Bayangkan jika boneka porselen antik di sudut kamar Anda tiba-tiba hidup dan berubah menjadi manusia. Itulah yang dialami Akasia, seorang gadis SMA biasa yang kehidupannya mendadak penuh keanehan. Boneka pemberian ayahnya saat ulang tahun keenam ternyata menyimpan rahasia kelam: ia adalah Adrian, seorang pemuda Belanda yang dikutuk menjadi boneka sejak zaman penjajahan. Dengan mata biru tajam dan rambut pirang khasnya, Adrian tampak seperti sosok sempurna, hingga ia mulai mengacaukan keseharian Akasia.
Menyembunyikan Adrian yang bisa sewaktu-waktu berubah dari boneka menjadi manusia tampan bukan perkara mudah, terutama ketika masalah lain mulai bermunculan. Endry, siswa populer di sekolah, mulai mendekati Akasia setelah mereka bekerja paruh waktu bersama. Sementara itu, Selena, sahabat lama Endry, menjadikan Akasia sasaran keusilannya karena cemburu. Ditambah kedatangan sosok lain dari masa lalu Adrian yang misterius.
Namun, kehadiran Adrian ternyata membawa lebih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Khodijah Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seeking The Past
Adrian terlihat gembira berada di kawasan yang dikenalnya sedikit banyak. Ia melihat ke sekeliling layaknya anak kecil. Akasia yang mengamatinya jadi terhibur.
“Sekarang mau kemana nih? Mau beli apa?” Endry bertanya dengan bingung.
“Kita lihat-lihat aja dulu yuk, let's have fun!” Akasia menarik tangan Endry untuk mengejar Adrian. Endry yang tersipu menurut saja bagai kerbau dicucuk hidungnya. Saat Akasia menyadari tangannya tertaut dengan Endry, ia langsung melepas tangannya dengan salah tingkah, malu sendiri, ‘Kok jadi kecentilan begini? Nggak boleh genit-genit ya Akasia, nanti dikira agresif.’ Ia mengingatkan dirinya sendiri.
Endry duduk kelelahan di sebuah bangku yang ditemuinya. Sementara Akasia baru kembali dari membeli otak-otak bakar.
Adrian yang melihat Akasia lagi-lagi menenteng jajanan menggeleng-gelengkan kepala, “Nggak kenyang-kenyang kamu ya? Dari tadi jajan terus. Tadi sudah beli kue cubit, kue rangi, minuman es-esan, sekarang otak-otak, padahal sebelum ini baru juga makan siang.” Ia mengomentari gadis itu.
“Berarti kamu nggak mengerti cewek. Cewek memang punya perut terpisah buat jajanan. Dimana-mana cewek sama, suka jajan. Maklumin aja, masih dalam masa pertumbuhan.” Endry membela Akasia. Akasia langsung memberinya high five untuk tanda dukungan.
“Tau, dari tadi juga aku bagi kan, nggak makan sendiri.” Akasia membela diri, “Memang kamu doang yang boleh senang?”
“Jadi perempuan itu susah loh! Secara biologis tubuh perempuan butuh lebih banyak nutrisi daripada laki-laki untuk menambal kebutuhan produksi darah, kan setiap bulan keluar darah. Kasihan kalau kurang makan, banyak yang anemia, lemah, letih, lesu, belum lagi nyerinya, ya kan?” Endry menunjukkan empatinya. Adrian merasa tertandingi, ia kecele, ‘Bocah zaman sekarang kenapa banyak sekali tahunya? Aku aja nggak terpikirkan sampai kesana. Pamer!’ Pemuda Belanda itu kesal.
“Cuma heran aja kok.” Adrian jadi merasa sudah salah bicara, “Oke, habis ini kamu mau jajan apa? Aku jajanin deh.”
“Kerak telor boleh? Dimana ya yang enak?” Akasia tersenyum, tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini.
Mereka berjalan-jalan hingga keluar-masuk toko-toko yang ada. Akasia beberapa kali berhenti untuk membeli jajanan yang dimakannya sambil berjalan-jalan santai. Hingga suatu saat Akasia merasa ingin buang air kecil.
“Numpang aja tuh ke toko itu,” saran Endry sambil menunjuk toko terdekat.
“Temanin yuk, malu.” Akasia memohon pada kedua pria yang menyertainya. Adrian terlihat ilfeel dengan aksi manjanya, hanya Endry yang memakluminya dan maju.
“Yaudah, sama aku aja.” Endry menawarkan diri, “Nanti kumpul disini lagi ya.” Ia memperingatkan Adrian.
“Iya, cuma lihat-lihat sekitar sini kok.” Adrian paham dan menangkannya.
Selepas Akasia dan Endry masuk ke sebuah toko, Adrian memutuskan untuk melipir dari keramaian ke sebuah gang kecil di antara pertokoan, gang yang tidak banyak disadari orang keberadaannya.
Benar perkiraannya, di dalam gang tersebut sepi, hanya ada beberapa toko yang tutup dan sebuah toko barang antik yang menarik perhatiannya. Penasaran, Adrian masuk ke toko tersebut dan melihat-lihat barang yang dipajang.
Toko ini terasa tua, bangunannya pun seperti sisa peninggalan zaman Belanda. Pencahayaan di dalam toko temaram, membuat kesan toko semakin suram dan misterius. Adrian berkali-kali bersuara untuk memanggil penjaga toko, tapi tidak ada yang hadir mendatanginya. Ia menyerah dan fokus melihat barang-barang tua di sekitarnya. Matanya menangkap kilau sebuah kalung perak dengan liontin besar yang tampaknya bisa dibuka. Hatinya tertarik membuka liontin kalung tersebut, di dalamnya terdapat sebuah foto kecil. Meski terlihat kusam dan tua ia bisa mengenali figur di dalam liontin tersebut.
‘Ini fotoku kan? Kenapa bisa disini?’ Adrian melongok ke kanan-kiri, kebingungan dengan kebetulan ini. Ia tidak tahu pemilik liontin itu dan belum pernah melihatnya sebelumnya, tetapi jelas itu fotonya di masa lalu, ‘Apa ini milik keluargaku dulu?’ Ia menebak-nebak kemungkinan yang bisa terjadi. Ingin rasanya ia menebus liontin itu, hingga ia melihat seseorang di toko itu dan mengikutinya hingga masuk ke ruangan lain.
“Adrian kemana sih? Katanya bakal menunggu disini!” Akasia melongok kesana-kemari dengan kesal, matanya mencari-cari sosoknya.
“Lagi lihat-lihat di sekitar sini kali. Yuk, coba cari!” Endry mengajak Akasia untuk berkeliling mencari. Pemuda itu menangkap tangan Akasia dan menggenggamnya selagi berjalan.
Akasia terdiam dalam kecanggungan, ia merasa kikuk, wajahnya memerah tapi untungnya tidak disadari Endry yang sibuk celingak-celinguk mencari. Mereka masuk ke gang sepi yang tadi didatangi Adrian dan menemukan toko barang antik tersebut. Akasia curiga, menurutnya pemuda kolot itu pasti tertarik memasuki toko semacam ini, ia mengajak Endry untuk masuk ke dalam.
Di dalam bangunan toko perhatian keduanya sempat terpecah dengan banyaknya barang-barang kuno yang dipajang. Akasia menemukan sebuah tempat perhiasan berisi kalung dengan liontin besar yang menarik perhatiannya. Liontin perak itu masih cantik meski tampak seperti barang yang sudah sangat lama, ia menyentuh liontin itu dan terkejut dengan aliran listrik yang menjalari jarinya dari barang itu.
Selanjutnya Akasia mendapat gambaran aneh di penglihatannya, entah apa yang terjadi kepadanya. Ia seperti berada dalam sudut pandang seorang wanita yang berjalan melewati tanah berbatu. Tempat itu masih sangat asri, pepohonan rimbun berjejer di kanan-kiri hingga tampak menyerupai hutan. Sorot matahari sudah tidak terlalu terang, sepertinya hari sudah sore di tempat ini. ‘Aku dimana? Aku melihat ingatan siapa?’ Herannya meski mengikuti saja kisah yang ada di depannya.
Seorang pemuda berwajah oriental berseragam tentara mencegat wanita tersebut. “Hayashi-san?” Tegur wanita itu saat melihatnya.
“Kamu baru pulang? Mari kuantar, supaya lebih aman.” Tentara itu menawarkan diri.
“Tidak perlu, aku khawatir timbul kesalahpahaman,” wanita itu menolak dengan tegas. “Kamu sudah menerima undangan pernikahanku kan?” Ia memastikan sambil tersenyum.
“Tekadmu sudah bulat untuk itu? Apa kamu sudah memikirkannya dengan matang?” Hayashi mencoba membuat wanita itu berpikir ulang. Wanita itu mengangguk mantap.
“Kenapa dia? Kenapa bukan aku? Aku sudah terus terang mengenai perasaanku kepadamu, aku bisa melakukan banyak hal yang dia tidak bisa, aku lebih kuat dan berdikari, aku yakin aku bisa menjagamu dengan lebih baik.” Pemuda itu menanyakan kembali, hampir seperti memohon.
Kemuning memandang mata pemuda di depannya dalam-dalam, “Maaf, Taisho. Aku hanya menganggapmu sebagai kawan akrab, tidak lebih. Aku menghormatimu, aku bangga mengenalmu, tapi sebatas itu yang aku rasakan.”
Wanita pribumi itu tertunduk, “Aku berterimakasih kamu mengajari aku banyak hal, dan sejujurnya aku berharap kita masih akan berhubungan baik seterusnya selepas aku menikah. Tapi tampaknya aku terlalu serakah, maaf kalau selama ini perlakuanku membuatmu salah paham.” Wanita itu menjelasan penolakannya dengan halus.
“Tidak bisakah kau batalkan saja? Untuk apa menikahi pria Belanda manja itu?” Heran pemuda sipit di depannya.
“Jangan bicara buruk tentang dia! Jangan buat aku kehilangan rasa hormatku kepadamu, Taisho!” Ancam wanita itu marah.
“Ah aku mengerti!” Mata Hayashi berkaca-kaca menahan emosi, “Kamu pasti tertarik dengan kemakmuran keluarganya kan? Aku paham sekarang. Wanita pribumi sepertimu yang sudah muak dengan kehidupan yang sulit akan mencari cara termudah untuk memiliki kehidupan yang lebih baik.” Ia menyeringai yakin. Ia baru sadar pandangan wanita di depannya yang begitu sedih dan tersinggung dengan ucapannya, ada rasa bersalah yang menyeruak di dalam dada pria itu, tapi terbawa kesal ia abaikan saja.
“Jadi begitu kamu memandangku selama ini?” Wanita itu menyimpulkan dengan kecewa, sebulir air mata menetes dari matanya, “Aku cuma jatuh hati kepadanya, itu saja.”
Tangan Hayashi maju mengusap air mata wanita itu tanpa bisa dikontrolnya. Tentara Jepang itu sadar, ia tidak pernah sanggup melihat wanita didepannya ini menangis. “Maaf, aku keterlaluan. Aku tidak bermaksud mengatakan itu, aku cuma tidak terima dengan penolakanmu.” Pemuda itu menjelaskan dengan panik.
Pada akhirnya ia mengulurkan tangannya untuk merangkul wanita mungil itu, mendekapnya dalam pelukan. “Maaf, kumohon jangan menangis terus. Bagaimana kalau orang melihat dan salah sangka.
Tanpa mereka tahu, sepasang mata memperhatikan mereka dengan hati yang dipenuhi kekecewaan dan amarah yang meluap, ‘Benar kata Endo, mereka kelihatan mesra.’ Pikirnya, mengamini laporan yang datang kepadanya dari seorang bawahan Hayashi.
Adrian menatap wanita itu dengan tatapan penuh kekecewaan, “Aku sudah mengetahui apa yang kamu lakukan di belakangku. Selama ini aku sudah mentolerir kedekatanmu dengan Taisho itu, mustinya sudah kuduga ini akan terjadi!” Tembak Adrian di saat lain, ia murka.
“Kamu meracau apa?” Perempuan itu bingung, “Aku dengan Hayashi tidak ada apa-apa."
“Bohong! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kamu dipelukannya.” Adrian menyampaikan yang ia lihat.
“Maaf, perihal itu akan kujelaskan kepadamu. Dia menenangkanku karena dia membuatku menangis. Itu karena,”
“Tetap itu tidak dibenarkan,” Adrian menegaskan, “Aku ragu untuk melanjutkan pernikahan ini.” Keputusan pemuda itu membuat wanita itu terkesiap.
“Jangan sampai begitu lah. Aku minta maaf aku lengah sewaktu Hayashi mendekapku, itu karena aku sedih dia menghinamu dan menghinaku juga. Aku tidak punya hubungan apapun dengannya, tanya saja dia sudah berapa kali aku menolak perasaannya.” Wanita itu memohon, “Kumohon, jangan sampai ini mengacaukan rencana jangka panjang kita.”
“Kita batalkan saja, aku tidak ingin bersama dengan wanita yang bisa dekat dengan dua pria sekaligus.” Ucapan terakhir Adrian mencabik hati wanita itu.
“Aku akan tetap menunggumu di tempat yang kita sepakati untuk pernikahan kita.” Wanita itu berusaha tegar meski sambil terisak-isak.
“Jangan menungguku, aku tidak akan datang.” Adrian berlalu dengan dingin.
Di hari pernikahan mereka wanita itu bersiap dengan kebaya putihnya yang cantik dipadu kain batik terbaiknya untuk mendatangi tempat mereka menikah. Ia sempat berkaca untuk bersolek, disaat itulah Akasia baru menyadari wanita itu berwajah sangat mirip dengan dirinya. Akasia yang masih berada di sudut pandang wanita itu hanya bisa menonton tanpa berbuat apapun.
Wanita itu sampai ke tempat mereka seharusnya mengucapkan janji suci pernikahan, sebuah gereja khas kolonial yang cantik. Sinar mentari masuk melalui jendela yang dipasangi kaca berwarna warni, menyoroti ruang bagian dalam gereja menjadi lebih indah dan sakral. Wanita itu menunggu dan terus menunggu, harap-harap cemas. Ia berjalan bolak balik di dekat altar. Suara langkah kaki terdengar dari belakang, wanita itu sempat menoleh ke belakang dengan antusias, sebelum kembali kecewa menemukan bahwa yang datang bukan Adrian, melainkan Hayashi.
“Menyerah saja pada pria Belanda tidak bertanggung jawab itu, dia bahkan tidak mempercayaimu dan tidak peduli perasaanmu.” Pria nippon itu berjalan mendekatinya. “Aku bersedia menggantikannya kalau kamu mau. Aku tidak keberatan. Aku berjanji akan mempercayai dan menghargai setiap ucapanmu, menjaga perasaanmu agar kamu tidak pernah meneteskan air mata kesedihan lagi. Aku tidak sampai hati melihatmu diabaikan begini.”
Dalam hati ia mengagumi penampilan perempuan di depannya yang tidak biasa ini, 'Mengapa pula kamu bersolek secantik ini untuk dia?' Ia mendengus kesal, ia iri.
Perempuan itu tersenyum menyembunyikan kesedihannya, “Hayashi, anda pria baik. Aku mengerti itu, tidak ada sedikitpun yang kurang dari dirimu, tetapi aku tidak bisa menikahimu jika pikiranku dipenuhi bayangan pria lain. Aku cuma mencintai dia, cuma dia yang aku mau.”
Hayashi tersenyum lemah, “Jadi cuma dia yang bisa membuatmu bahagia, ya?” Hayashi menyerah melihat kesungguhan hati perempuan itu, “Kemuning, ingat ini, hingga kapanpun kamu wanita yang sangat berharga dimataku. Kapanpun dia menyakitimu atau membuatmu sedih, bilang padaku. Aku akan mengambilmu darinya, camkan itu!” Pesannya.
Hayashi berjalan meninggalkan Kemuning, menahan kesedihannya. Ia benci perpisahan tapi ia harus rela melakukannya. Saat ia keluar dari gereja, Taisho itu menangkap sosok Adrian berdiri agak jauh di samping gereja, menatapnya dengan sorot mata penuh kebencian. Pemuda Jepang itu menghampirinya dan baru saja ingin bilang sesuatu kepada pria Belanda itu ketika terdengar suara menggelegar yang ia kenal di belakangnya.
“DORRR!!!”
Wajah kedua pria yang bertatapan itu mendadak dipenuhi kengerian, mereka melesat ke arah suara, Kemuning.
Hayashi melihat ajudannya disana, Endo, yang selama ini ia percaya, menodongkan pistol yang baru saja melepaskan pelurunya.
“Perempuan bodoh! Taisho kami yang hebat sudah merendahkan dirinya sendiri untuk mengambil hatimu, ia akan melakukan apapun demi kau! Kenapa kamu masih berkeras hati menolaknya?” Endo berkata sebelum ia dilumpuhkan pemimpinnya sendiri. Hayashi menyingkirkan pistol anak buahnya demi menyergapnya dalam keadaan telungkup, sementara Adrian memeriksa tubuh Kemuning yang sudah berlumuran darah dari dadanya.
“Kumohon bertahan, jangan begini!” Adrian terisak-isak histeris melihat calon mempelainya tergeletak tidak berdaya, “Maafkan aku Kemuning, sekarang aku disini. Ayo kita menikah, ya! Maaf aku terlambat,” ia meracau panik, mencoba membebat lukanya dengan kain yang bisa ia temukan.
Tangan Kemuning menggenggam lemah tangan Adrian. Pemuda pirang itu mendekatkan telinganya ke bibir Kemuning yang bergerak lirih, “Terima kasih sudah hadir.” Bisiknya dengan bersusah-payah sebelum pupilnya mengecil, matanya terpejam, dan tubuhnya lunglai tidak merespon.
Adrian menangis histeris dan berteriak-teriak seperti orang gila, sementara Hayashi dalam keadaan hati yang hancur pun masih harus mengontrol diri dan meringkus anak buahnya yang telah membunuh pujaan hatinya.
Akasia kembali ke kesadarannya. Ia baru sadar Endry dan Adrian sudah berada di luar toko, memanggilnya berkali-kali.
“Kok malah melamun sih?” Protes Adrian, “Sini cepat!”
Akasia menghampiri mereka setengah berlari, “Kamu kecapekan ya?” Tanya Endry dengan perhatian.
Akasia menenangkannya, meski pikirannya masih berkecamuk mengenai kisah yang disaksikannya tadi. Ia tidak tahu apa yang terjadi padanya barusan. Diam-diam ia melirik Adrian. Setelah melihat kejadian itu ia tidak bisa melihat Adrian dengan perspektif yang sama lagi.
‘Apa itu benar-benar masa lalu Adrian yang dia rahasiakan selama ini?’ Akasia membatin. Ia tidak heran jika Adrian tidak mampu menceritakannya. Tragedi yang terjadi di depan matanya terasa pahit dan mengerikan, dan Akasia seakan bisa merasakan langsung perasaan wanita itu, Kemuning. ‘Kenapa dia mirip sekali denganku? Apa hubungannya denganku?’ Herannya.
semangat /Good/