"Kamu tahu arti namaku?" Ucap Acel saat mereka duduk di pinggir pantai menikmati matahari tenggelam sore itu sembilan tahun yang lalu.
"Langit senja. Akash berarti langit yang menggambarkan keindahan langit senja." jawab Zea yang membuat Acel terkejut tak menyangka kekasihnya itu tahu arti namanya.
"Secinta itukah kamu padaku, sampai sampai kamu mencari arti namaku?"
"Hmm."
Acel tersenyum senang, menyentuh wajah lembut itu dan membelai rambut panjangnya. "Terimakasih karena sudah mencintaiku, sayang. Perjuanganku untuk membuat kamu mencintaiku tidak sia sia."
Air mata menetes dari pelupuk mata Zea kala mengingat kembali masa masa indah itu. Masa yang tidak akan pernah terulang lagi. Masa yang kini hanya menjadi kenangan yang mungkin hanya dirinya sendiri yang mengingatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepura-puraan
Hari ini Zea tidak bisa fokus, beberapa kali dia salah membuatkan pesanan pelanggan. Meri yang menyadari kegundahan hati Ibu boss nya itu pun segera memberi saran agar Zea istirahat saja.
"Mbak titip kafe sama kamu, Mer. Mbak ada urusan penting."
"Iya, mbak."
"Tutup Cafe seperti biasa. Kalau ada apa apa langsung telpon saja!"
"Baik, mbak."
Zea pun pergi meninggalkan Kafe. Tujuannya tentu saja panti. Dia ingin mencari sesuatu disana yang mungkin saja berkaitan dengan liontin milik Bundanya yang dia temukan terkubur di salah satu pot bunga di rumah kaca kediaman keluarga Sandrio.
Begitu tiba di panti, dia langsung meminta bantuan Ibu panti untuk mencari barang miliknya saat pertama tiba di panti 20 tahun yang lalu.
"Apa yang kamu cari, nak?"
"Kalung Bunda, Buk..." terus mencari di kardus barang barang miliknya.
Sebentar Halimah melangkah menuju kamarnya, kemudian dia kembali menemui Zea. "Kalung ini, kan?" menunjukkan kalung berliontin sama dengan yang dia temukan di rumah kaca.
"Apa ini kalung Bunda, Buk?" Mengambil alih kalung itu dari tangan Halimah untuk kemudian dia cocokkan dengan liontin yang ada di tangannya.
"Apa Bunda punya dua kalung dengan liontin yang sama?"
Halimah mengambil alih liontin usang itu untuk kemudian dia perhatikan lebih teliti lagi.
"Dimana kamu mendapatkan liontin ini, nak?!" Tanya Halimah terkejut tak percaya setelah melihat lebih teliti liontin itu.
"Di rumah mertuaku, Buk."
Halimah terjatuh duduk dilantai sambil memeluk erat liontin usang itu.
"Buk, ada apa. Ibu kenapa?!"
"Ini... liontin ini milik Sanah, adik Ibu."
"Apa?! Liontin ini milik Uma Sanah..."
"Iya, nak. Liontin ini mirip dengan milik almarhum Bundamu. Sanah membelinya saat kamu sudah di panti. Katanya dia suka liontin kalung yang kamu pakai, karena itu dia membeli yang sama."
"Lalu, mengapa liontin ini bisa berada di rumah itu, Buk?"
"Ibu juga tidak tau pasti. Yang Ibu ingat sebelum Sanah meninggal, dia mengatakan kejahatan menantu keluarga Sandrio akan terbongkar."
"Uma Sanah pernah berurusan dengan keluarga suamiku, Buk?"
Halimah pun mulai menceritakan, dua belas tahun yang lalu, Sanah pernah mendapat pelecehan dari seorang karyawan yang bekerja di rumah bakti sosial perlindungan perempuan. Sanah pun mencoba melaporkan pada Alia tentang kejadian itu. Bukannya membantu atau memberi perlindungan seperti seharusnya, Alia malah membalikkan fakta seakan akan Sanah mengancam akan melaporkan keburukan rumah bakti sosial.
Singkat cerita, Sanah tertabrak mobil dan mengalami geger otak parah hingga pendaran berkepanjangan dan dia pun meninggal dunia tanpa tahu kejadian sebenarnya, apakah dia murni kecelakaan ataukah kecelakaan itu direncanakan oleh seseorang.
Mendengar cerita itu membuat Zea merinding gemetar. Dia pun mulai menerka nerka apa yang sebenarnya telah dilakukan Mama mertuanya itu. Dia pun mulai bertanya tanya, apakah kecelakaan yang dialami Sanah ulah Alia dan pak Handi atau murni kecelakaan.
"Mengapa ibu baru mengatakan cerita itu sekarang?"
"Maafkan Ibu, nak. Ibu tidak punya pilihan lain selain bungkam demi keselamatan kalian semua anak anak Ibu."
Halimah menangis membuat Zea memeluk erat wanita baik itu. Dia sudah terlalu banyak berkorban demi melindungi anak anak yang bukan darah dagingnya. Zea sampai tidak bisa berkata kata setelah mendengar semua cerita menakutkan itu. Ada penyesalan dalam dirinya karena dulu tidak pernah bercerita saat pertama mengenal Akash hingga jatuh cinta dan berakhir dikirim ke Negara antah berantah.
"Maafkan aku, Buk..."
"Mengapa kamu minta maaf, nak. Kamu tidak melakukan kesalahan apapun. Ibu tahu, kamu dipaksa oleh Akash untuk kepentingannya mewarisi perusahaan. Ibu malah khawatir, keluarga itu akan menyakiti kamu. Ibu sangat khawatir, nak."
"Aku akan baik baik saja, Buk. Sejauh ini suamiku tidak menunjukkan hal yang terlihat akan menyakiti aku."
"Ibu selalu berdoa, semoga kamu tidak bernasip malang seperti Rudi dan Sanah." bisiknya sambil menahan pilu diulu hatinya.
Zea hanya bisa memeluk wanita baik itu. Membayangkan betapa hancur hatinya setelah ditinggal oleh dua anggota keluarga yang sangat dia sayangi. Yang lebih membuat Zea geram dan marah, tentu karena kematian Rudi dan Sanah kemungkinan ulah Alia dan Handi.
.
.
.
Setidaknya Zea merasa lega karena kedua orangtuanya tidak punya hubungan apapun dengan keluarga Sandrio terutama Alia dan Handi. Namun, meski begitu dia tidak akan tinggal diam dengan apa yang telah terjadi pada Rudi dan Sanah.
"Aku akan mencari tahu semuanya. Akan aku bongkar kejahatan kalian!"
Zea memasang kembali kalung pemberian almarhum Bundanya. Kalung itu seakan memberi kekuatan untuk melanjutkan kehidupannya, terutama saat ini dia telah terjebak di istana megah berhawa panas seperti neraka.
"Mbak, kita pulang duluan." pamit beberapa karyawannya.
"Hati hati dijalan. Langsung pulang ke rumah ya!"
"Iya, mbak." Sahut mereka berbarengan.
"Mbak juga harus pulang, istirahat." ucap Meri sebelum dia ikut pulang bersama teman temanya.
"Iya, Mer. Bentar lagi mbak juga langsung pulang."
Setelah semua orang pulang, selesai memeriksa keadaan Kafe, barulah Zea pulang dengan menaiki taksi. Begitu tiba di rumah utama, dia disambut oleh mama mertuanya yang tersenyum manis padanya.
"Sudah pulang!"
"Iya, Nyonya."
"Eits jangan panggil Nyonya. Panggil Mama saja." bisiknya yang diangguki oleh Zea.
"Saya dengar kamu pintar masak ya?"
"Iya, Ma."
"Nah kebetulan, didalam ada tamu saya. Jadi, bolehlah kamu masak untuk jamuan makan malam tamu saya. Sekalian saya bisa membanggakan bahwa menantu saya pintar masak."
"Iya, Ma. Tapi, aku sholat isa dulu ya, Ma. Tadi gak keburu, di Kafe rame."
"Oh tentu boleh. Tapi jangan lama lama. Kasihan tamu saya kalau nunggu terlalu lama."
"Hanya sebentar kok, Ma."
Alia pun menggandeng Zea masuk ke rumah, dia sengaja memperlakukan Zea dengan mesra, karena tamunya adalah wanita yang menjadi korban penganiayaan suaminya. Alia membawa wanita bernama Jihan itu ke rumahnya untuk menunjukkan betapa keluarganya sangat menyayangi seorang menantu meski berasal dari keluarga miskin.
"Zea, ini Jihan tamu Mama."
Jihan langsung berdiri mengulurkan tangan kearah Zea yang segera menyambut uluran tangan wanita muda itu. Ya, Zea yakin wanita ini lebih muda darinya.
"Zea ini menantu saya. Dia punya Kafe sendiri dan memilih mengurus kafenya secara langsung. Dia luar biasa, meski sudah menjadi menantu di keluarga Sandrio, dia tetap rendah hati dan sederhana." puji Alia dihadapan Jihan dan kedua orangtua Jihan.
"Jihan, Buk, Pak, saya izin pamit ke atas dulu sebentar. Setelah itu, saya akan memasakkan makan malam."
"Loh, Zea. Kamu baru pulang, pasti capek. Biar bibik saja yang masak makan malam untuk tamu kita, nak." ucap Alia berpura pura dan Zea hanya tersenyum menanggapi mertuanya yang sedang berakting dihadapan tamunya.