Apa jadinya jika seorang gadis remaja berusia 16 tahun, dikenal sebagai anak yang bar-bar dan pemberontak terpaksa di kirim ke pesantren oleh orang tuanya?
Perjalanan gadis itu bukanlah proses yang mudah, tapi apakah pesantren akan mengubahnya selamanya?
Atau, akankah ada banyak hal lain yang ikut mengubahnya? Atau ia tetap memilih kembali ke kehidupan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Partai 15 - Tawanan Pesantren
~💠💠💠~
Langit cerah, burung-burung berkicau, dan suasana pesantren di pagi hari dipenuhi kesibukan para santri yang tengah membersihkan asrama serta mencuci pakaian.
Miska, yang sejak tadi berdiri dengan ember berisi pakaian basah, memandangi jemuran miliknya yang penuh sesak.
Beberapa santri yang sedang menjemur baju saling berbisik, dengan sesekali melirik ke arahnya. Miska sendiri tahu, mereka sengaja membuatnya merasa tidak diterima disana.
"Semua jemuran di sini sudah penuh. Kamu cari tempat lain saja," ujar salah satu santri dengan ketus.
Miska pun melirik jemuran yang jelas masih ada ruang kosong. Tapi dia menahan diri agar tidak terpancing emosi karena malas berdebat, tentunya karena ia capek setelah nyuci baju seabrek.
"Dasar orang-orang picik," batinnya.
Miska hanya menyeret embernya menjauh. Matanya kemudian menangkap sebuah jemuran kosong di sisi lain asrama, tepatnya beberapa meter dari asrama putri.
Tanpa pikir panjang, ia pun berjalan ke sana. Tempatnya cukup luas dan tampak lebih tenang dibanding area santri putri.
"Kenapa mereka gak pakai tempat ini aja, sih?," gunanya sambil mulai menggantungkan pakaiannya satu per satu.
Namun, ia tidak sadar bahwa tempat itu bukan sembarang tempat. Di pagar pembatas yang agak tinggi, ada papan kecil yang bertuliskan:
"Kawasan Asatidz. Dilarang Masuk bagi Santriwati."
Setelah beberapa saat...
Miska yang terlalu sibuk menjemur, tidak menyadari kehadiran seseorang di belakangnya.
"Ehem..."
Suara dehaman itu membuatnya menoleh. Saat ia melihat, di hadapannya, berdiri seorang laki-laki dengan gamis putih dan sorban kecil di leher. Tatapannya tenang, tapi jelas ada tanda tanya di matanya.
Miska membeku sejenak. Otaknya mencoba mengenali sosok itu. Dan barulah ia sadar jika sosok laki-laki yang di depannya ini Ustadz Musa!
"Santriwati tidak diperbolehkan berada di sini," ucap Ustadz Musa dengan suara datar namun tegas.
Miska mengerjapkan matanya lalu menoleh ke sekitar. Matanya membesar saat menyadari papan larangan yang tidak ia perhatikan sebelumnya.
"Ya ampun... Aku di tempat jemuran asatidz?," gumam Miska.
Merasa tegang dan panik, ia pun langsung mengambil jemurannya kembali, mencabut pakaian yang masih meneteskan air, lalu memasukkannya ke ember dengan gerakan cepat.
Sementara, Ustadz Musa tetap berdiri di tempatnya, sambil mengamati tanpa berkata apapun.
"Maaf, Ustadz... Aku gak tahu tempat ini terlarang," kata Miska, seraya menunduk sedikit.
"Lain kali baca peraturan baik-baik sebelum bertindak," sahut Ustadz Musa singkat.
"Iya ustadz."
Di kejauhan, beberapa santri putri yang melihat kejadian itu mulai berbisik-bisik dan terkikik pelan.
"Dia nekat banget masuk kawasan asatidz."
"Lihat tuh, kena tegur langsung sama Ustadz Musa!."
Tidak menunda lama, Miska pun bergegas pergi dengan ember berisi jemuran di tangannya. Wajahnya masih panas karena malu dan kesal.
"Banyak peraturan banget sih!," gerutunya dalam hati.
Karena pikirannya yang kacau, matanya yang tidak fokus, dan beban di tangannya cukup berat. Ember besar yang penuh dengan pakaian basah itu sedikit miring hingga membuatnya kehilangan keseimbangan.
"Aduh, aduh… berat banget!," pekik Miska.
Dan akhirnya kakinya tersandung sedikit, tubuhnya pun oleng ke samping. Dalam sekejap, ia hampir terjatuh bersama ember yang nyaris tumpah!
Tapi sebelum tubuhnya benar-benar mencium tanah, sebuah tangan menahannya dengan sigap.
"Hati-hati."
Sebuah suara tenang terdengar di telinganya dari jarak yang sangat dekat.
Miska lalu mendongak, dan yang ia lihat adalah wajah Ustadz Musa yang sangat dekat dengannya, dengan posisi tangannya yang masih menahan lengan Miska agar tidak jatuh.
Beberapa detik berlalu. Lalu dengan cepat, Ustadz Musa segera melepas pegangannya.
"Astagfirullah...!," ucap ustadz Musa, meminta pengampunan karena tidak sengaja memegang perempuan yang bukan muhrim.
Miska yang tidak terlalu peduli hanya menegakkan tubuhnya kembali dan menyesuaikan embernya di tangan.
"Makasih," ucapnya datar, tanpa menatap Ustadz Musa sedikit pun.
"Lain kali lebih hati-hati," kata Ustadz Musa.
Miska hanya mengangguk malas, lalu berjalan pergi tanpa menoleh lagi.
Namun, kejadian itu tidak luput dari pandangan beberapa santri putri yang ada di kejauhan. Mereka menutup mulut, berbisik-bisik kembali dan beberapa bahkan sangat terkejut melihat pemandangan itu.
"Ya ampun! Ustadz Musa tadi megang Miska!."
"Ya Allah, gak kebayang kalau ada ustadzah yang lihat!."
"Miska memang pembawa masalah!."
Desas-desus pun mulai menyebar.
Sementara itu, Ustadz Musa hanya menghela napas pelan, lalu kembali masuk ke area asrama ustadz tanpa berkata apa-apa lagi.
Di sisi lain, Miska berjalan sambil tetap memasang wajah datarnya, meskipun dalam hatinya sedikit kesal.
"Gak perlu sok baik begitu, Ustadz."
BERSAMBUNG...