjalan bersama bukanlah beban. Itu adalah pilihan.”
Chu Ling tidak menjawab.
Tapi di sudut matanya, ada kilatan yang sebelumnya padam—kilatan seseorang yang baru saja menemukan cahaya dalam gelap.
Beberapa jam kemudian, keduanya akhirnya sampai di depan gerbang besar Kota Mawar Putih—ibu kota Kekaisaran Tang.
Gerbang raksasa setinggi tiga puluh meter berdiri dengan ukiran kuno, dijaga oleh barisan prajurit elit dengan baju zirah putih keperakan. Barisan manusia mengular panjang. Para pedagang, pendekar, bahkan kereta bangsawan menunggu giliran untuk memasuki kota.
Suara pasar, deru kuda, dan teriakan penjaga bercampur menjadi satu—ibukota adalah dunia yang benar-benar berbeda.
Chu Ling menelan ludah.
“Kita … benar-benar sudah sampai.”
Ye Fan mengangguk.
Ekspresinya tenang, tapi matanya … berkilat tajam.
Ia tidak datang untuk menikmati pemandangan.
Ia datang untuk jawaban.
Ketika giliran mereka tiba, kedua penjaga mengulurkan tangan.
“Token identitas.”
Ye Fan memberikan tokennya: token Kota Pelangi, dengan segel resmi.
Chu Ling memberikan token klan Chu, yang sudah retak tapi masih asli.
Prajurit itu memeriksa keduanya, lalu mengangguk dan mempersilakan mereka masuk.
“Selamat datang di Kota Mawar Putih.”
Begitu melewati gerbang … dunia langsung berubah.
Bangunan megah. Jalan batu besar. Pedagang dari seluruh kekaisaran. Pendekar kuat di setiap sudut. Aroma rempah, daging, dan dupa bercampur dalam udara yang sibuk dan penuh kehidupan.
Chu Ling memandang ke sekeliling, matanya berbinar meski masih menyimpan luka.
“Aku harus mencari penginapan. Aku … butuh istirahat dan memikirkan langkahku.”
Ye Fan mengangguk.
“Aku ingin mencari informasi tentang kelompok jubah hitam. Aku tidak bisa membuang waktu.”
Chu Ling menatap Ye Fan dengan tatapan tulus—lebih dalam dari sebelumnya.
“Tuan Muda Ye … terima kasih. Untuk semuanya.”
“Jika suatu hari kita bertemu lagi … aku akan membalas kebaikanmu. Aku bersumpah.”
Ia menunduk hormat—sangat dalam—sebelum berbalik menuju keramaian.
Ye Fan memandang punggung Chu Ling.
Ada rasa familiar … kesepian yang ia kenal dengan baik.
Tapi ia tidak menghentikannya.
Ini adalah kota besar.
Dan mereka berdua punya jalan masing-masing.
Matanya mengeras.
“Delapan Pusaka Penguasa … kelompok rahasia … pembantai Klan Ye…”
“Semua jawabannya … harus aku temukan di sini.”
Ia melangkah masuk ke hiruk pikuk ibukota, aura tenang namun membunuh tersembunyi di balik tatapan tajamnya.