Sudah lama menikah, tapi belum pernah merasakan malam pertama?
Mustahil!
Mungkin itu yang akan orang katakan.
Tapi, ini benar-benar terjadi pada Vania.
Saat memutuskan untuk menikah muda,Vani justru dihadapkan dengan kenyataan pahit. Suaminya tidak mau menyentuhnya sama sekali. Bahkan di malam pertama pernikahannya, Faisal meninggalkannya begitu saja.
Entah apa alasannya, Vani sendiri tak mengerti.
Tinggalkan jejaknya sayonk😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Lana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecewa
"Maafin Ibu ya, Van? Kamu nggak apa-apa, kan?" Suara Faisal terdengar lagi setelah beberapa saat. "Aku janji, bulan depan pasti aku tambahin lagi buat kamu."
Alahhh bulshit!
Vani sedikit melengos, menunjukkan protesnya meski tidak kentara. Malas rasanya membahas itu lagi.
"Kamu marah?" tanya Faisal memegang pergelangan tangan Vani saat wanita itu bangkit dan berniat meninggalkannya.
"Nggak!" jawab Vani dengan ketus.
"Kalau nggak marah kenapa cemberut gitu?"
"Menurutmu, apa aku nggak pantas marah, Mas?!" Vani benar-benar menunjukkan wajah kesal. Entah pura-pura tidak tahu, atau Faisal sengaja tidak ingin tahu, sikapnya pada Vani biasa saja seperti tidak melakukan kesalahan apapun.
"Jangan marah, Van. Surgaku itu ada pada ibu. Jadi, yang sabar yah?"
Selalu saja itu yang menjadi alasan Faisal. Vani sendiri pun heran, dulunya sang ibu ngidam apa sih, sampai bisa memiliki anak sepatuh itu?!
"Ya udah, kenapa Mas mesti nikah. Sama ibu aja, toh udah nggak butuh apa-apa lagi 'kan selain surga?" Vani sengaja menyindirnya. Jika di tanya menyesal sudah nikah muda? Tidak, sih! Hanya saja Vani kadang merasa tak kuat selalu di nomer sekiankan oleh suaminya sendiri.
"Maksud kamu apa sih, Van? Lagian sekarang kamu juga punya penghasilan sendiri."
Dengan tidak tahu malu Faisal mengatakannya. Jika sebagai lelaki ia paham surganya ada pada sang ibu, harusnya ia juga tahu mengenai nafkah seorang istri, kan? Suami tetap punya kewajiban menafkahi meskipun sang istri sudah memiliki penghasilan sendiri.
"Toh, kita belum terlalu membutuhkan, Van. Kita 'kan belum punya anak. Jadi, biarin Ibu aku yang menikmatinya lebih dulu."
Perhatian Vani langsung mengarah pada wajah laki-laki itu. Saat membahas perihal anak, kenapa rasanya sakit sekali?
"Kamu udah pikirin yang kita bicarakan kemarin, kan, Mas? Gimana, udah ada jadwal buat konsultasi? Terus, di rumah sakit mana?" tanya Vani sedikit luluh. Nada bicaranya pun sudah mulai lembut lagi.
"Belum, Van. Aku belum siap," ungkap Faisal.
Lagi-lagi Vani harus menarik napas berat. "Kenapa? Mas nggak ingin sembuh?" tanya Vani dengan raut wajah penuh keheranan.
"Tentu aja mau lah, Van. Aku juga ingin seperti kebanyakan laki-laki, bisa menyenangkan istri."
"Lantas, kenapa Mas nggak mau usaha? Mas sengaja lama-lama mau bikin aku sakit hati oleh tuduhan ibu yang mandul? Aku sakit hati, Mas, di tuduh kaya gitu terus!"
"Nggak, Van. Enggak sama sekali. Aku nggak mungkin sengaja bikin kamu sakit hati. Pokoknya kamu yang sabar aja ya, nanti kalau udah waktunya, aku pasti akan berobat, kok."
Vani hanya tak habis pikir kenapa Faisal terus saja menolak jika Vani menyuruhnya konsultasi dengan dokter yang ahli?
"Udahlah, Mas. Aku capek. Aku mau istirahat aja!" Memilih bangkit dan berjalan menuju kamar mereka berdua dan membanting pintu sedikit keras.
"Van, kamu marah?" Vani mendengar suara Faisal lagi dari arah belakang, tapi Vani sudah terlanjur masuk kamar dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Menatap langit-langit kamar, Vani menggeser tubuhnya saat melihat Faisal juga mengekor di belakangnya.
Malam hari mood Vani tetap belum membaik juga. Jika biasanya Vani selalu mendekat dan memeluk Faisal saat ingin tidur, kali ini Vani memilih menghadap ke samping, kearah tembok dan membelakangi suaminya.
"Kamu jangan gitu dong, Van. Dosa kalau lama-lama cuekin suami," ucap Faisal sembari ikut merebahkan diri di sampingnya.
Vani hanya diam saja. Ia malas membalasnya lagi. Buat apa jika akhirnya ia yang selalu makan hati.
"Van ..." Tidak ada jawaban lagi.
"Kamu belum tidur, kan?
"Jangan berisik, Mas. Aku capek! Mau tidur!"
Faisal langsung bungkam menyadari istrinya sedang kesal. Ia memilih memejamkan mata karena rasa kantuk yang menyerangnya sejak tadi.
"Dasar suami nggak peka. Istri ngambek malah di tinggal tidur!"
.
.
.
Sampai di rumah majikannya pun suasana hati Vani tetap belum berubah. Bahkan seharian ini Vani terlihat sering melamun. Teringat dengan perdebatannya dengan Faisal tadi malam.
Vani mengusap layar ponsel, menatap wajah sang ibu di galeri fotonya. Jika saja bisa, Vani ingin memutar waktu lagi. Rasanya tak kuat lama-lama hidup seperti ini.
"Kamu belum pulang, Van?" Pertanyaan Renan menyentak lamunan wanita itu. Vani buru-buru menyimpan ponselnya lagi dan bangkit dari kursi kayu yang ia duduki. Tadinya Vani tengah membersihkan taman belakang. Vani baru sadar jika sejak tadi ia malah melamun dan membiarkan pekerjaan yang tertunda begitu saja.
"Belum, Pak. Sebentar lagi," ucapnya sembari meraih sapu yang tergeletak di sebelahnya. Vani melanjutkan pekerjaannya lagi sebelum waktu semakin sore.
"Kamu melamun?" tanya Renan. Pasalnya sejak beberapa menit yang lalu Renan sudah ada di tempat itu, tapi Vani baru menyadarinya saat Renan berusaha menyapanya.
"Enggak, Pak!" Menggeleng cepat. Padahal sudah jelas-jelas ketahuan.
"Kamu ada masalah?! Atau, sakit?"
Vani menggeleng lagi. Ia cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya, lalu pamit dari hadapan Renan sebelum laki-laki itu bertanya macam-macam lagi.
Selepas Vani pulang, Renan yang tadinya hanya ingin mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas mendadak menghentikan langkah, laki-laki itu memilih duduk dan menemani Bik Minah yang masih sibuk di ruangan dapur.
"Bibik udah lama kenal Vani?"
Bik Minah langsung menghentikan kegiatannya, mendekat kearah sang majikan, perempuan paruh baya itu ragu-ragu untuk menceritakan semua yang ia tahu tentang wanita itu.
"Saya sih kenal dari suami, Pak. Dulu sebelum Bibik ajak kerja di sini, suami Bibik bekerja sebagai tukang kebun di sebelah rumah Neng Vani." Bik Minah mengawali penjelasannya mengenai asal usul ia mengenal wanita itu.
"Oh, jadi udah lumayan lama ya? Tapi, kenapa Vani mau jadi pembantu ya Bik, padahal dia 'kan tinggal di perumahan elit?" Itulah satu pertanyaan yang selalu membuat Renan penasaran. Jika di bilang hanya untuk mengisi waktu kosong, buat apa sampai bekerja di rumah orang?
"Bibik sih nggak tahu pasti, Pak. Tapi, suami Bibik pernah cerita kalau mertua Vani itu sangat cerewet. Ya ... mungkin karena sampai saat ini Vani belum juga hamil. Kabarnya sih Vani mandul."
"Memangnya kenapa kalau belum hamil? Hamil atau tidak itukan pemberian Tuhan. Lantas, kenapa sampai tega menghakimi Vani seperti itu? Memangnya mereka udah menjalani pemeriksaan?" Renan merasa prihatin sekali akan nasib wanita itu. Pantas saja ia sering melihat Vani melamun, kadangkala juga terlihat sedih.
"Bibik juga sebenarnya kasihan sekali sama Neng Vani, Pak. Dia itu kadang menangis sendiri di kamar belakang. Tapi, Bibik nggak berani tanya macam-macam."
"Menangis?"
"Iya, Pak. Waktu itu Bibik nggak sengaja lihatnya."
Renan mengepalkan kedua tangannya. Ia geram sendiri setelah mendengar semua cerita dari Bik Minah tadi.