Gendhis harus merelakan pernikahan mereka berakhir karena menganggap Raka tidak pernah mencintainya. Wanita itu menggugat cerai Raka diam-diam dan pergi begitu saja. Raka yang ditinggalkan oleh Gendhis baru menyadari perasaannya ketika istrinya itu pergi. Dengan berbagai cara dia berusaha agar tidak ada perceraian.
"Cinta kita belum usai, Gendhis. Aku akan mencarimu, ke ujung dunia sekali pun," gumam Raka.
Akankah mereka bersatu kembali?
NB : Baca dengan lompat bab dan memberikan rating di bawah 5 saya block ya. Jangan baca karya saya kalau cuma mau rating kecil. Tulis novel sendiri!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
"Aku menuruti perkataan dokter dengan memeriksakan kondisiku pada dokter kandungan. Terpaku dengan layar monitor yang menampilkan sebuah harapan bagiku. Ketakutan memang menjalar dalam hatiku. Akan tetapi, aku memilih untuk melihatnya ke dalam hal yang lebih positif.
Selama ini, aku tinggal di panti asuhan, tanpa ada yang mengangkatku menjadi anak. Setelah itu, aku berjuang keras untuk menghidupi diriku sendiri hingga pergi ke kota lain untuk mencari rezeki. Aku beruntung bertemu dengan Silvia yang membuatku menjadi pribadi yang tangguh.
Hanya saja, aku mengingat saat di mana Silvia hamil dan melahirkan seorang diri. Itu bukan hal yang mudah, tetapi bukan hal yang tidak mungkin. Tanpa sadar, aku menitikkan air mata.
"Kandungan Ibu masih berusia 6 minggu, untuk lebih jelas tentang kondisinya. Anda dapat memeriksakan kandungan Anda dua minggu lagi. Bila Anda lihat itu adalah kantong rahim dan di dalamnya akan berkembang janin."
Aku mendengarkan perkataan dokter dengan setengah hati, kemudian menghapus air mataku. Teringat akan Raka yang menyukai anak-anak. Aku membayangkan apakah dia akan menyukai kehamilanku bila dia mengetahui bila aku sedang hamil.
Namun, aku segera menggelengkan kepala. Tidak terlintas dibenakku untuk kembali menjalani pernikahan tanpa cinta. Cukup aku saja yang tidak dicintai dengan sepenuh hati. Aku menginginkan anakku memiliki cinta yang tepat dari orang tuanya.
"Terima kasih, Dok. Aku akan kembali lagi dua minggu ke depan. Ehmm... Adakah obat pereda mual?"
Saat ini, aku sedang berkonsultasi dengan dokter di temani Ayu. Beruntung temanku itu memiliki insting yang kuat. Hingga aku memang dapat mengetahui kondisiku dengan cepat.
"Saya akan meresepkan obat pereda mual dan vitamin untuk Anda," ucap sang dokter sambil tersenyum.
Ketika sedang menunggu obat, aku termenung melihat sepasang suami istri. Menghela napas karena terbersit rasa iri yang menyelimuti hatiku. Aku berharap dapat melalui masa kehamilanku dengan baik walau tanpa kehadiran suamiku.
"Aku akan selalu menemanimu, tenang saja , Gendhis. Semua akan berjalan dengan baik.Tetap pertahankan bayi yang kamu kandung, Dhis," ucap Ayu menggenggam tanganku.
"Ya, aku akan mempertahankan bayi ini tentu saja," balasku.
Tidak pernah terbesit dalam pikiranku untuk menggugurkan bayiku. Melalui hal sulit seperti hamil dan melahirkan seorang diri tentu bukan hal mudah. Meskipun, aku pernah melihat sendiri prosesnya saat menemani Silvia. Aku tidak ingin bergantung pada orang lain. Aku yakin kalau aku bisa melewatinya dengan baik.
Tanpa sepengetahuanku, ternyata Fajar menjemput kami. Aku melirik pada Ayu yang tampaknya menginginkan aku dan Pandu melanjutkan kembali kisah yang tak pernah di mulai.
"Seharusnya kamu tidak perlu menghubunginya. Aku tidak ingin merepotkan siapa pun," ucapku pada Ayu.
Wajah Ayu menegang tanda dia tidak enak padaku. Aku berusaha untuk tetap tersenyum. Meskipun aku ingin marah ketika Fajar menjemput kami. Aku duduk di belakang kemudi, terpaksa Ayu duduk di samping Pandu.
"Bagaimana keadaanmu, Gendhis?" tanya Fajar yang terlihat mengkhawatirkan keadaanku.
"Baik, aku akan segera memiliki bayi."
Pandu tampak terkejut karena mungkin tidak menyangka dengan kondisiku saat ini. Jujur saja, aku jadi ragu untuk melayangkan gugatan perceraian pada suamiku. Akan tetapi, aku ingin mengakhiri penderitaan pernikahan ini. Pun dengan status, aku lebih memilih untuk memiliki status yang jelas. Dibandingkan harus seperti ini.
"Boleh kan aku tetap mengajukan proses perceraian walau sedang hamil?" tanyaku pada Fajar.
Fajar mengangguk. "Ya, tentu boleh mengajukan perceraian walau kamu sedang hamil. Keadaan tersebut tidak memengaruhimu. Hanya saja, seperti ucapanku sebelumnya. Kamu harus memiliki alasan yang jelas untuk berpisah. Menurutku, bisa dibilang suamimu itu melakukan KDRT. Bukan KDRT dalam artian sebenarnya. Kamu bisa saja stress dan depresi karena perlakuan suamimu,"jawab Fajar.
Aku terdiam mendengarkan ucapan Fajar. Raka memang tidak pernah menyakiti fisikku. Akan tetapi, aku mungkin bisa mengajukan perceraian karena tidak dipenuhi nafkah batinnya selama dua tahun menikah. Baru ketika aku mengatakan perceraian, pria itu menginginkan diriku.
"Hmmm... Bolehkan dengan alasan bila aku tidak terpenuhi nafkahnya?"
"Lho, apa dia tidak menafkahimu selama ini?" tanya Ayu yang mulai merasa tidak canggung dengan situasi tadi.
Aku menggeleng. "Bukan nafkah lahir, aku tidak diberikan nafkah batin selama dua tahun. Aku..." jawabku ragu.
Aku belum menceritakan tentang masalah rumah tanggaku hingga dalam. Jujur saja, aku takut bila memberitahukan tentang aib suamiku. Pada kenyataannya, Raka memang tidak pernah mengindahkan keberadaanku sebagai istrinya.
"Katakan saja, aku ini pengacaramu. Tidak mungkin aku akan membocorkan rahasia klienku pada orang lain," ucap Fajar dengan tenang seolah mengetahui kegelisahanku.
Aku pun melirik pada Ayu, "Kalau kamu ragu mengatakan di depanku. Kamu bisa mengatakannya nanti saja dengan Fajar."
"Dia batu memberikan nafkah batin setelah aku mengatakan tentang perceraian. Di malam itu juga aku keluar dari rumah," ucapku mengundang reaksi berbeda dari kedua orang di depanku.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca.
Ambisinya bikin otaknya jd gk waras.. mending jd ja* lang aja sekalian..