My Mysterious Husband

" Tu..tuan Jave"

Didalam hotel mewah milik Ailyn, terlihat Mina yang sedang gugup karena harus berhadapan dengan calon suami nonanya itu.

Ia sampai tidak berani menatap wajahnya apalagi jika harus bertatap mata dengannya.

" Ada perlu apa? "

Jave menghentikan aktivitas menyisir rambutnya, karena hari ini ia harus bersiap untuk acara pernikahannya dengan Ailyn.

" I.. Ini milik anda " Mina menyerahkan sebuah arloji dari balik saku apron nya.

" Apa ini sudah selesai diperbaiki?" Jave mengambil arloji nya dengan antusias.

" Bibi Jane bilang, dia sudah berusaha semaksimal mungkin tapi.. " Mina menghentikan ucapan nya.

" Tapi apa? " tanya Jave penasaran

" I..itu hanya bisa dipakai sekali tuan, karena sudah tidak bisa disempurnakan kembali" jelas Mina masih gugup.

" Tidak masalah, terimakasih sudah mengantarkannya padaku, kau bisa kembali bekerja"

" Baik tuan".

Sepeninggalan Mina dari ruang tempat nya bersiap, Jave kembali mengamati arloji yang kini sudah berada di genggaman tangannya. Masih terlihat sedikit retakan yang cukup dalam di sudut kaca arloji tersebut.

" Hanya satu kali ya" gumam Jave kecewa.

Bukannya merasa senang akan kembali ketempat asalnya, ia malah merasa gusar. Karena sudah terlanjur menyimpan rasa kepada gadis jelita yang akan dinikahinya hari ini.

Sudah beberapa menit lamanya ia terdiam termenung, memikirkan keputusan apa yang akan diambilnya saat ini. Namun selalu saja muncul bayangan Ailyn dalam benak nya.

" Aku harus menemuinya".

Jave mengantongi arloji tersebut kedalam saku celananya. Lalu berjalan ke luar ruangan untuk menemui calon mempelai wanitanya.

°°°

Di rumah kediaman Smith, tampak nyonya Lamia yang sedang berbincang serius dengan adik kandungnya.

" Maye, kali ini aku butuh anak buah mu untuk melancarkan sebagian rencanaku" nyonya Lamia memulai obrolan

" Rencana apa yang kau maksud?" tanya bibi Maye penasaran

" Rencana pelenyapan rubah betina !" ujar nyonya Lamia antusias.

" Kukira kau sangat menyayanginya, sampai mengadakan puluhan kali perjodohan untuk anak h*ram itu" sanggah bibi Maye heran

" Aku memang pernah menyayanginya, saat suamiku masih hidup, namun berbeda dengan sekarang, semakin melihatnya rubah itu semakin mirip dengan wanita perusak rumah tanggaku" jelas nyonya Lamia mulai meradang.

" Baiklah aku mengerti, jadi bagaimana aku harus membantumu?"

Mereka kembali melanjutkan diskusi dengan raut wajah yang penuh dengan kebencian.

...----------------...

Jave menghentikan langkah kakinya tepat di depan sebuah ruangan.Terlihat dari pantulan cermin, wajah Ailyn yang berseri karena bahagia. Kali ini ia sangat merasa gusar.

" Apa aku terlihat cantik?" tiba-tiba Ailyn mengajukan pertanyaan, karena sadar sedang dipandangi.

" Ya, kau cantik"

Jave menghampiri calon mempelai nya, lalu duduk di sofa dekat dengan meja rias Ailyn.

Ia kembali memandang wajah yang kini terlihat merona karena pujian yang diucapkan nya barusan.

" Apa kau sudah selesai bersiap? lihat, dasimu saja masih berantakan begini"

Ailyn mulai mendekat kepada calon suami nya itu. Jemari lentiknya terlihat sibuk merapikan dasi pria tampan dihadapannya tersebut.

" Ada hal penting yang harus ku katakan" Jave menggenggam kedua pergelangan tangan Ailyn, untuk menghentikan aktivitasnya.

" Katakan saja, jangan hiraukan aku" Ailyn kembali melanjutkan merapikan dasi

" Aku akan kembali" Jave mengeluarkan Arloji dari balik saku celana nya.

Ailyn yang melihat arloji milik Jave, menghentikan aktivitas nya. Ia menatap Jave dengan kecewa, lalu kembali duduk di depan meja riasnya. Entah mengapa hatinya begitu sakit, seperti tertusuk puluhan belati.

Namun ia kembali tersadar dengan tujuan awalnya. Untuk segera menghentikan perjodohan yang dibuat ibu tirinya.

" Bisakah kau menundanya sebentar ?, hanya sampai peresmian pernikahan kita" ujar Ailyn menahan sakit hatinya.

" Tentu saja" ujar Jave lirih.

Jave beranjak dari sofa, ia mulai melangkah keluar ruangan. Perasaan nya kali ini sama persis dengan apa yang Ailyn rasakan, sakit.

Lagipula ia tidak mungkin hidup bersama dengan manusia. Karena umur manusia yang tidak lama, hanya akan menyakiti dirinya. Ia akan terus merasakan kehilangan jika semakin lama berada di dimensi ini.

Karena perasaan gusar yang tak kunjung hilang, Jave keluar dari hotel. Ia mulai menyusuri taman bermain yang tepat berada dibelakang hotel. Taman tersebut begitu ramai, banyak anak-anak balita yang tengah bermain gembira bersama dengan teman-teman dan orang tuanya.

Kini pandangannya tertuju pada sebuah keluarga kecil yang sedang tertawa bahagia bersama buah hati kecilnya. Sepintas ia membayangkan, dirinya dan Ailyn berada dalam posisi tersebut.

Duk !

Seketika lamunan Jave terhenti, karena sebuah bola tepat mengenai kakinya.

" Paman, kembalikan bolaku !"

Dari kejauhan tampak seorang anak lelaki bertopi baling-baling berlari menghampiri Jave yang tengah berdiri dengan bola di dekat kakinya.

" Ah aku lelah, Ayo tendang saja paman !" seru bocah tersebut .

Jave yang merasa dimintai tolong segera mengambil ancang-ancang untuk menendang bola dihadapannya itu.

DUAAKK !

Jave menendang nya dengan kencang, membuat bola melambung tinggi lalu menghilang ditelan langit.

" Huaaaaa ! paman jahat ! "

Seketika raut wajah bocah bertopi baling-baling tersebut berubah menjadi tangisan. Jari telunjuk kecilnya menunjuk kearah Jave, membuat orang-orang yang berada ditaman menoleh serentak kearah nya.

" Aku akan menggantinya"

Jave berlari meninggalkan taman tersebut, ia mencari bola yang dihilangkannya. Ia mulai mencari tempat yang sepi, menengok ke kanan dan kekiri agar tidak ada yang melihat aksinya.

Setelah dirasa aman, ia melompat keatar gedung pencakar langit. Sorot matanya begitu fokus mendeteksi benda bulat itu.

" Ah ketemu ! "

Dengan sekejap, ia melompat ke arah bola yang tersangkut di salah satu menara jaringan listrik di daerah tersebut.

Setelah mendapatkan bolanya, ia kembali bergegas menuju ke taman bermain tempat bocah bertopi baling-baling bermain.

Sesampainya ditaman bermain, niat hati ingin mengembalikan bola nya, ia malah melihat bocah bertopi baling-baling tampak tertawa riang bermain dengan bola baru bersama teman-temannya.

Jave tersenyum tipis, perasaan nya mulai berangsur membaik. Ia merasa tidak apa-apa jika nantinya memang harus meninggalkan Ailyn. Seperti bocah bertopi baling-baling yang tampak bahagia dengan bola baru nya. Ailyn pasti bisa segera melupakan nya jika bertemu dengan pria lain.

" Hey kau ! " Jave memanggil seorang anak perempuan dengan pita rambut yang terikat lucu di atas kepalanya.

Dengan perlahan, anak tersebut menghampiri Jave, ia terlihat ragu dengan Jave.

" Berikan ini pada anak itu, ini permen untuk mu"

Melihat beberapa permen dari tangan Jave, gadis kecil itu segera mengambil nya sambil tersenyum senang.

" Terimakasih paman !"

Gadis kecil itu berlari sembari membawa bola, lalu memberikannya ke bocah bertopi baling-baling. Bukannya senang bolanya kembali, bocah bertopi baling-baling malah kembali menangis memeluk bola kesayangannya itu.

Dirasa sudah lumayan lama meninggalkan hotel, Jave memutuskan untuk kembali ke hotel, karena mungkin saja Ailyn sedang mencarinya.

Beberapa menit berjalan, kini pria tampan kharismatik tersebut mulai memasuki lobi hotel. Suasana tampak biasa saja. Namun suasana menjadi berbeda setelah ia mendapati Mina yang tergesa menghampirinya.

" Tuan ! anda dari mana saja?!" Mina tampak panik dengan kegelisahan yang memenuhi raut wajahnya.

" Dari taman" jawab Jave santai

" Segera ikuti saya !"

Dengan cekatan, Mina menggiring Jave menuju ruangan tempat Ailyn merias diri. Ia sengaja tidak memberi tahu staff lain karena tidak ingin memancing keributan dihari bahagia nonanya tersebut.

Sesampainya di ruangan yang dituju, Jave merasa bingung, karena benda-benda didalam ruangan itu sudah kacau berantakan. Namun, sorot matanya hanya terfokus pada sebuah cermin meja rias, yang bertuliskan SELAMAT TINGGAL berwarna merah gelap.

" Saya sudah mencari nya kemana-mana, tapi nona tidak ada " Mina mulai terisak.

Jave mulai mendekati cermin tersebut, mengamati kalimat yang tertulis dipermukaannya.

" Saya sudah mengecek nya, hiks. Itu bukan tulisan nona" jelas Mina masih terisak.

Seketika Jave menyadari akan adanya bahaya yang sedang mengancam calon mempelai wanitanya. Ia segera berlari keluar ruangan, mulai menaiki lift menuju atap gedung hotel mewah tersebut.