“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Mulailah terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik di telinganya, “...aku pastikan kau tetap di kamar ini. Terikat. Tanpa busana. Menontonku bercinta dengan wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar, tapi matanya tak lagi takut. “Kau memang sejak awal… tak lebih dari monster.”
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
Laras tahu, Edward tidak pernah mencintainya. Tapi ia juga tahu, pria itu menyimpan rahasia yang lebih gelap dari amarahnya. Ia dinikahi bukan untuk dicintai, tapi untuk dihancurkan perlahan.
Dan yang lebih menyakitkan? Cinta sejatinya, Bayu, mungkin adalah korban dari semua ini.
Konflik, luka batin, dan rahasia yang akan terbuka satu per satu.
Siap masuk ke kisah pernikahan penuh luka, cinta, dan akhir yang tak terduga?
Yuk, baca sekarang: "Dinikahi Untuk Dibenci"!
(Happy ending. Dijamin!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Pertemuan dengan Sherin
Edward menghentikan kalimatnya. Napasnya memburu. “Kau benar-benar membuka aib rumah tangga sendiri?”
Laras menggigit bibir. Tangannya mengepal di atas pangkuan.
“Kalau kau tak ingin terlihat menjijikkan, jangan lakukan hal yang menjijikkan,” gumam Laras pelan.
Edward menoleh tajam. “Apa kau bilang?”
“Dokter itu tak bilang apa pun soal siapa wanita itu. Dia bicara soal rasa aman. Sesuatu yang tak pernah aku temukan sejak menikah denganmu.”
Edward terkekeh pelan. Sinis. “Lucu. Kau masih bisa bicara soal rasa aman setelah ikut campur dalam hidup orang lain?”
Laras memandangnya tajam. “Aku? Ikut campur? Bukankah kau yang datang dalam hidupku, menghancurkannya, lalu memaksaku menikah?”
Hening sesaat.
Udara di dalam mobil terasa padat, hingga akhirnya Laras turun dari mobil.
***
Klinik, Ruang Tunggu
Laras duduk kembali setelah Edward pergi lebih dulu. Tangannya gemetar, tapi wajahnya tetap tenang.
"Kenapa aku masih berharap dia berubah?"
"Setiap harapan yang aku simpan, hanya jadi luka baru. Setiap kali..."
Ia memejamkan mata. Napasnya dalam.
"Tapi tadi... setidaknya ada satu orang yang percaya. Yang melihatku bukan sebagai barang rusak."
Dr. Ratna muncul dari koridor, lalu mendekatinya.
“Kau baik-baik saja?”
Laras mengangguk pelan.
“Terima kasih… sudah bicara padanya.”
Dr. Ratna duduk di sampingnya, menghela napas.
“Aku tak bisa mengubah hidupmu, Laras. Tapi aku bisa pastikan satu hal: kau tak sendirian di ruang ini. Dan kau berhak sembuh... bukan demi siapa pun, tapi demi dirimu sendiri.”
Mata Laras memerah.
“Bahkan jika itu... butuh waktu lama?”
Dokter Ratna mengangguk.
“Luka dalam tidak pernah sembuh dalam semalam. Tapi semakin kau lawan... semakin kuat kau jadinya.”
Laras mengangguk. Untuk pertama kalinya, dengan sedikit keyakinan dalam sorot matanya.
***
Mobil Edward, Di Depan Klinik
Edward duduk sendiri. Jemarinya menekan setir, rahangnya mengeras. Ia menatap pantulan dirinya di kaca spion.
"Terlalu lama... terlalu lama dia bertahan."
"Padahal aku sudah menunjukkan siapa yang pegang kendali. Sudah kubuat dia melihat dengan matanya sendiri bagaimana posisinya tak lebih dari istri di atas kertas."
Bayangan Laras—duduk diam, gemetar, tapi tidak roboh—terlintas di benaknya.
"Tatapan itu... masih punya nyala. Masih ada sesuatu yang membuatku ingin mematikannya."
Ia mendesis pelan, lalu menggeram.
“Kau pikir aku akan menyerah hanya karena satu dokter menyuruhku ‘mendukung’ proses penyembuhanmu?”
Monolognya menggema di kepala. Sakit. Penuh dendam.
"Tidak, Laras. Aku ingin kau sembuh hanya agar kau bisa melayani pria yang paling kau benci. Aku ingin kau hamil. Ingin kau mengandung anakku—dan tiap malam melihat wajah anak itu, mengingat siapa ayahnya."
"Itu... bukti kemenanganku."
Tapi kemudian suara dokter itu kembali menggaung.
“Dengan kondisi seperti istri Anda, vaginismus hanyalah permukaan. Ada risiko pembuluh darahnya pecah saat melahirkan. Kami menduga ia mengidap Ehlers-Danlos Syndrome—tipe vaskular. Sangat langka. Sangat berbahaya.”
Edward mendecak, matanya menatap kosong ke depan.
"Ehlers-Danlos… penyakit sialan apa lagi itu."
“Penyakit genetik yang memengaruhi jaringan ikat. Kulitnya rapuh, pembuluh darah bisa pecah tiba-tiba, bahkan tanpa sebab. Melahirkan bisa jadi... hukuman mati.”
"Dia bisa mati... kalau aku menghamilinya."
Ada jeda dalam benaknya. Lalu senyum licik itu muncul lagi di wajahnya.
“Kalau mati karena mengandung anakku... maka itu bukan kekalahan. Itu takdir.”
Ia menyalakan mesin mobil, lalu melaju, meninggalkan Laras di klinik.
Mobil melaju cepat, di jalanan kota.
Edward membanting setir ke kiri. Mobil hampir menyentuh trotoar, tapi dia tak peduli. Napasnya memburu, tangan kirinya menghantam dashboard.
“Apa lagi? Apa lagi yang Kau rencanakan, Tuhan?” geramnya. Napasnya berat, seolah paru-parunya tak cukup luas menampung amarah.
Ia mengusap wajahnya dengan kasar.
“Vaginismus… Ehlers-Danlos Syndrome... dan gen terkutuk itu,” desisnya. “Gen cacat sialan…”
"Dokter itu bilang, kalau dipaksakan, kemungkinan besar anak kami akan lahir dengan penyakit langka. Mungkin buta. Mungkin lumpuh. Mungkin bahkan... mati sebelum menangis pertama kali."
“Lalu untuk apa semua ini? Untuk apa aku menikahi dia?!” bentaknya, membentur setir dengan kepalan tangan.
"Aku ingin dia mengandung anakku. Ingin dia menggendong bukti bahwa tubuhnya, hidupnya, hanya untukku. Anak itu adalah mahkota dendamku!"
Tapi semua rencana itu kini seperti buih. Hancur pelan-pelan, tak tersisa selain sisa rasa pahit di lidahnya.
“Apa Kau sengaja menghalangi balas dendamku?!” suaranya pecah, mata merah menahan amarah.
"Laras seharusnya merasakan sakit. Sakit seperti aku. Seperti... seseorang...
Ia tertawa pendek, getir. Lalu kepala Edward jatuh ke sandaran, matanya menatap kosong ke langit-langit mobil.
“Lucu, 'kan? Bahkan Tuhan pun kasihan padanya… dan menjadikan aku pecundang dalam permainanku sendiri.”
Sunyi. Hanya suara napasnya yang berat, dan denyut di pelipisnya yang berdenyut seperti genderang perang yang kalah sebelum bertempur.
***
Lounge Hotel Mewah, Malam Hari
Asbak berisi tiga puntung rokok belum sempat dibersihkan. Edward duduk bersandar malas di sofa panjang, kemejanya kusut, dasi dilonggarkan, pandangan kosong ke arah gelas wiski yang sudah mengembun.
Lalu terdengar suara heels mendekat. Sherin, adik Laras.
Rambutnya tergerai sempurna, gaun hitam selutut membingkai tubuhnya yang mungil tapi menantang. Ia tersenyum ringan, seperti tak sengaja lewat.
“Masih suka mabuk saat suasana hati buruk, Kakak ipar?”
Edward mendongak. “Sherin…”
Ia menatap Sherin lama. Matanya menyipit.
“Apa kau sengaja ke sini?”
Sherin menoleh acuh, lalu menarik kursi. Duduk. Menyilangkan kaki perlahan, memainkan gelas kosong di hadapannya.
“Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya butuh tempat tenang, dan ternyata kau ada di sini.”
Edward mengerutkan dahi. Ia tahu pola itu. Sherin sedang bermain. Lagi.
“Kenapa kau mengabaikanku selama ini?” Edward bertanya dingin, namun sorot matanya menajam, penuh curiga.
Sherin menatapnya sebentar, lalu terkekeh pelan. “Lucu ya. Dulu aku yang selalu menunggumu. Tapi sejak kau menikahi kakakku—aku jadi sadar... aku hanya pelarian.”
Edward menggeleng pelan. “Kalau benar kau sadar, kenapa sekarang muncul lagi?”
Sherin menatap lurus ke arahnya. “Karena mungkin... aku masih ingin sesuatu darimu.”
Edward membisu.
Tatapan matanya aneh... menggoda, tapi juga menantang. "Dulu dia tampak lemah di tanganku. Sekarang dia terlihat seperti sedang memainkan bidak."
Sherin bersandar santai di sofa, suaranya lembut dan pelan, seperti bisikan yang meneteskan racun ke dalam kepala.
“Aku tahu, Kak Laras tak akan pernah bisa memberimu anak. Bahkan... dia tak bisa memberimu malam yang kau dambakan.”
Ia menatap lurus ke depan, seolah kalimatnya tak lebih dari pengamatan dingin, bukan serangan.
Dalam hatinya, Sherin tersenyum licik.
"Vaginismus itu nyata, dan itu sudah cukup menyiksa baginya. Tapi soal Ehlers-Danlos Syndrome dan gen cacat yang katanya membuat dia tak bisa hamil? Itu... hasil permainanku. Aku yang mengatur hasil lab itu. Aku yang memastikan dia percaya tubuhnya rusak.Karena dia pantas tahu rasa kehilangan. Seperti yang dulu aku rasakan saat kau merebut dia dariku."
Edward menegang. “Apa maksudmu?”
Sherin mengangkat bahu. “Hanya menyimpulkan dari yang kulihat.”
Edward menyipit. Sesuatu terasa janggal. "Apa dia tahu soal laporan medis Laras?"
Sherin bangkit, lalu mencondongkan tubuh. Bibirnya nyaris menyentuh telinga Edward saat ia berbisik:
“Kau tahu, Kakak ipar... beberapa perempuan tidak pantas kau miliki hanya karena mereka terlalu... rapuh. Tapi aku? Aku kuat. Dan aku akan selalu kuat untukmu.”
Dia meninggalkan parfum yang tajam, dan jejak senyum yang tak selesai.
Edward menatap punggungnya menjauh, matanya sempit. Ada yang tak beres. Terlalu tahu. Terlalu lancar. Terlalu tepat sasaran.
“Tunggu!”
...🍁💦🍁...
.
To be continued
aku berharap petugas RS yg diancam sherin akan menolong laras secara diam" memberikan hasil tes kesehatan yg asli karena gak tahan melihat kegaduhan yg terjadi tidak ada habisnya terutama kasihan pada laras ternyata sherin gunakan hasil tes palsu itu untuk berbuat jahat lebih jauh ..semoga penyamaran edward juga terungkap bukankah dia adalah edwin yg OP kabur dari tanggung jawab bayu & mengincar laras dia pikir bakal menang tp dia salah
Laras orang baik pasti akan ada orang yang menolongnya tanpa ia minta.
semangat lanjut kak sehat selalu 🤲
bagaimana bisa orang tuanya malah mendukung Sherin menjatuhkannya?
sherin kira akan hidup tenang kalau semua hasil dari merebut & memaksa, salah kamu sherin kamu akan hidup tersiksa seperti di neraka