Dua tahun Sitha dan Danu berpacaran sebelum akhirnya pertunangan itu berlangsung. Banyak yang berkata status mereka lah yang menghubungkan dua sejoli itu, tapi Sitha tidak masalah karena Danu mencintainya.
Namun, apakah cinta dan status cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan?
Mungkin dari awal Sitha sudah salah karena malam itu, pengkhianatan sang tunangan berlangsung di depan matanya. Saat itu, Sitha paham cinta dan status tidak cukup.
Komitmen dan ketulusan adalah fondasi terkuat dari sebuah hubungan dan Dharma, seorang pria biasalah yang mengajarkannya.
Akankah takdir akhirnya menyatukan sepasang pria dan wanita berbeda kasta ini? Antara harkat martabat dan kebahagiaan, bolehkah Sitha bebas memilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kirana Pramudya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memang Belum Jodoh
"Jodoh itu seperti itu, Sat. Kadang sudah pacaran ada satu tahun lebih. Lalu, tiba-tiba terjadi hal yang tidak disangka-sangka hingga pernikahan batal. Artinya memang Danu bukan jodohnya Sitha. Beda cerita lagi dengan kamu yang berusaha mendapatkan Indi akhirnya berakhir di pelaminan, berarti memang jodoh. Doanya Rama, Adekmu mendapatkan sosok pria yang tepat," kata Rama Bima di dalam mobil.
"Satria sendiri merasa ini tepat, Rama. Seorang pria yang tak mau mengakui salahnya, dia berani bertanggung jawab adalah bukti mereka belum dewasa. Sitha beruntung malahan," pendapat Satria.
Rama Bima tersenyum tipis. Pria paruh baya itu menganggukkan kepalanya. "Rama yakin, usai ini keluarga Sutjipta akan meminta ganti rugi kepada kita. Dari ceritanya Ibumu, mereka sudah memesan ballroom hotel, katering, hingga batik tulis yang mahal. Siap-siap saja."
"Apa perlu Satria bantuin Rama?"
"Tidak perlu. Rama bisa dan masih mampu. Semua itu tak berarti, Sat. Yang penting Sitha bahagia."
Satria menganggukkan kepalanya. Satria sendiri juga memiliki anak perempuan, sebagai seorang Papa pasti Satria juga menginginkan yang terbaik untuk putrinya. Satria terus mengemudikan mobilnya sampai mereka tiba kembali di rumah. Di pelataran rumah, Bu Galuh dan Indi tampak menunggu. Keduanya bahkan berdiri ketika mobil besar warna hitam itu memasuki halaman rumah.
"Rama, Sat ...."
"Ibu nungguin?" tanya Satria.
"Iya," balas Bu Galuh.
"Sudah selesai, Bu. Rama sudah menyampaikan semuanya."
Satria kemudian berdiri di dekat Indi. "Sudah selesai, jangan terlalu kepikiran. Justru inilah yang terbaik bukan? Sitha di mana?" tanya Satria.
"Di dalam bercanda tuh sama empat keponakannya."
Sitha memang berada di dalam bercanda dengan Nakula, Sadewa, Nika, dan Shika. Keempatnya kemudian masuk ke dalam rumah, Satria dari jauh menatap adiknya itu. Kasihan rasanya karena akad yang tinggal menghitung hari harus pupus.
"Aku tahu kamu pasti sedih. Tidak mudah kan situasi semuanya ini?"
Tak perlu banyak berbicara, Indi sangat tahu suasana hati Satria. Mereka sudah menikah bertahun-tahun lamanya. Terkadang tanpa bertutur kata, keduanya bisa memahami perasaan hati satu sama lain.
"Ya, sebagai Masnya aku sedih, tapi lihatlah Sitha malahan sangat kuat. Namun, ini yang terbaik. Kalau memang tidak jodoh, mau apa lagi? Aku yakin nanti Sitha akan mendapatkan pria yang lebih baik."
"Setuju, yang mencintai Sitha, menerima semua kurangnya. Saling melengkapi sampai sepanjang usia ya, Mas."
Satria lantas menganggukkan kepalanya. "Benar, Sayang. Semoga saja benar adanya. Jodoh yang benar-benar bisa menahan dirinya dan tidak akan membiarkan bunga layu sebelum benar-benar berkembang."
Usai itu, Rama Bima dan Bu Galuh mendekat ke Sitha. Gadis itu sama sekali tak bersedih malahan asyik bermain dengan keempat ponakannya. Rama Bima dan Bu Galuh juga membesarkan hatinya sendiri.
"Sampun, Rama?" tanya Sitha. Dia menuturkan dengan bahasa Jawa Krama yang halus.
"Sudah, Ndug Ayu. Setelah ini jangan getun yah?"
Getun adalah kata yang berarti menyesal. Menyesalkan terlampau dalam hingga rasanya selalu bersedih dan ingin menyerah. Sitha tersenyum dan menggeleng pelan.
"Mboten, Rama. Saestu mboten getun."
Sudah menjadi keputusan Sitha, Rama Bima juga sudah membatalkan pernikahan sehingga Sitha tidak akan menyesal. Selain perkara permintaan HS, Sitha juga merasa Danu adalah pria yang tidak bisa berkomitmen. Permintaan HS hanya kobaran api saja, tapi percikannya sudah ada sejak mereka resmi berpacaran.
"Hatinya dibesarkan. Kamu memiliki Rama, Ibu, Mas Satria, dan Mbak Indi. Kalau memang terluka, kamu bisa cerita sama Ibu dan Mbak Indi. Dibagi sedihnya, jangan dirasakan sendiri," nasihat Rama.
"Untuk pria seperti Mas Danu, Sitha enggak terluka kok Rama. Justru mudah untuk melepaskannya."
"Kamu kuat, Ndug Ayu."
Rama Bima memberikan pelukan kepada putri tunggalnya itu. Bu Galuh juga tersenyum dengan berurai air mata. Tetap saja isi hati manusia siapa yang tahu. Dalam lautan bisa dijajaki, tapi tidak dengan hati manusia yang bisa saja menyembunyikan berbagai misteri yang dipendam sendiri.
"Sitha kan enggak jadi menikah, boleh besok Sitha masuk kerja? Membatalkan pingitan juga?" tanyanya.
"Kamu sudah siap bekerja?" tanya Rama Bima.
"Daripada di rumah terus."
"Main ke Jogja, ke rumahnya Mas Satria dan Mbak Indi juga boleh," balas Bu Galuh.
Sitha kemudian menggelengkan kepala. "Sitha sudah besar, Ibu. Sitha bisa mengatasi semua ini. Tidak perlu lari. Jika memang batal tidak apa-apa. Jika menerima omongan negatif ya biarkan saja, nanti perlahan-lahan semua akan hilang begitu saja, seperti tersapu angin," balasnya.
Rama kemudian berbicara dengan Sitha. "Selain Danu, kamu dekat dengan staf di kantor ya, Tha?" tanya Rama.
"Staf yang mana, Rama?"
"Yang nemenin kamu waktu gathering dulu. Dia naksir kamu?"
"Mas Dharma maksudnya? Konon, Mas Dharma sudah menyukai seorang gadis cuma memang enggak berani mengungkapkan karena mereka berbeda. Tidak mungkin bagi Mas Dharma untuk menggapainya," balas Sitha.
Rama tersenyum saja. Namun, Rama juga tidak mau mengintervensi. Biarkan saja Sitha pada akhirnya akan menemukan jodohnya sendiri.
...🍀🍀🍀...
Keesokan Harinya ....
Sitha rupanya benar-benar masuk bekerja. Walau Rama Bima dan Bu Galuh tidak memaksa dan memperbolehkan Sitha untuk liburan ke Jogja, tapi Sitha menolak. Masuknya Sitha tentu membuat heboh staf di perusahaan.
"Bu Sitha bukannya Pingitan yah? kok sudah masuk sih?"
"Calon manten yang dipingit kan enggak boleh keluar rumah. Kok malahan bekerja sih."
"Baru beberapa hari dipingit kok udah bekerja lagi sih?"
Termasuk Dharma yang heran melihat Sitha pagi itu. Dharma tak ingin mendengar omongan sumbang itu dari orang lain, sembari memberikan laporan dia mengetuk pintu ruangan Sitha.
"Pagi Bu Sitha," sapanya.
"Ya, Pagi Mas Dharma. Ada apa, Mas?"
"Tolong untuk mengecek laporan berikut," katanya.
"Baik, akan aku cek."
"Bu, maaf sebelumnya. Saya ingin bertanya secara langsung. Bukannya Bu Sitha dipingit yah? Kenapa kembali ke kantor, Bu?"
Sitha tersenyum saja. Dia sudah menduga pastilah banyak staf yang menggunjingkan dirinya. Namun, memang itu adalah hal yang wajar sekarang.
"Iya, memang aku sudah tidak dipingit kok, Mas. Aku ... batal ... menikah."
Dharma menatap dengan rasa tak percaya. Padahal hanya beberapa hari lagi menjelang akad, tapi Sitha sendiri mengakui bahwa dia batal menikah. Lebih lagi, Sitha mengakuinya justru dengan tersenyum. Dharma menatap wajah ayu itu dari jauh, dan berusaha menemukan gurat kesedihan di sana, tapi justru tak terlihat kesedihan atau lara di hati.
"Tidak, tidak mungkin kan, Bu?"
"Mungkin. Sangat mungkin kok. Kebenarannya kami tak berjodoh aja. Sebelum janur kuning melengkung semuanya masih bisa terjadi kan, Mas?"
"Dalam hitungan beberapa hari?" tanya Dharma.
"Iya. Batal. Tidak akan ada pernikahan."
Dharma menghela napas panjang. Ada rasa sedih, iba, bahkan bahagia. Apakah semesta seolah-olah memberikan peluang 0.01% untuk pria yang merasa dari beda kasta itu?
sehat2 mba Sitha..