Buku kedua dari Moonlight After Sunset, bercerita tentang Senja, seorang gadis yang terlilit takdir membingungkan. Untuk mengetahui rahasia takdir yang mengikatnya, Senja harus membuang identitas lamanya sebagai Bulan dan mulai menjalani petualangan baru di hidupnya sebagai putri utama Duke Ari. Dalam series ini, Senja aka Bulan akan berpetualang melawan sihir hitam sembari mencari tahu identitas aslinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riana Syarif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Marah
"Dendam akan membuat mu buta akan mereka yang ada di sisi mu."
****
Kemarahan Senja membuatnya hampir gila, kalau saja bukan karena dinginnya, mungkin saja saat ini Senja sudah membakar habis mereka semua.
Ia kesal saat mengetahui paviliun Permaisuri akan di tempati oleh Selir Reliza. Alasannya sederhana, itu karena ia memang tidak pantas berada di sana. Tempat itu memiliki kenangan indah bagi Senja asli, jadi tidak ada alasan baginya untuk tidak mempertahankannya.
"Pindahkan itu semua ke halaman belakang."
Senja dapat mendengar teriakan Selir Reliza yang sedang memerintahkan bawahannya. Dilihat dari sisi manapun, tindakannya ini jelas salah. Ia memindahkan seluruh barang dan pakaian milik Permaisuri dan berniat untuk membakarnya.
"Hah, membakarnya?"
Senja tersenyum secara internal, Ia tidak bisa berkata lagi saat seluruh barang itu di tumpuk memanjang. Mungkin saja ada beberapa bagian yang pecah atau lecet karena dipindahkan dengan asal.
Mata Senja menyipit dengan tajam saat bara api mulai menggantung di telapak tangan dari masing-masing para bawahan. Ia kesal, tubuhnya mendidih dengan panas yang bahkan bisa menghangatkan makanan dingin.
Giginya menekan satu sama lain dengan bunyi kasar yang saling bergesekan. Tanpa sadar aura dominasi di sekitarnya pun pecah dengan aura merah yang menjalar di telapak tangannya yang mungil.
Dengan satu hentakan saja, ia mampu membakar habis seluruh jari dan tangan para pelayan. Mereka menjerit kesakitan dengan mata yang melotot kaget. Hal yang serupa juga terjadi pada Selir Reliza.
Wajahnya memucat dengan ruam merah di sekitaran pipinya. Matanya melotot dengan tajam saat mengetahui tangan dan gaunnya terbakar dengan cepat. Meski pun itu bisa hentikan dengan bantuan Artefak pertahanan. Namun dampak yang dihasilkan sebelumnya sangatlah parah.
Ia mencoba bertahan untuk tidak berteriak di hadapan bawahannya. Padahal Senja tahu rasa sakit yang dialami Selir Reliza sangatlah kuat, tapi melihatnya bisa bertahan sejauh ini, itu patut di apresiasikan.
"Sikap tenangnya sangatlah bagus, dengan ini ia bisa mempertahankan posisinya di hadapan para bawahannya itu."
Senja tidak berniat untuk berhenti, ia semakin senang jika melihat wajah itu terus berada pada fase pertahanan, karena dengan ini Senja bisa terus mengolok-oloknya.
"Saatnya bermain," gumam Senja nakal saat Selir Reliza sedang mencari dalang di balik ini semua.
Senja lalu tersenyum hangat sambil bertanya mengapa Selir Reliza begitu cepat melakukannya. Jelas saja hal ini membuat Selir Reliza bingung sekaligus kaget.
Ia bahkan tidak bisa menutup mulutnya dengan benar saat melihat senyum hangat Senja. Bukan hanya Selir Reliza, bahkan para bawahannya pun ikut menjadi panik. Sempat Ada emosi liar di wajah mereka, namun itu semua hilang saat energi dominan memaksa mereka untuk tunduk.
"Anak nakal...!"
Selir Reliza berteriak keras saat ia di paksa untuk tunduk di tempatnya. Ditambah lagi wajah tidak bersalah Senja membuatnya semakin gila.
"Siapa itu, siapa yang berani menekan ku?"
Tubuh Selir Reliza tidak bisa lagi menahan tekanan yang ada. Ia merasa pusing sekaligus mual. Perutnya menderu dengan keras dan tubuhnya terasa dingin dan membeku.
"Nona," panggil Eza saat energi dominan nona nya mulai bereaksi keluar dari paviliun Permaisuri. Tapi sayang Senja hanya diam dan tidak memperdulikan panggilan bawahannya itu.
"Nona, tenanglah. Anda hampir kehilangan kendali," bisik Eza sekali lagi sebelum menaiki tembok.
"Hah."
Perlahan Senja menghilangkan tekanannya. Meski begitu, tetap saja mereka masih terbebani.
"Jadi itu kau sialan!" teriak Selir Reliza pada Eza dengan niat membunuh yang tajam. Senja hanya tertawa secara internal dengan tindakan ibu tirinya itu.
Bukankah sudah jelas jika yang melakukan ini semua adalah dirinya, tapi Selir Reliza malah menyalahkan Eza yang bahkan kemampuannya kalah jauh dari Senja.
"Tapi ini bagus, setidaknya ia tidak akan waspada pada ku," gumam Senja nakal sambil melompat turun dari tembok. Melihat nona nya turun, Eza pun ikut serta di belakangnya.
"Sialan, apa yang sedang kau lakukan disini?"
Selir Reliza menatap Senja dengan frustasi, matanya tajam dengan bibir yang mencemooh.
"Ada apa Ibu? Apakah aku tidak boleh berkunjung ke kediaman Permaisuri, IBU KANDUNG ku?"
Senja sengaja menekan kata 'ibu kandung' untuk membuat Selir Reliza semakin kesal. Meski begitu yang ia katakan ada benarnya, ini masih milik ibunya dan selamanya akan tetap seperti itu.
"Apa ini semua?" tanya Senja sekali lagi saat sedang memasuki Paviliun tersebut.
Senja melihat begitu banyak vas bunga mewah keluaran terbaru serta lukisan-lukisan mahal yang seperti di lukis oleh sang ahli.
"Sangat indah...."
Senja menyentuh salah satu vas bunga yang ada di sampingnya. Vas bunga itu terbuat dari keramik mahal dengan ukiran abstrak yang indah. Berbeda sekali dengan milik Senja yang bahkan tidak bisa dibandingkan dengan ini.
PRANG...!
Vas bunga itu pecah dan berserakan ke mana-mana. Bentuknya kini hanya menyisakan partikel-partikel kecil yang bahkan sulit untuk dikatakan sebagai partikel.
"Ups, bagaimana ini Ibu? Aku tidak sengaja melakukannya?"
Senja bertanya dengan senyum mengejek di wajahnya.
"Kau, kau...?
"Iya Ibu, maafkan aku..., ah...!"
Sekali lagi Senja menjatuhkan vas bunga yang ada di sampingnya dengan wajah penuh rasa bersalah. Ia terlihat bingung harus berbuat apa dan itu membuat mulut Selir Reliza berbusa.
Ia tidak percaya dengan apa yang dilakukan Senja saat ini. Pasalnya seluruh Vas bunga itu sangat langkah, ia juga membelinya dengan harga tinggi, bahkan ia harus meminjam kedudukan Duke untuk bisa mendapatkannya.
Namun kini itu semua hancur dengan sia-sia, dan tentu saja belum cukup dengan itu, Senja juga dengan sengaja menghancurkan vas-vas lainnya yang ada di sekitaran area tersebut.
"Hentikan itu gadis bodoh... Ugh..!"
Selir Reliza harus berhenti karena tekanan yang ia terima menjadi kuat kembali. Ia hanya bisa menggeram tajam ke arah Eza yang hanya menyaksikan itu semua dengan pandangan dingin.
"Sial, kalau bukan karena pria brengsek itu, mungkin saja saat ini aku sudah menghancurkannya."
Selir Reliza menatap Senja dengan pandangan hewan lapar. Ia terlihat sangat haus untuk mencabik-cabik tubuh Senja yang terus saja menghancurkan miliknya. Ia kesal, sangat kesal bahkan namun rasa frustasi karena tekanan membuatnya menjadi gila.
"Tunggu, ini terlihat sangat indah."
Senja berseru ria di hadapan sebuah lukisan indah bernuansakan alam bebas yang seharusnya adalah lukisan ia dan ibunya berada.
"Lihat ini, ia bahkan mengubah seluruh dekorasinya."
Dengan marah Senja menarik lukisan itu dan membantingnya keras ke lantai. Hal ini membuat wajah Selir Reliza menjadi kaku. Ia membeku di tempatnya dengan pandangan kosong yang mengarah pada lukisan yang sudah hancur tersebut.
Senja menyadari satu hal jika lukisan itu sangat berarti bagi ibu tirinya dan dengan senyum hangatnya, Senja dengan sengaja menginjak gambar lukisan tersebut dan membuat bekas sepatu di atasnya.
Selir Utama yang tidak bisa menerimanya langsung mengeluarkan energi mana. Tentu saja senja hanya tersenyum misterius dengan itu semua. Ia dengan santainya membebaskan Selir Reliza dari kekangan dominan miliknya.
"Hahaha, semakin menarik saja."
Senja tersenyum sinis saat luka nanah di tangan Ibu tirinya mulai pecah satu-persatu. Ia tidak perlu repot-repot lagi untuk melakukan itu karena permainannya baru saja di mulai.
"Habislah kau!" teriak Selir Reliza yang mengabaikan rasa sakit di tangannya.
Ia kesal sampai ingin menghancurkan Senja hingga habis, ia bahkan tidak peduli dengan sekitarnya. Aura membunuhnya terasa sangat tajam, bahkan Eza pun mulai menjadi panik.
Namun melihat senyum licik nona nya itu, Eza tahu jika saat ini nona nya sedang bermain-main dengan Selir Reliza. Ia tidak punya urusan untuk menghalangi waktu bermain nona nya.
Saat energi mana sudah terkumpul, cabang pohon pun perlahan muncul dari balik dinding ruangan tersebut. Cabang pohon merambat dengan cepatnya berlari menuju Senja. Ia menarik tangan dan kaki Senja dan membawanya terbang ke langit-langit ruangan.
Tubuh Senja pun dibaluti oleh cabang berduri sehingga darah mulai menetes keluar dari tubuhnya. Namun Senja lagi-lagi hanya tersenyum nakal sambil mengatakan, "Ibu kau sangat lemah."
Mendengar hal itu, Selir Reliza semakin memperkencang cabangnya untuk melilit Senja. Tentu saja rasa sakitnya membuat Senja menjerit, sehingga Eza mau tak mau ikut campur di dalamnya.
Ia mengeluarkan pedang dengan aura tajam untuk membelah cabang-cabang itu, namun belum sempat ia melakukannya, Selir Reliza sudah mengirim Eza keluar dari ruangan.
"Hahaha, sekarang tidak ada lagi yang bisa menolong mu."
Selir Reliza mengikat Eza di tanah dengan cabang pohon merambat di sekitarnya. Dengan ini hanya ada Senja dan Ibu tirinya di dalam ruangan tersebut.
Senja yang tidak tahan dengan eratnya cabang pohon yang menekannya mulai mengeluarkan darah dari mulutnya. Tubuhnya pun merasa sakit karena duri-duri di cabang pohon itu mulai menyentuh dagingnya.
"Permainan selesai," seru Selir Reliza dengan senyum kejamnya.
Namun Senja malah tertawa dengan darah yang masih berada di mulutnya. Ia terlihat menyeramkan saat tertawa karena seluruh mulutnya masih mengeluarkan darah.
"Hahaha, apa kau pikir begitu?"
Senja bertanya dengan mata yang memelototi Selir Reliza dengan sinis. Senyum masih mengembang di wajahnya dengan keyakinan kuat yang membuat Selir Reliza merinding.
"Sial!" maki Selir Reliza saat hendak menampar Senja.
Plak...! Pluk...!
Tamparan itu begitu kuat dan keras, sehingga membuat pipi Senja menjadi bengkak dan memerah. Tapi tetap saja senyum licik terus mengembang di wajahnya.
Selir Reliza yang melihat itu menjadi gila, ia menambah kekuatan mana di tangannya untuk membuat senyum nakal itu menghilang untuk selama-lamanya dari wajah Senja.
"Huh, sampai kapan kau bisa tersenyum, bodoh begitu!"
Saat energi mana sudah mengumpul, Selir Reliza bergegas menampar Senja. Ia dengan senyum mengejeknya seolah-olah berkata bahwa ini adalah terakhir kalinya Senja tersenyum di dunia ini.
PLAK....!!
Tamparan kejam melayang di ruangan tersebut, namun bukan untuk Senja melainkan untuk Selir Reliza. Wajahnya yang mulus kini memerah dengan darah yang mengalir keluar dari bibirnya.
Selir Reliza yang mendapatkan pukulan hanya bisa terpaku dengan apa yang ia lihat, wajahnya kaku dengan mulut yang berbusa. ia dengan gugup memegangi pipinya yang bahkan rasanya saja sudah tidak ia ketahui lagi.
"APA SEMUA INI?" tanya suara itu tegas dengan aura dominasi yang pecah ke seluruh area paviliun Permaisuri.