bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
latar belakang amira
Amira duduk di atas motor matic legendaris—motor Bit warna merah tua yang mulai mengelupas di bagian bodinya. Mesin tuanya meraung rendah, tapi tetap setia, seolah tahu bahwa pemiliknya menyimpan kisah yang tak bisa ditebak siapa pun. Di mata orang-orang, Amira hanyalah driver ojol biasa. Rajin. Sopan. Hemat luar biasa. Tapi andai mereka tahu siapa sebenarnya perempuan berjaket hijau lusuh itu, mungkin mereka akan sujud ketakutan… atau justru ternganga karena kagum.
Tak ada yang menyangka bahwa perempuan itu dulunya bayi buangan. Bukan kiasan. Amira benar-benar ditemukan di tong sampah.
Malam itu, langit mendung. Rahayu baru saja keluar dari kamar pria terakhir yang membayarnya. Hatinya hampa, kakinya lelah. Tapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara lirih dari balik tumpukan kantong plastik. Di sana, tergeletak seorang bayi merah, telanjang, kulitnya pucat, tubuhnya nyaris beku. Di antara sisa soto basi dan tulang ayam, bayi itu tetap bertahan hidup.
Rahayu tak berpikir panjang. Ia membungkus bayi itu dengan selendang tipis miliknya, lalu membawanya pulang. Dan malam itu juga, ia bersumpah tak akan menjual tubuhnya lagi.
Budi—kekasihnya yang sehari-hari jadi maling pasar, spesialis congkel gembok—awalnya marah. Tapi saat matanya bertemu dengan mata sang bayi, ia terdiam. “Udahlah,” katanya akhirnya, “yuk, tobat.”
Sejak hari itu, mereka bertiga jadi keluarga. Tinggal di gubuk sempit di pinggiran rel kereta. Miskin, tapi hangat. Dan Amira tumbuh menjadi sosok yang berbeda dari anak-anak lain.
Kulitnya putih mulus, rambut kecokelatan, hidung mancung, mata tajam seperti elang. Banyak yang bilang dia mirip bule dari Italia. Anak-anak memanggilnya “anak buangan cantik.” Tapi tak satu pun berani menggertaknya dua kali.
Di umur lima tahun, Amira menggigit telinga seorang pemabuk yang mencoba menyentuhnya. Di umur enam, ia menghajar tiga anak laki-laki hanya karena mereka menyebut ibunya "lonte." Ia tak peduli soal aturan. Baginya, Rahayu dan Budi adalah segala-galanya.
Amira sering pindah sekolah. Tak pernah bertahan lebih dari dua minggu. Selalu ada perkelahian. Selalu ada anak yang pulang dengan bibir sobek atau tulang retak. Dan Rahayu, dengan lidah tajam dan gaya khas emak-emak perkampungan, selalu berhasil membela putrinya. Entah sudah berapa kali mereka duduk di kantor RW atau dipanggil ke balai desa. Tapi Rahayu selalu menang.
Amira bukan hanya petarung jalanan. Ia berbakat. Sekali menonton adegan bela diri di film, ia bisa menirukannya dengan sempurna. Setiap pagi ia berlatih: lari keliling lapangan, push-up, angkat barbel, squat. Budi yang melatih, meski dengan alat seadanya. Jika Amira tak berlatih, badannya seperti protes sendiri. Kaku. Pegal. Seperti tubuhnya memang diciptakan untuk terus bergerak.
Namun semuanya runtuh saat Amira berumur 13 tahun.
Budi diculik oleh mafia perdagangan manusia. Tak lama, Rahayu pun hilang. Dunia Amira gelap. Ia tahu satu-satunya cara menyelamatkan orang tuanya adalah masuk ke dunia yang sama. Ia menyusup ke jaringan mafia. Menyamar sebagai anak jalanan. Di sana, ia dilatih—dengan brutal. Tinju. Pisau. Belati. Senjata api. Racun. Tubuhnya ditempa. Hatinya dibekukan. Ia naik pangkat cepat, menjadi tangan kanan bos dalam sembilan tahun.
Lalu ia menemukannya.
Budi dan Rahayu. Terpenjara. Kurus. Seperti tinggal tulang. Tak bisa bicara, hanya meneteskan air mata saat melihat Amira.
Amira marah melihat kondisi ayah san ibunya, belum lagi banyak orang yang nasibnya sama seperti ayah dan ibunya, Amira dibantu ronald yang ibunya juga mati oleh perlakuan mafia penjualan manusia.
dengan penuh siasat mereka berdua membantai ratusan mafia dengan racun dan sisanya mereka ledakan dengan bom. Sampai saat ini kasus itu jadi legenda baik di kepolisian maupun di dunia bawah namun tidak ada yang tahu kalau pelakunya adalah Amira dan Ronald.
Ronald memilih membangun organisasi pembunuh bayaran.
Dan Amira bisa saja jadi ratu mafia. Uang. Kekuasaan. Pengaruh. Tapi Budi memohon, dengan napas tersisa, “Kalau kamu bunuh orang lagi, lebih baik Bapak mati aja, Mi.”
Dan Amira menyerah. Ia buang senjatanya ke sungai. Ia cuci tangannya dari darah.
Kini, ia hidup sebagai driver ojol. Mengantarkan makanan dengan motor Bit tuanya. Bukan karena ia miskin. Tapi karena ia memilih untuk hidupk
Sudah satu tahun Budi sakit dan 1 bulan ini Budi terbaring di rumah sakit, kondisinya semakin kritis.
Amira tiba di rumah sakit dengan napas tersengal, wajah lelah, dan jaket ojol masih melekat di tubuh. Di balik pintu ruang perawatan, Rahayu menatapnya tajam. Bukan pelukan hangat yang menyambutnya. Bukan ucapan terima kasih karena Amira berhasil menutupi biaya operasi. Yang keluar justru curiga.
“Dari mana kamu dapat uang sebanyak itu, Mi? Jangan-jangan kamu jadi mafia lagi?”
Amira menggeleng cepat. “Aku nggak jadi mafia, Bu.”
“Terus kamu rampok bank?”
“Enggak, Bu.”
“Ih… jangan bilang kamu open BO!?”
Amira mendengus geli. “Ibu periksa saja, Mira masih perawan tiang-ting!”
Rahayu tak luluh. “Lalu dapat uang dari mana? Nggak mungkin ngojek bisa dapat ratusan juta!”
Amira menarik napas panjang. “Aku… dikontrak, Bu.”
“Kontrak? Kontrak apaan? Kamu kan nggak punya ijazah!”
“Dikontrak jadi istri pengganti…”
Rahayu melotot. “Kamu kawin kontrak!?”
Dengan suara rendah, Amira lalu menceritakan semuanya. Tentang pria kaya yang ingin istrinya digantikan sementara demi citra di depan keluarganya. Tentang syarat, uang muka, dan masa kontrak yang jelas. Tak ada sentuhan. Tak ada cinta. Hanya perjanjian.
Selesai bercerita, Rahayu tak berkata apa-apa. Ia mendekat, menatap anak yang dibesarkannya dengan air mata dan darah. Lalu pelukannya datang, hangat, erat.
"Maafin Ayah dan Ibu, Mi… yang selalu nyusahin kamu,” ucap Rahayu lirih, suaranya bergetar menahan rasa bersalah. Matanya yang sembab menatap wajah anak gadisnya yang kini duduk di tepi ranjang rumah sakit, masih mengenakan jaket ojol dan celana jeans belel.
Amira tersenyum lemah, menggenggam tangan ibunya. “Jangan ngomong begitu, Bu. Besarin Mira itu keberkahan, bukan beban. Demi Bapak dan Ibu, Mira rela ngelakuin apa aja.”
Selama Budi sakit, Amira bekerja tanpa kenal lelah. Jadi ojol? Jalan. Tukang parkir? Siap. Pernah juga jadi debt collector, asal halal. Tak ada pekerjaan yang terlalu rendah jika itu demi orang yang ia cintai.
“Tenang aja, Bu. Mira enggak akan balik ke dunia gelap itu.”
Rahayu mengangguk lega. “Ya, baguslah. Ayahmu pernah bilang, dia lebih baik mati daripada lihat kamu bunuh orang lagi.”
“Iya, Bu. Mira janji.”
Rahayu tersenyum tipis, lalu mengalihkan pembicaraan. “Terus, gimana suami kamu? Tampan?”
Amira terkekeh. “Tampan, tapi nyebelin.”
“Sudah kamu hajar?”
“Sudah.”
“Dia koma?”
“Enggak. Dia baik-baik aja.”
Rahayu menyipitkan mata. “Berarti itu suami sungguhan kamu.”
Amira mengerutkan dahi. “Kok gitu, Bu?”
“Karena cuma orang istimewa yang bisa tahan pukulan kamu, Nak.”
Amira terdiam. Ucapan ibunya mengendap dalam benaknya. Benar juga. Pukulan Amira bukan pukulan biasa. Kalau kena perut, organ dalam bisa luka atau bahkan hancur. Tapi Andika… pria itu masih berdiri tegak.
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya
seru nih amira hajar terus