Naila hanya ingin kuliah dan menggapai cita-cita sebagai jaksa.
Namun hidup menuntunnya ke rumah seorang duda beranak dua, Dokter Martin, yang dingin dan penuh luka. Di balik tembok rumah mewah itu, Naila bukan hanya harus merawat dua anak kecil yang kehilangan ibu, tapi juga melindungi dirinya dari pandangan sinis keluarga Martin, fitnah, dan masa lalu yang belum selesai.
Ketika cinta hadir diam-diam dan seorang anak memanggilnya “Mama,” Naila harus memilih: menyelamatkan beasiswanya, atau menyelamatkan keluarga kecil yang diam-diam sudah ia cintai.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Pengasuh Dadakan
Naila menggeleng cepat mengayunkan kedua tangan kiri kanan dengan cepat. "Bukan ... Bukan ... Tadi kebetulan ketemu. Tapi, ini—" Naila memberikan aba-aba agar beliau melihat kelakuan Rindu.
Nenek si bocah melirik Rindu yang terus nempel kayak perangko. Benar adanya, tangan Rindu terus saja menggenggam pakaian Naila, seakan takut si gadis asing ini lari darinya.
"Mama lihat sendiri. Aku tak bisa memisahkan mereka," gumam Martin dengan nada datar.
"Mau tak mau, kujadikan saja sebagai pengasuh Rindu," tambahnya lagi.
Ternyata, Naila tersentak karena disodorkan pekerjaan tanpa konfirmasi sama sekali.
"Tapi, Mama tak butuh bantuan pengasuh. Lagian bahaya tau gak, menyerahkan anak-anakmu yang masih kecil pada orang asing," ucap sang ibu dengan raut mengerut. Ibu itu mencoba menarik tangan Rindu.
Tapi, tangan sang nenek ditepis. Rindu kembali memeluk Naila dan bersembunyi di belakangnya.
"Naila, tadi kamu bilang gak punya tempat tinggal, tak punya uang, tak punya apa pun, habis dirampok. Sekarang, kamu mengasuh mereka saja," ucap Martin tanpa menunggu persetujuan gadis itu.
Ia berbicara seolah sedang menyampaikan perintah yang tak boleh dibantah. Nadanya tenang, tetapi tak memberikan kesempatan untuk berkompromi.
Terlihat sang gadis merenung, berpikir, dan di sana ada Rindu yang terus menempel kayak perangko yang sulit dilepas.
"Mama di sini aja, jangan pelgi jauh-jauh dali Lindu," ucap Rindu dengan penuh harap.
"Loh? Kok Rindu memanggilnya 'mama?' Dia ini bukan mama kamu, lho," ucap sang nenek meralat panggilan yang diberikan cucunya.
"Pokoknya ini mama Lindu. Mama udah pulang. Mama ga boleh pelgi agi," rajuknya menatap perempuan yang telah beruban itu di ujung mata.
"Aku tak tahu harus bagaimana lagi, sejak tadi Rindu tidak mau lepas melepaskannya. Daripada menjadi gila, ya udah jadi pengasuhnya saja. Biar bisa bantu-bantu Mama juga," terang Martin lagi.
Terdengar suara dering ponsel yang ditaruh di atas meja di ruang tengah. Dengan cepat ia meraih ponsel tersebut. "Ma, aku harus ke klinik secepatnya. Selebihnya, Mama aja yang urus." Ia menjawab panggilan tanpa sempat menoleh pada sang putri.
"Tadi saya dengar nama kamu Naila, kan?" tanya wanita tersebut tak henti memperhatikan Naila dari atas hingga ke bawah.
"Iya, Bu," jawabnya tergidik.
"Hm. Sekarang dengarkan saya baik-baik. Pakaian anak-anak harus disetrika, baju Rindu jangan dicampur dengan baju Reivan. Susu Reivan diminum jam sembilan dan jam satu siang. Dan Rindu benci wortel di makanannya."
Naila mengedip tak percaya, otaknya butuh beberapa detik untuk mencerna rentetan instruksi yang keluar bak peluru.
"Kalau malam, pastikan pintu pagar dikunci dua kali. Kalau minum, jangan dtambah es batu, nanti mereka bisa batuk. Dan satu lagi—"
"B-bu... Maaf, tapi saya belum—"
"Belum tahu rumah ini? Nanti saya tunjukkan kamar anak-anak, kamar tamu, dan dapur. Kamu tidur di kamar belakang. Di rumah ini, kami tidak menggaji orang yang tidak bekerja, paham?"
Naila menelan ludah. Ini bukan wawancara kerja. Ini pemberian jabatan secara sepihak.
"Apa lagi? Ayo kerja sanah!" Bu Juwita menggendong Reivan sembari memperhatikan Naila yang bekerja.
Seperti perintah awal, ia segera menyetrika baju-baju anak. Ternyata, pakaian mereka telah menggunung. Naila menghela napas dan segera melaksanakan yang tuga. Akan tetapi, tangan Rindu masih saja menggenggam pakaian Naila.
Diam-diam, Bu Juwita mengintip dari celah pintu kamarnya. Menggeleng geli melihat tingkah Rindu yang tak membiarkan Naila lepas sedikit pun.
Setrika panas bergeser pelan di atas kaus bergambar kelinci milik Rindu. Uapnya mengepul, membuat dahi Naila basah meski kipas angin menyala tepat di belakangnya. Tangannya bekerja, tapi pikirannya masih kusut. Belum satu jam berada di rumah ini, tapi hidupnya bergerak jauh dari impiannya.
"Rindu sayang, duduk manis dulu, ya? Nanti tanganmu kena setrika," bujuk Naila lembut.
Anak itu menggeleng, pipinya masih menempel di punggung Naila. "Ga mau. Mama nanti pelgi lagi."
Dengan tangan kiri, Naila menyeka peluh. Tangan kanan tetap bekerja sambil memastikan Rindu aman di belakangnya. Sesekali ia menoleh, melihat Reivan yang tidur di bouncer kecil di ruang tengah, diayun perlahan oleh Bu Juwita yang berpura-pura fokus membaca majalah.
“Mama Naila, haus?” tanya Rindu tiba-tiba.
Naila tersentak, baru tersadar. “Rindu yang harusnya minum dulu. Nanti Mama—eh, Kakak ambilin, ya?” Ia menggaruk kepala yang masih tertutup kerudung, terkekeh sendiri karena bingung harus memakai sapaan apa.
"Tapi jangan tinggalin Lindu." Rindu kembali mengikuti Naila.
"Iya, gak ditinggal kok."
Naila bangkit dengan tubuh terbungkuk-bungkuk, karena Rindu tetap bergantung di pinggangnya. Ia berjalan ke dapur bagai menyeret bocah itu seperti buntut layangan. Sesampainya di dapur, ia membuka kulkas dan semakin kebingungan.
"Yang mana ya punya Rindu ..."
"Botol hijau," suara Bu Juwita terdengar dari arah pintu.
Naila terlonjak kaget. "I-ibu dari tadi di situ?"
"Rumah ini rumah saya. Saya bebas berdiri di mana saja."
"Maaf, saya tak bermaksud—"
"Sepertinya kamu gak berpengalaman bekerja. Kelihatan banget, masih canggung," potong Bu Juwita tajam, tapi nada bicaranya lebih datar daripada sebelumnya.
Naila menunduk. "Iya, Bu. Saya memang belum pernah kerja menjadi pengasuh begini. Tapi, saya pengalaman ngasuh adik-adik di kampung halaman kok, Bu."
"Mengasuh adik dan mengasuh anak orang itu beda! Mau saya ajari?"
Naila menoleh ragu. Tak percaya, wanita galak itu tiba-tiba menawarkan bantuan.
Tapi wajah Bu Juwita masih datar. “Biar kamu nggak bikin cucu saya sakit, saya ajari dasar-dasarnya.”
Naila mengangguk kecil.
“Besok pagi kamu bangun jam lima. Biasanya, mereka sarapan jam enam pagi. Kalau Reivan rewel, tepuk-tepuk pelan bagian pantatnya, jangan diguncang terlalu keras. Dan Rindu—”
Ia menatap cucunya yang masih menempel seperti lem di pinggang Naila.
“Rindu memang anak susah lepas. Dulu bersama almarhum mamanya juga begitu.”
Suasana mendadak hening. Naila tak berani bertanya, tapi menaruh gelas minum di atas meja, lalu perlahan membawa Rindu kembali ke ruang tengah.
Dari balik pintu, Bu Juwita masih berdiri. Tatapannya mengikuti Naila dan Rindu yang kembali bergabung dengan Reivan.
Perempuan muda itu kini terduduk bersandar di lantai, Rindu tertidur di pangkuannya. Kedua tangannya masih memegang setrika, tapi matanya setengah sayu.
Sekilas, Bu Juwita melihat bayangan almarhum menantunya di wajah Naila. Bukan karena rupa, tapi karena cara memeluk, cara menatap... dan cara anak-anak bersandar seolah sudah mendapatkan kembali ibunya yang menghilang.
Bu Juwita menarik napas panjang. Mengerutkan keningnya.
"Jangan-jangan... si Martin sengaja membawa pulang anak ini," gumamnya pelan.
^^^Revisi tanggal 15 Mei 2025^^^