Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
Nama itu masih berputar di kepalanya—Sera. Pangeran Argueda yang telah pergi, yang keberadaannya telah dikubur dalam kenangan. Yang namanya bahkan dilarang disebutkan di hadapannya.
Yuki tidak bisa mencarinya secara langsung. Jika ia meminta buku yang berisi sejarah Argueda atau informasi spesifik tentang Pangeran Sera, Pangeran Riana pasti akan curiga.
Jadi, ia memilih cara yang lebih halus.
Buku ini cukup aman. Isinya luas, membahas banyak negara di dimensi ini tanpa menyoroti satu kerajaan secara khusus. Jika Pangeran Riana bertanya, Yuki bisa dengan mudah berkata bahwa ia hanya ingin memahami dunia yang kini ia tinggali.
Tangannya perlahan membalik halaman, matanya mengikuti deretan huruf, meski pikirannya berkelana ke tempat lain.
Apakah ada sesuatu di dalam buku ini yang bisa membantunya?
Apakah ada jejak yang mengarah padanya?
Yuki menarik napas pelan. Ia tahu, waktunya tidak banyak. Ia harus menemukan jawabannya sebelum Pangeran Riana menyadari apa yang sebenarnya ia cari.
Jari-jarinya tanpa sadar bergerak, menyentuh perutnya.
“Jagalah anak kita.”
Kata-kata pria berambut pirang dalam mimpinya kembali terdengar di kepalanya.
Yuki menggigit bibir, menekan debaran panik di dadanya. Jika benar yang dimaksud pria itu adalah anak yang dikandungnya saat ini… apakah itu berarti—
Tidak. Tidak mungkin.
Pangeran Riana sudah memastikan bahwa anak ini adalah miliknya. Tidak ada keraguan sedikit pun dalam nada suaranya saat dia mengatakannya.
Tapi kenapa mimpi itu terasa begitu nyata?
Yuki menarik napas dalam, menenangkan dirinya. Ia harus mencari tahu lebih banyak tentang Argueda, tentang Pangeran Sera.
Dan tanpa harus menoleh, ia bisa merasakan tatapan yang mengawasinya. Tatapan yang tajam, yang tidak akan pernah benar-benar melepaskannya.
Yuki menyandarkan punggungnya ke bangku taman, matanya sekilas melirik ke arah jendela ruang kerja Pangeran Riana.
Benar saja.
Di balik kaca, bayangan pria itu tampak berdiri, mengawasinya.
Jari-jari Yuki yang sedang membalik halaman buku tiba-tiba terhenti.
Dia menatap dua anak kecil yang kini berdiri di depannya, napas mereka masih tersengal setelah berlarian di taman. Salah satu dari mereka, seorang anak laki-laki dengan mata jernih penuh rasa ingin tahu, menatapnya dengan polos sebelum berkata,
“Putri Yuki…”
Yuki mendongak, lalu tersenyum hangat.
“Kalian mengenalku?” tanyanya lembut.
Kedua anak itu menggeleng serempak, ekspresi mereka lugu dan jujur.
“Aku melihat Putri dari foto-foto di koran,” ujar salah satu anak sambil tersenyum. “Putri sangat cantik, kata ibuku…”
Lalu, tanpa sadar, anak itu melanjutkan dengan nada polos, “Pantas saja Pangeran Sera sangat tergila-gila dengan Putri.”
Dada Yuki terasa sesak dalam sekejap. Seakan dunia di sekelilingnya tiba-tiba menjadi bisu.
Nama itu.
Lagi-lagi nama itu.
Seolah terus mengejarnya, menghantuinya, menyelinap melalui celah-celah kecil yang bahkan Pangeran Riana sekalipun tidak bisa sepenuhnya tutup.
Yuki menelan ludah, mencoba mempertahankan ekspresi tenangnya. Namun, tangannya di atas buku sedikit gemetar.
Sera…
Anak-anak tidak berbohong. Mereka hanya mengulang apa yang mereka dengar dari orang dewasa.
Jadi… apakah nama itu masih dibicarakan? Apakah masih ada orang yang mengingatnya?
Atau… apakah ini pertanda bahwa ia tidak benar-benar hilang?
“Apa?” tanya Yuki, terkejut.
Anak kecil itu mengangguk penuh keyakinan, matanya berbinar polos. “Ya… Kata ibuku, jadilah laki-laki seperti Pangeran Sera. Dia hanya mencintai satu wanita dalam hidupnya, dan itu adalah istrinya. Putri Yuki.”
“Istri?” ulang Yuki tanpa sadar, seolah lidahnya sendiri tak percaya dengan kata yang baru saja ia ucapkan.
Tiba-tiba, sekelebat ingatan melintas di kepalanya.
Yuki melihat dirinya dalam balutan gaun pernikahan yang sangat indah dan mewah. Gaun itu memiliki ekor panjang yang menjuntai, berkilauan di bawah cahaya lilin. Namun, ia ingat betapa ia tidak menyukainya—gaun itu terlalu berat, terlalu membatasi geraknya.
Kemudian, hiasan dekorasi pernikahan kerajaan terpampang jelas dalam ingatannya. Pilar-pilar besar dihiasi kain sutra putih, lampu-lampu kristal menggantung megah, dan para tamu undangan mengenakan pakaian terbaik mereka.
Di tengah suasana sakral itu, Yuki melihat dirinya bertemu dengan Pangeran Riana.
Wajah pria itu penuh amarah. Kata-kata Yuki, yang memintanya pergi dari hidupnya, membuatnya murka.
Tangan Pangeran Riana terangkat—
Tamparan keras mendarat di pipinya.
Dan Yuki hanya berdiri diam, tidak menyesal, tidak takut.
Karena ia akan menikah.
Karena di ujung altar, pria berambut pirang keemasan dan bermata biru laut itu sudah menunggunya.
Pangeran Sera.
Dia berdiri di sana dalam balutan pakaian kerajaan yang anggun, dengan mata yang menatapnya penuh ketenangan dan keyakinan.
Yuki melangkah mendekatinya, berjalan menuju takdir yang telah dipilihnya.
Cincin disematkan di jari manisnya, jemari Pangeran Sera begitu lembut saat menyentuhnya.
Dan kemudian—
Ciuman panjang itu terjadi.
Hangat, dalam, dan penuh janji.
Ciuman yang mengikat mereka dalam ikatan suci.
Ciuman yang menandakan bahwa mereka adalah suami istri.
Anak-anak itu tiba-tiba membelalak, wajah mereka yang sebelumnya penuh rasa ingin tahu berubah menjadi ketakutan.
Mereka menatap sesuatu di belakang Yuki.
Kemudian, tanpa berkata apa-apa, mereka berlari menjauh dengan cepat, kaki-kaki kecil mereka berderap panik di atas jalan berbatu taman.
Yuki tetap berdiri diam di tempatnya. Tatapannya kosong, pikirannya masih berkelana di antara ingatan-ingatan yang baru saja muncul.
Tapi kemudian—
Sebuah kehadiran yang kuat dan mendominasi menyelimuti udara di sekitarnya.
Yuki tidak perlu berbalik untuk mengetahui siapa yang berdiri di belakangnya.
Pangeran Riana.
Keberadaannya begitu nyata, begitu menekan, seolah udara di sekeliling mereka menipis.
Yuki tetap diam. Jari-jarinya secara refleks meremas tepi buku yang masih digenggamnya.
Dia tahu.
Dia tahu bahwa pria itu pasti mendengar semuanya.
“Pangeran Riana…” suaranya lirih, nyaris bergetar. “Katakan padaku, apakah aku pernah menikah sebelumnya?”
Hening.
Angin berembus pelan, menggoyangkan dedaunan di taman yang sepi. Tapi keheningan di antara mereka terasa jauh lebih menyesakkan.
Yuki menelan ludah, menundukkan kepala sebelum akhirnya melanjutkan pertanyaannya.
“Apakah Pangeran Sera adalah suamiku?”
Saat itu juga, hawa di belakangnya berubah drastis.
Udara terasa lebih dingin, lebih menekan.
Dan tanpa perlu melihat pun, Yuki bisa merasakan tatapan tajam Pangeran Riana mengarah padanya.
Yuki berbalik dengan cepat, matanya bertemu dengan tatapan Pangeran Riana.
Awalnya, niatnya jelas—dia ingin mengkonfrontasi pria itu, menuntut jawaban atas kebingungan yang semakin menyesakkan dadanya. Namun, kata-kata itu tertahan di tenggorokannya saat melihat ekspresi Pangeran Riana.
Dingin.
Tak terbaca.
Bukan kemarahan yang terpampang di wajahnya, melainkan sesuatu yang jauh lebih berbahaya—ketenangan yang terasa menekan, seolah perasaannya dikunci rapat tanpa celah.
“Besok,” suara Pangeran Riana terdengar datar, namun ada sesuatu di baliknya yang membuat punggung Yuki meremang. “Jangan lagi berkeliaran sendiri di taman. Banyak serangga yang mengganggu belakangan ini.”
Serangga?
Yuki hampir mengerutkan kening, tetapi sebelum sempat mengatakan apa pun, Pangeran Riana sudah meraih buku di pangkuannya.
“Aku akan membawakan buku-buku yang menarik untukmu,” lanjutnya, mengamati sampul buku itu sejenak sebelum membaliknya di tangannya sendiri. “Yang lebih berguna daripada buku ini, Yuki.”
Seolah-olah dia tahu.
Seolah-olah dia sedang memperingatkan.
Pangeran Riana menutup buku itu dengan tenang, jemarinya melayang di atas sampulnya sejenak sebelum dia menoleh ke arah Yuki. Tatapannya begitu tajam hingga Yuki tanpa sadar menegang di tempatnya.
“Ingat, Yuki,” suaranya terdengar lembut, namun dingin dan penuh peringatan. “Aku tidak suka kau melanggar perintahku.”
Dia melangkah lebih dekat, jemarinya yang kokoh terangkat, menyentuh dagu Yuki dengan sentuhan ringan, tetapi cukup untuk membuatnya mendongak menatap mata gelap Pangeran Riana.
“Tetaplah menjadi gadis yang patuh,” bisiknya, nyaris seperti janji sekaligus ancaman.
Hening menyelimuti mereka, hanya terdengar desir angin yang menerpa daun-daun di taman. Yuki ingin berkata sesuatu, ingin menolak, ingin mencari celah untuk menghindar dari kendali yang perlahan semakin erat membelenggunya.
Tapi, di hadapan tatapan Pangeran Riana, kata-kata itu kembali lenyap.
...****************...
Saat Yuki kembali ke kamarnya, langkahnya terhenti di ambang pintu. Pandangannya langsung tertuju pada tumpukan buku di sudut ruangan.
Semua buku yang sebelumnya ia kumpulkan dari perpustakaan telah lenyap. Tidak ada lagi buku-buku mengenai negeri-negeri di dimensi ini, tidak ada petunjuk yang bisa membawanya lebih dekat pada kebenaran tentang Pangeran Sera.
Sebagai gantinya, tumpukan buku baru kini menghiasi meja itu—novel-novel klasik dengan sampul mewah dan buku-buku medis yang tebal.
Yuki menatapnya dalam diam, perasaan campur aduk memenuhi dadanya.
Ini pasti ulah Pangeran Riana.
Jemarinya mengepal di sisi tubuhnya. Dia tahu Pangeran Riana tidak akan membiarkannya mencari tahu lebih jauh.
Yuki menghela napas, matanya meredup.
Sekali lagi, Pangeran Riana menegaskan bahwa dia adalah satu-satunya yang mengendalikan segalanya.