naya menbeci atasan nya yang bernama raka tapi berujung jadi jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arsifa nur zahra u, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 31 * tekanan yang meningkat *
Setelah kejadian di apartemen, suasana kantor semakin tegang. Setiap hari aku merasakan tekanan yang semakin berat, namun kali ini aku tidak lagi merasa sendirian. Raka ada di sini, di sisiku, menghadapi semua ini bersama. Kami sudah melewati banyak hal, dan aku merasa semakin yakin bahwa kami bisa melewati badai ini.
Namun, meskipun kami berdua berusaha tampil tenang di luar, di dalam aku tahu kami berdua masih terjebak dalam perasaan yang penuh kekhawatiran. Kami tahu bahwa HR dan atasan kami sedang memantau setiap langkah kami, dan tidak ada yang tahu kapan masalah ini akan benar-benar selesai. Aku sering melirik Raka di tengah hari yang penuh kecanggungan. Tatapan matanya yang selalu penuh semangat dan percaya diri memberi aku kekuatan, tapi kadang aku juga melihat keraguan di sana—mungkin juga rasa takut bahwa sesuatu akan menghancurkan hubungan kami. Kami bukan hanya berjuang untuk hubungan ini, tapi juga untuk karier dan reputasi yang sudah kami bangun bertahun-tahun.
Pagi itu, aku baru saja kembali ke meja kerjaku setelah pertemuan panjang dengan HR dan tim investigasi. Wajah-wajah yang tak bersahabat dan penuh penilaian seolah mengintimidasi dari setiap sudut ruangan. Aku menghela napas pelan, membuka laptop dan mencoba fokus pada pekerjaan yang tertunda. Namun, tidak bisa kupungkiri bahwa hatiku sedang dilanda kekhawatiran.
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu menarik perhatian. Aku menoleh dan melihat Raka berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja hitam dan celana formal yang selalu membuatnya terlihat rapi dan profesional, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya. Aku bisa melihat ketegangan yang tidak biasa. Dia mendekat dengan langkah cepat.
“Ada apa?” tanyaku, mencoba menenangkan diri meskipun detak jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya.
Raka duduk di kursiku, tanpa meminta izin. Matanya tetap pada layar laptopku, tapi aku tahu pikirannya sedang melayang jauh.
“Naya, aku sudah bilang ke HR untuk menangguhkan sementara investigasi soal kita,” katanya dengan suara rendah, seperti memikirkan setiap kata dengan hati-hati. “Tapi ada yang lebih besar yang sedang terjadi di luar sana.”
Aku mengerutkan kening. “Apa maksudnya?”
“Penyelidikan yang datang dari pihak luar. Mereka mencari tahu hubungan kita lebih dalam lagisumbernya ada di media yang lebih besar.”
Aku merasa tubuhku kaku mendengar ini. “Maksudnya, media? Jadi mereka benar-benar serius mau menghancurkan kita?”
Raka mengangguk perlahan. “Tidak hanya kita, Nay. Mereka ingin membuat skandal ini berkembang, agar kita terpojok. Mungkin ada yang ingin menggunakan kita sebagai umpan untuk mengalihkan perhatian.”
Aku merasakan amarah yang mulai tumbuh di dalam dada. “Siapa mereka, Raka? Kenapa mereka nggak berhenti?”
“Ada yang ingin menggoyahkan posisiku di perusahaan ini,” jawabnya, dengan nada tegas. “Dan mereka menggunakan kita sebagai alat untuk mencapai tujuan itu.”
Aku bisa merasakan ketegangan yang semakin besar, tetapi saat itu, ada perasaan yang lebih kuat: aku tidak takut. Tidak selama Raka ada di sisiku.
“Jadi, kita harus apa?” tanyaku, mencoba menenangkan pikiranku. “Kita nggak bisa diam saja. Mereka akan terus mencari cara untuk menyerang kita.”
“Benar Kita harus menghadapi ini, tapi bukan dengan menyerah.” Raka menggenggam tanganku, membuatku merasa lebih tenang dengan sentuhannya. “Kita cari celah. Kita ambil kontrol atas narasi ini.”
Aku menatapnya dengan penuh keyakinan. “Kita akan melawan balik.”
Seketika, aku merasa seolah-olah beban yang kutanggung sedikit berkurang. Kami berdua mungkin bukan yang paling kuat di dunia ini, tetapi kami tahu satu hal kami tidak akan membiarkan siapa pun mengendalikan hidup kami.
Seiring berjalannya hari, kami menyusun strategi. Aku bekerja lebih dekat dengan Citra, konsultan media yang sudah mulai menyusun langkah-langkah yang lebih kuat untuk menggiring opini publik ke arah yang lebih mendukung. Kami juga mulai merancang sebuah laporan resmi untuk HR, dengan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa ini bukan sekadar gosip, tapi upaya terorganisir untuk menjatuhkan reputasi kami.
Namun, meskipun kami mulai merasa lebih siap, ada perasaan cemas yang tak bisa diabaikan. Semua orang tahu tentang hubungan kami, tentang siapa yang berani melawan siapa. Kami tahu bahwa semakin lama, tekanan ini hanya akan semakin besar. Ketika aku kembali ke meja kerja, pandanganku bertemu dengan Ara yang sedang duduk di meja lainnya, dengan senyum tipis yang membuatku merasa tidak nyaman. Aku tidak tahu apakah dia tahu atau sengaja berpura-pura tidak tahu, tetapi aku tahu dia masih punya pengaruh yang cukup besar untuk menciptakan lebih banyak masalah bagi kami.
Namun, Raka ada di sisiku. Dan dia tak akan membiarkan aku jatuh.
Itulah yang membuatku tetap bertahan, meskipun dunia di luar sana seolah mencoba menyeret kami ke dalam jurang yang dalam.
*
Beberapa hari setelah itu, kabar buruk akhirnya datang secara resmi.
Pagi itu, aku baru saja membuka laptop ketika notifikasi email masuk. Subjeknya membuat dadaku mencelos.
“Permintaan Klarifikasi Hubungan Personal - Tim HR”
Tanganku gemetar saat membukanya. Isinya singkat, tapi mengandung ancaman nyata. HR memintaku hadir dalam sesi klarifikasi lanjutan, kali ini bersama pihak hukum perusahaan.
Raka langsung tahu ada yang tidak beres dari ekspresiku. Saat kami bertemu di pantry kantor, dia menarikku ke ruang kecil di belakang yang biasa dipakai untuk brainstorming.
“Email dari HR?” tanyanya tanpa basa-basi.
Aku mengangguk pelan. “Mereka minta aku hadir, sekarang melibatkan bagian legal.”
Raka menghela napas keras, lalu menatapku. “Aku juga dapat Kita dijadikan contoh kasus , Mereka bilang ini bukan hanya soal hubungan, tapi soal integritas dan kode etik.”
Aku menggigit bibir, berusaha menahan emosi. “Mereka mau menjatuhkan kita, ya?”
“Bukan hanya kita, Nay. Mereka ingin tekan aku supaya keluar. Aku sudah terlalu vokal soal rencana merger divisi marketing dengan divisi luar, dan ada yang nggak suka.”
Aku mengernyit. “Jadi ini bukan cuma soal kita?”
“Hubungan kita dijadikan celah, tapi yang mereka incar adalah kekuasaanku di dalam,” jelas Raka. “Dan kamu, sayangnya, jadi collateral damage.”
Aku menunduk. Rasanya sakit sekali mendengar kata-kata itu. Tapi dalam hati aku tahu Raka tidak bermaksud menyakitiku. Justru dia sedang menunjukkan bahwa ini bukan tentang cinta semata, tapi juga permainan kekuasaan.
“Terus, langkah kita?” tanyaku pelan.
“Aku sudah siapkan lawyer. Dan Citra bantu kita dari sisi citra publik. Tapi kamu harus kuat, Nay. Kita mungkin akan diminta menandatangani surat pernyataan. Atau—”
“Disuruh memilih, antara hubungan atau karier,” potongku cepat.
Raka menatapku dalam-dalam. “Dan aku nggak akan nyuruh kamu milih, Nay. Karena aku tahu rasanya membangun karier dari nol.”
Air mataku hampir jatuh, tapi aku cepat-cepat mengalihkan pandangan.
“Aku nggak akan nyerah, Rak. Tapi kalau nanti semua ini terlalu berat buat kamu…”
Raka mendekat, tangannya menyentuh pinggangku dengan lembut, menarikku ke pelukannya. “Nggak ada yang terlalu berat selama kamu ada di sisiku. Aku bukan anak kecil yang gampang lari dari masalah. Kita lewatin ini sama-sama.”
Aku mengangguk dalam pelukannya. Di tengah segala tekanan, pelukannya masih jadi tempat ternyaman di dunia.
*
Siang itu, kami menghadiri pertemuan dengan HR. Di dalam ruangan, ada dua orang dari legal dan satu orang dari dewan direksi. Mereka menyodorkan dokumen berisi kronologi hubungan kami berdasarkan pengakuan beberapa staf dan tangkapan layar media sosial.
Aku merasa seperti pesakitan, ditelanjangi tanpa bisa membela diri. Tapi Raka, seperti biasa, tetap tenang. Dia bicara dengan tegas, menjelaskan semua fakta dan menolak sebagian narasi yang tidak berdasar. Bahkan saat HR mencoba menyudutkanku dengan pertanyaan bernada merendahkan, Raka memotong dengan lantang, membelaku tanpa ragu.
“Jika ada yang mempertanyakan profesionalisme Naya, tunjukkan buktinya. Tapi jangan pernah mengaitkan performanya hanya karena hubungan kami.”
Kalimat itu membekas di hatiku. Bukan karena ia menyelamatkanku—tapi karena ia mempercayaiku.
*
Saat hari mulai gelap, kami berjalan keluar dari kantor bersama. Hujan turun perlahan, dan Raka membuka payung, lalu menggenggam tanganku.
“Besok mungkin berita soal kita naik lagi. Mungkin makin parah tapi satu hal yang pasti, Nay...”
Aku menoleh, menatap wajahnya yang kini terlihat lelah tapi masih penuh keyakinan.
“Aku nggak akan ninggalin kamu. Bahkan kalau harus kehilangan jabatan ini, aku tetap milih kamu.”
Aku tersenyum dalam hujan. “Dan aku, kalaupun harus mulai dari nol, asalkan bareng kamu... aku nggak takut.”
Kami berjalan pelan menembus hujan malam. Dunia mungkin sedang berusaha merobohkan kami, tapi kami sudah terlalu dalam untuk mundur.
g bertele-tele 👍👍👍👍👍
😘😘😘😘😘😘
gmn klo a ny jdi e😩😩😩😩