Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.
Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".
Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 33
Saat Anjani bersiap pulang, Wiliam menghampirinya dengan senyum ramah. “Mau pulang sekarang?” tanyanya dengan nada akrab.
Anjani mengangguk. “Iya, sudah cukup untuk hari ini.”
Wiliam tersenyum kecil dan segera berjalan menuju lif untuk turun
Dari kejauhan, Clara yang tengah merapikan dokumen di mejanya mencengkeram pena lebih erat. Matanya menyipit melihat Wiliam, bosnya, yang begitu santai berbicara dengan Anjani. Selama ini, Wiliam tidak pernah memperlakukan wanita lain dengan begitu akrab, kecuali dirinya.
Dadanya terasa panas, tetapi ia tahu tidak bisa menunjukkan kecemburuannya secara terang-terangan. Bagaimanapun, Wiliam adalah atasannya. Jika ia berbuat gegabah, posisinya bisa terancam. Namun, bukan berarti ia akan tinggal diam.
Menarik napas dalam, Clara mendekati Anjani dengan langkah ringan dan senyum tipis. “Anjani, kamu belum pulang?” tanyanya dengan nada manis yang dipaksakan.
Anjani menoleh dan membalas dengan santai, “Baru mau.”
Clara melirik sekilas ke arah punggung Wiliam sebelum kembali menatap Anjani. “Oh… ya sudah. Hati-hati di jalan,” ucapnya, tetapi ada nada terselubung dalam suaranya.
Anjani bisa merasakan ketidaksukaan di balik sikap pura-pura ramah itu. Namun, ia memilih untuk tidak menanggapi. Ia hanya mengangguk kecil, lalu beranjak pergi.
Saat Anjani melangkah melewati Clara, tiba-tiba terdengar suara berbisik nyaris tak terdengar, “Jangan pernah merasa bisa mengambil sesuatu yang bukan milikmu.”
Anjani berhenti sejenak. Ia melirik ke samping dan melihat Clara masih tersenyum, seolah tak terjadi apa-apa.
Alih-alih terprovokasi, Anjani hanya tersenyum tipis. “Aku tidak pernah tertarik mengambil sesuatu yang tidak berharga bagiku,” balasnya pelan, sebelum melangkah pergi dengan percaya diri.Clara mengepalkan tangan, kukunya hampir menancap ke telapak tangannya sendiri.
Setelah selesai bekerja, Anjani keluar dari gedung kantor dan terkejut saat melihat mobil mewah berhenti tepat di depannya. Kaca jendela turun perlahan, menampilkan sosok Wiliam yang tersenyum hangat.
“Aku antar pulang,” katanya dengan suara lembut.
Anjani melirik sekeliling dengan waspada. “Di sini?” bisiknya, khawatir ada yang melihat.
Wiliam terkekeh pelan. “Tenang, semua sudah pulang. Lagipula, apa salahnya seorang bos mengantar pulang karyawannya?” godanya.
Anjani mendesah pelan, lalu masuk ke dalam mobil. Begitu pintu tertutup, suasana di dalam terasa lebih santai. Wiliam menoleh sekilas, menatap wajah Anjani yang tampak lelah.
“Kamu capek, ya?” tanyanya lembut.
“Sedikit,” jawab Anjani, tersenyum tipis. “Hari ini cukup sibuk.”
Wiliam mengulurkan tangan, menggenggam jemari Anjani sejenak sebelum kembali fokus mengemudi. “Kalau aku bisa, aku ingin kamu nggak perlu kerja terlalu keras. Tapi kalau aku ngomong begitu, kamu pasti marah, kan?”
Anjani menoleh dan menatapnya tajam. “Jelas. Aku nggak mau cuma jadi wanita yang diam di rumah tanpa melakukan apa-apa.”
Wiliam tertawa kecil. “Itu yang aku suka darimu.”
Anjani ikut tersenyum, tetapi kemudian Wiliam berkata, “Lusa ada pesta ulang tahun perusahaan rekan bisnis kita. Aku mau kamu ikut menemaniku.”
Anjani mengerutkan kening. “Sebagai perwakilan Megantara Group?”
Wiliam meliriknya dengan tatapan intens. “Sebagai wanitaku.”
Wajah Anjani memanas. Ia membuka mulut untuk membantah, tetapi tatapan Wiliam begitu dalam hingga membuatnya kehilangan kata-kata.
“Kenapa? Malu?” goda Wiliam.
Anjani mendengus pelan, berusaha menyembunyikan senyumnya. “Bukan malu. Aku cuma… nggak menyangka.”
Wiliam tersenyum puas. “Jadi, kamu mau, kan?”
Anjani menghela napas dan mengangguk pelan. “Iya.”
Wiliam membawa tangan Anjani ke bibirnya, mengecupnya lembut sebelum kembali fokus ke jalan.
Sementara itu…
Dari kejauhan, Clara yang diam-diam mengikuti mobil Wiliam mencengkeram setir dengan kuat. Napasnya tersengal karena menahan amarah.
“Mereka… pacaran?” bisiknya tak percaya.
Ia menggigit bibirnya, matanya berkilat penuh kecemburuan. “Kalau dia pikir bisa begitu saja menggandeng Wiliam di depan umum, dia salah besar. Aku nggak akan tinggal diam.”
Senyum licik terukir di bibirnya.
Pesta perusahaan Angkasa Group digelar dengan megah di sebuah hotel berbintang. Ballroom luas dipenuhi tamu-tamu penting, mulai dari petinggi perusahaan hingga para karyawan yang hadir bersama keluarga mereka.
Cahaya lampu kristal berkilauan, memberikan nuansa mewah pada acara malam itu. Musik klasik mengalun lembut, menciptakan suasana yang elegan.
Adrian melangkah masuk dengan tenang. Meski hanya seorang pegawai, ia tetap tampil rapi dalam setelan jas sederhana. Di sampingnya, Anggun menemani dengan anggun, mengenakan gaun berwarna lembut yang menonjolkan pesonanya. Keduanya tampak serasi, meskipun mereka hanya datang sebagai tamu biasa di antara hiruk-pikuk pesta.
Di sisi lain ruangan, Bu Rina dan Dita juga hadir. Mereka datang bukan sebagai tamu undangan khusus, melainkan karena perusahaan memberi kesempatan bagi para karyawan untuk membawa keluarga mereka.
Meskipun tak mengenakan pakaian semewah tamu-tamu penting lainnya, Bu Rina tetap berusaha menampilkan dirinya dengan percaya diri. Dita, seperti biasa, menunjukkan sikap angkuhnya, merasa dirinya layak berada di lingkungan penuh orang-orang berpengaruh ini.
Adrian melangkah lebih jauh ke dalam ruangan, sesekali menerima sapaan dari rekan-rekan kerja yang mengenalnya. Beberapa memberikan senyum ramah, sementara yang lain hanya sekadar mengangguk. Anggun tetap berada di sisinya, sesekali membalas sapaan dengan sopan.
Namun, di balik kemeriahan pesta, ada perasaan aneh yang menggelayuti Adrian. Ia menyadari bahwa di acara seperti ini, status seseorang sangat menentukan bagaimana mereka diperlakukan. Meskipun ia hanya seorang pegawai, pesta ini tetap menjadi panggung yang memperlihatkan siapa yang benar-benar dihormati dan siapa yang hanya sekadar pelengkap.
Di tengah kemeriahan acara, suasana mendadak sedikit berubah saat William melangkah masuk bersama seorang wanita yang langsung mencuri perhatian. Anjani tampil anggun dalam balutan gaun simpel namun elegan.
Potongannya yang pas menonjolkan sisi femininnya, sementara riasan naturalnya membuat kecantikannya semakin bersinar.
William tampak percaya diri, mengenakan setelan jas rapi, dan berjalan santai di samping Anjani. Kehadiran mereka segera menarik perhatian banyak tamu, termasuk Pak Davit, pemimpin Angkasa Group, yang segera melangkah mendekati mereka dengan senyum lebar.
"William! Akhirnya kau datang juga!" sapa Pak Davit sambil menjabat tangan William erat.
William membalas dengan senyum ramah. "Tentu, Pak Davit. Saya tidak mungkin melewatkan acara sepenting ini."
Tatapan Pak Davit lalu tertuju pada wanita di samping William. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. "Dan ini...?"
William tersenyum sebelum memperkenalkan Anjani dengan nada bangga. "Pak Davit, perkenalkan, ini Anjani—calon istri saya."
Pak Davit terkejut sesaat, lalu tersenyum lebar. "Oh! Benarkah? Selamat, William!" Ia segera menjabat tangan Anjani dengan hangat. "Senang sekali bisa bertemu dengan Anda, Anjani. Sepertinya William benar-benar beruntung."
Anjani tersenyum sopan. "Terima kasih, Pak Davit. Senang bisa bertemu dengan Anda juga."
Pak Davit mengangguk puas. "Bagaimana menurut Anda tentang acara ini? Semoga cukup mengesankan."
Anjani mengangguk. "Sangat mengesankan, Pak. Saya bisa melihat betapa megahnya acara ini, semua detailnya tertata dengan baik. Ini benar-benar menunjukkan kelas Angkasa Group."
Pak Davit tertawa kecil. "Kami memang selalu berusaha memberikan yang terbaik. Dan saya yakin dengan kehadiran Anda di samping William, masa depannya akan semakin cerah."
Sementara mereka berbincang hangat, di sisi lain ruangan, Adrian yang tengah berbincang dengan rekan kerja tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Anjani. Ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya saat melihat wanita yang dulu menjadi bagian dari hidupnya kini berdiri anggun di samping pria lain—dan diperkenalkan sebagai calon istri.
Bu Rina dan Dita juga memperhatikan kedatangan mereka. Dita melirik sinis, sementara Bu Rina tetap diam, meskipun jelas ada ketidaksenangan di matanya.
Acara masih panjang, tetapi kehadiran Anjani dan William sudah cukup untuk mengundang berbagai tatapan dan spekulasi.
Saat suasana pesta semakin meriah, Anjani melangkah ke meja minuman untuk mengambil segelas air. Sebagai perwakilan dari perusahaannya, ia menghadiri acara ini dengan penuh profesionalisme. William masih berbincang dengan beberapa rekan bisnisnya, sementara Anjani menikmati sejenak suasana pesta.
Namun, tak butuh waktu lama, Bu Rina dan Dita muncul dengan langkah angkuh. Senyum sinis menghiasi wajah mereka saat mendekati Anjani.
"Eh, lihat siapa yang datang," suara Dita penuh ejekan. "Mantan istri yang masih suka menyusup ke dalam kehidupan mantan suaminya!"
Anjani tetap tenang, menyesap air putihnya sebelum menjawab, "Saya diundang secara resmi sebagai perwakilan perusahaan. Ini acara profesional, bukan urusan pribadi."
Bu Rina mendengus sinis. "Hah! Perwakilan perusahaan? Jangan membuatku tertawa. Kau hanya wanita buangan yang mencoba mencari perhatian di sini!"
Dita menimpali, "Aku heran kenapa perusahaanmu memilih mengirim seseorang sepertimu. Kau pikir sudah hebat sekarang?"
Beberapa tamu mulai melirik, tertarik dengan ketegangan yang terjadi. Bisik-bisik mulai terdengar, membuat suasana semakin riuh.
Anjani menatap Dita dengan tajam, lalu meletakkan gelasnya dengan tenang di meja. "Saya pikir perusahaan saya memilih saya karena kompetensi dan profesionalisme saya. Tidak seperti kalian yang hanya bisa datang ke acara ini sebagai beban karyawan."
"APA?!" Wajah Bu Rina memerah menahan amarah. "Dasar wanita sombong! Kau pikir karena berdiri di sini, kau lebih baik dari Adrian?"
Dita mengejek dengan tawa sinis. "Mungkin dia masih berharap bisa kembali ke keluarga kita, Bu."
Saat itu, suara seorang pria terdengar tegas dari belakang mereka.
"Ada masalah di sini?"
Semua mata beralih pada William, yang kini berdiri dengan tatapan tajam.
Bu Rina menatap pria asing itu dengan pandangan menilai. "Dan Anda siapa?" tanyanya tajam.
Sebelum William sempat menjawab, Dita menegang. Wajahnya langsung berubah drastis saat mengenali pria itu.
"B-Bos William?" gumam Dita, matanya membelalak.
Bu Rina melirik Dita dengan bingung. "Bos?"
Dita menelan ludah. "Iya, Bu. Dia bos besar di perusahaan tempat aku bekerja."
Bu Rina seketika kehilangan keangkuhannya. Sementara itu, William tersenyum tipis, lalu melirik Anjani dengan penuh kelembutan sebelum kembali menatap Bu Rina dengan dingin.
"Saya pikir Anda salah paham, Bu ," ucapnya santai, tapi nadanya penuh ketegasan.
Bu Rina mengangkat alis. "Salah paham?"
William mengangguk, suaranya tegas dan jelas. "Anjani bukan hanya diundang sebagai perwakilan perusahaan. Dia juga hadir di sini sebagai calon istri saya."
Hening.
Ucapan William bagaikan tamparan keras bagi Bu Rina dan Dita. Wajah mereka langsung pucat, dan beberapa tamu yang mendengar langsung terkejut.
Dita tergagap, "C-Calon istri?"
Bu Rina menatap Anjani dengan penuh kebencian, tetapi kali ini tak bisa berkata apa-apa. William dengan tenang meraih tangan Anjani dan menggenggamnya erat, menunjukkan otoritasnya.
"Jadi, jika ada yang merasa keberatan dengan kehadiran Anjani di sini, mereka harus mempertimbangkan siapa yang mereka hadapi," lanjut William, suaranya dingin dan menusuk.
Bu Rina mengepalkan tangan, ini seperti tamparan keras khusus nya bu rina, rahangnya mengeras. "Jangan pikir kau bisa bersembunyi di balik pria lain, Anjani!"
Anjani hanya tersenyum santai. "Saya tak pernah bersembunyi, Bu Rina. Saya hanya menjalani hidup saya yang jauh lebih baik tanpa Anda dan keluarga Anda."
Dita menggeram, tetapi tak bisa membalas. Semua tamu kini melihat mereka dengan tatapan penuh penilaian.
William kemudian menarik Anjani dengan anggun, meninggalkan Bu Rina dan Dita yang masih berdiri kaku dengan wajah penuh amarah dan malu.
Malam ini, Anjani menang telak.
Anjani merasa sudah membuktikan kepada keluarga Adrian bahwa ia tak bisa diremehkan ? Apa yang akan dilakukan Anjani selanjutnya ??........
jng krn cinta trus ngorbanin keadilan yg jelas buat kakakmu.
wanita macam Alana mudah di cari bnyak pun, tp keadilan tidak bisa di cari kl kita tdk menegakkan. ingat jng lemah.
pa lagi Williams bnyak pikiran pasti mudah jenifer njebak.
smp hapal bner krn tiap penulis selalu bikin konflik bgini, jarang ada lelaki yg gk bisa di jebak pasti kebanyakan masuk jebakan 😂😂😂😂😂
hrs berani lawan lahhh