Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.
Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.
Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?
PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16: Siapa Yang Bersamamu Semalam?
Cahaya pagi menelusup dari celah tirai kamar hotel, membentuk garis-garis keemasan di lantai. Udara masih lembab sisa malam. Di ranjang besar yang acak-acakan, Samantha terbangun perlahan, tubuhnya masih terasa lelah, kulitnya masih menyisakan jejak malam yang panjang. Tapi bukan cahaya yang membangunkannya.
Ponselnya bergetar di atas meja samping ranjang.
Dengan mata setengah terpejam, ia meraih ponselnya dan melihat nama yang terpampang di layar, Leonard.
Detik itu juga, jantungnya mencelos.
Nathaniel yang masih berbaring di sebelahnya, membelakangi, menggeliat ringan, namun mata tajamnya sebenarnya sudah terbuka sejak ponsel itu bergetar. Ia tak mengucap sepatah kata pun, tapi telinganya siaga.
Samantha mengangkat panggilan itu, membiarkan suaranya terdengar seramah mungkin, meski tubuhnya masih terbalut selimut dan aroma lelaki lain.
"Halo?"
"Sayang..." suara Leonard terdengar pelan, penuh kehangatan. "Kamu sudah bangun? Maaf kalau mengganggu. Aku hanya ingin tahu, semalam kamu tidur nyenyak?"
Samantha menelan ludah, menyandarkan punggung ke headboard, menyibak sedikit rambutnya yang kusut.
"Aku baik," jawabnya pelan, menatap lurus ke jendela. "Tidurku cukup."
"Kamu sempat makan malam, kan? Makanan di hotel itu sesuai seleramu?" lanjut Leonard, terdengar tulus dan penuh perhatian. "Aku sempat lihat ulasan tempatnya, kelihatannya enak."
Samantha terdiam sejenak, menahan napas. Suara Leonard, lembut dan hangat itu, seakan menyentuh sisi dalam dirinya yang nyaris mati. Ia ingin menjawab dengan jujur, ingin menceritakan betapa ia merasa kotor dan penuh rasa bersalah.
Namun sebelum sempat berkata lebih, tangan besar Nathaniel menyibak selimut di tubuhnya, mencium bahunya dengan malas, lalu dengan sengaja menekan tubuhnya dari belakang, gerakan kecil tapi jelas bernuansa mengklaim. Samantha menegang.
"Kamu masih di sana?" suara Leonard bertanya dengan lembut.
Samantha mencoba tersenyum meski tak terlihat. "Ya… aku masih di sini. Maaf, aku sedang… membereskan sesuatu."
Nathaniel tak berhenti. Tangannya bergerak di pinggang Samantha, membelai dan menekan, menuntut perhatian. Lalu ia mencium leher Samantha pelan, napasnya hangat dan sengaja didekatkan ke mikrofon ponsel.
"Aku harus pergi, Leon," ucap Samantha cepat, menggigit bibirnya, menahan desah dan amarah yang berdesakan. "Aku hubungi kamu nanti, ya."
"Baik, jaga dirimu, Sam." suara Leonard tetap hangat meski terdengar sedikit kecewa. "Aku mencintaimu."
Panggilan terputus.
Samantha meletakkan ponselnya dengan gerakan cepat dan menatap Nathaniel tajam. "Kau tidak punya hak mengganggu saat aku bicara dengannya."
Nathaniel hanya tersenyum tipis, lalu bersandar malas ke bantal, tangan masih menjulur ke tubuh Samantha.
"Aku hanya mengingatkan siapa yang benar-benar bersamamu semalam," ucapnya ringan. "Dan siapa yang cuma bisa bertanya lewat telepon."
Kalimat itu menghantam seperti tamparan halus. Samantha menatapnya lama, lalu bangkit dari ranjang dan menuju kamar mandi tanpa berkata apa pun.
Di balik pintu, air mengalir deras. Namun air tak pernah cukup untuk membersihkan luka yang terus tumbuh di antara kebohongan, hasrat, dan kepura-puraan.
...****************...
Setelah pagi yang ganjil dan sunyi, Samantha keluar dari kamar mandi dengan wajah segar namun mata yang tetap menyimpan kelelahan. Nathaniel telah selesai berpakaian, mengenakan setelan santai, kemeja linen biru muda yang digulung sampai siku dan celana bahan abu-abu. Parfum kayu manisnya menguar halus, menciptakan aura elegan dan hangat yang kontras dengan dingin sikapnya tadi.
"Kalau kau tidak sibuk mencemaskan teleponmu, kita bisa sarapan bersama. Aku tahu tempat yang bagus," ujarnya datar, namun matanya melirik Samantha dengan intensitas yang sulit diartikan, entah sebuah permintaan, atau perintah.
Samantha tidak menjawab, hanya mengambil tasnya dan mengangguk pelan.
Mereka berjalan menyusuri trotoar Manhattan, di antara lalu lalang orang-orang yang sibuk mengejar waktu. Gedung-gedung tinggi berdiri angkuh, dan aroma kopi dari kedai-kedai kecil di pinggir jalan menyatu dengan semilir angin pagi. Nathaniel berjalan di sebelahnya, kadang menoleh untuk memastikan Samantha tak tertinggal.
Mereka berhenti di sebuah bistro kecil di sudut jalan, tempat yang tenang dengan jendela besar dan cahaya matahari yang jatuh lembut ke meja-meja kayu. Nathaniel memesan dua kopi hitam dan croissant almond untuk Samantha, tanpa bertanya. Anehnya, pesanan itu tepat. Samantha hanya meliriknya sekilas.
"Masih menguntitku diam-diam rupanya," gumamnya datar.
Nathaniel tersenyum tipis. "Aku hanya memperhatikan. Ada bedanya."
Sarapan berlangsung dalam percakapan seadanya. Sesekali mereka berbicara tentang proyek malam ini, klien yang akan mereka temui, dan rencana presentasi. Namun selebihnya hanya diam. Namun di antara keheningan itu, terasa sesuatu yang mendidih, seperti kota di luar sana yang terus bergerak tanpa peduli perasaan manusia di dalamnya.
Usai sarapan, mereka berjalan menyusuri Central Park. Daun-daun musim semi mulai tumbuh, bunga tulip mekar di beberapa sudut, dan pasangan-pasangan muda bersantai di bangku taman. Samantha dan Nathaniel tampak seperti dua orang pebisnis yang sedang menikmati pagi hari sebelum urusan serius dimulai, tidak ada yang tahu badai apa yang tersembunyi di balik sorot mata mereka.
Samantha berhenti sejenak di tepi danau, memandangi air yang tenang. Nathaniel berdiri di sebelahnya, sangat dekat hingga bahu mereka bersentuhan.
"Kenapa mengajakku ke sini?" tanya Samantha, tanpa menoleh.
Nathaniel menatap ke depan, suaranya pelan namun tegas. "Karena aku ingin kau mengingat hari ini. Bukan karena urusan bisnis. Tapi karena kau bersamaku, di tempat yang seharusnya."
Samantha menghela napas. Jiwanya lelah oleh banyak hal. Namun hari ini, untuk sementara, ia membiarkan dirinya larut. Malam nanti akan kembali menjadi milik mereka, dalam permainan yang makin sulit ditebak ujungnya.
...****************...
Samantha berdiri di depan lemari hotel yang luas dan elegan, jemarinya menyusuri kain-kain mahal yang tergantung di dalamnya. Dua gaun malam tergenggam di tangannya, satu berwarna hitam dengan potongan punggung terbuka, satunya lagi merah anggur dengan belahan tinggi di sisi paha. Di pantulan cermin, wajahnya tampak ragu.
Suara ketukan pelan terdengar dari pintu kamar.
Nathaniel muncul di ambang pintu, sudah mengenakan kemeja putih yang digulung sampai siku dan celana panjang abu gelap yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Dasi masih tergantung longgar di leher, matanya langsung tertuju pada Samantha yang berdiri hanya dengan balutan dress tipis dan rambut tergerai setengah basah.
"Kau butuh bantuan memilih?" tanyanya santai, lalu melangkah masuk tanpa menunggu jawaban.
Samantha menoleh cepat, agak gugup, tapi tak berusaha mengusirnya. "Aku tidak yakin. Yang merah ini terlalu mencolok… yang hitam terlalu formal."
Nathaniel mendekat, mengambil kedua gaun dari tangannya lalu menggantungnya di sisi lemari. "Yang merah," katanya tanpa ragu. "Warnanya akan mematikan di bawah lampu ballroom. Dan… belahan pahanya sangat cocok dengan kaki jenjangmu."
Samantha menahan napas. Cara Nathaniel mengatakan itu, datar, tenang, tapi penuh intensi, membuat lehernya terasa panas.
Beberapa menit kemudian, mereka turun bersama ke salon hotel. Nathaniel duduk di sofa lounge, menunggu sambil memutar ponselnya, sesekali mengangkat wajah untuk mencuri pandang ke arah Samantha yang tengah ditata rambut dan wajahnya. Ia tidak menyembunyikan kekagumannya. Pandangan mata pria itu tak berpindah, seperti memandangi sebuah karya seni yang tak ingin ia lewatkan setiap prosesnya.
"Kau tahu," katanya ketika Samantha kembali duduk di sampingnya setelah semuanya selesai, "kadang aku lupa, kau bukan hanya cerdas dan kompeten… kau juga bisa terlihat seperti bencana bagi hati siapa pun."
Samantha mendesah pelan, mencoba bersikap biasa. "Jangan mulai malam ini, Nathaniel. Kita ada acara formal."
Nathaniel tersenyum miring. "Terlalu terlambat. Aku sudah menginginkanmu sebelum kita sampai New York."
Ia berdiri, merapikan jasnya. Lalu menawarkan tangan padanya. "Kita akan membuat malam ini berkesan. Dan jangan khawatir… semua mata akan memandangmu, tapi hanya aku yang tahu apa yang kau kenakan di bawah gaun itu."
Samantha menggenggam tangannya dengan napas yang tertahan. Malam baru saja dimulai, dan permainan antara mereka kembali menyala di tengah gemerlap New York.