Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 26
Pagi masih dini ketika Raka tiba di depan rumah Aruna. Embun belum sepenuhnya hilang dari dedaunan, dan udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Ia memarkir mobilnya dengan hati-hati di halaman depan. Sesaat setelah membunyikan klakson pelan, gerbang dibuka oleh Pak Yusron, penjaga rumah dan kebun yang sudah lama bekerja untuk keluarga Aruna.
“Wah, tumben pagi-pagi sekali sudah datang, Pak Raka?” sapa Pak Yusron, sedikit terkejut.
Raka tersenyum sopan. “Iya, Pak. Saya mau ke area baru di kebun, tapi belum tahu rutenya. Ibu Aruna katanya akan mengantar.”
Pak Yusron mengangguk ramah, mempersilakan masuk. “Silakan, Pak. Ibu tadi bilang sudah siap.”
Raka berjalan melewati jalur taman kecil yang basah oleh embun. Di teras rumah, Aruna sudah duduk santai, mengenakan kemeja sederhana warna putih gading dan celana kain cokelat muda. Di depannya, dua cangkir teh hangat mengepul pelan, ditemani piring kecil berisi kue-kue tradisional.
“Aku kira kamu bakal datang lebih siang,” ujar Aruna sambil tersenyum kecil.
Raka membalas senyuman itu, lalu duduk di kursi kayu yang tersedia. “Aku tidak bisa tidur semalaman. Penasaran ingin lihat area baru itu... atau mungkin karena sesuatu yang lain.”
Aruna sempat terdiam, kemudian hanya menjawab dengan senyuman tipis. Ia menawarkan teh padanya, dan mereka mulai mengobrol ringan, membicarakan potensi area baru, rencana tanam herbal, dan beberapa eksperimen pertumbuhan tanaman tropis yang sedang diuji.
Namun, semakin lama mereka duduk bersama, semakin terasa keheningan-keheningan yang janggal. Bukan karena canggung, tapi karena setiap kali mata mereka saling bertemu, ada sesuatu yang mengalir sebuah energi diam yang sulit diabaikan. Tatapan Raka begitu dalam, membuat Aruna nyaris lupa napasnya. Ia merasa seolah sedang dilihat lebih dari sekadar kulit luar. Tatapan itu menelusup ke dalam, seakan mengerti hatinya yang rapuh dan kosong.
Aruna akhirnya mengalihkan pandangannya ke langit.
“Pagi-pagi begini... cuacanya sudah mendung,” gumamnya cepat, menyembunyikan kegelisahan. “Lebih baik kita berangkat sekarang sebelum hujan turun.”
Raka hanya mengangguk pelan, seolah memahami ada sesuatu yang baru saja tidak jadi diucapkan. “Oke, ayo. Biar aku yang nyetir, Bu.”
Mereka meninggalkan rumah dengan mobil Raka. Di sepanjang perjalanan menuju area baru, tak banyak kata yang terucap. Tapi diam di antara mereka bukan keheningan yang asing, melainkan kedekatan yang tak perlu dijelaskan. Sesekali, Raka melirik Aruna yang tampak menatap keluar jendela, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Mobil Raka berhenti perlahan di sisi jalan tanah yang masih berbatu. Di hadapan mereka terbentang area luas yang belum tersentuh, dengan rerumputan liar tumbuh tak beraturan. Beberapa semak menyembul di sela-sela pohon mangga yang tampak sudah tua, dahannya menjuntai seperti menyimpan cerita masa lalu. Di salah satu sudut, berdiri rumah kecil dari bilik kayu yang sudah mulai lapuk. Atap sengnya berkarat, beberapa bagian dindingnya sudah bolong. Terlihat sepi, sunyi, dan menyimpan aroma kenangan yang tak terucap.
“Ini lahan yang paling ujung,” ucap Aruna pelan, menuruni jalan dengan tatapan lekat ke arah rumah kecil itu. “Dulu, waktu zaman ayahnya Bagas, area ini sempat ditanami. Tapi sejak beliau meninggal, aku belum sempat mengolah sampai ke sini.”
Langkah mereka pelan menyusuri tanah setengah basah karena embun yang masih enggan menguap. Udara pagi mulai terasa hangat, meski mendung masih menggantung seperti tirai kelabu di langit.
Raka menyentuh batang pohon mangga yang kasar, seolah ingin merasakan sisa energi yang pernah melewati tempat ini. “Pohon ini sudah lama sekali ya... Tapi masih kokoh.”
“Iya. Aku rasa, dulu ini pohon mangga harum manis. Ayah Bagas sangat suka buah dari pohon ini. Ia bahkan pernah bilang ini pohon keberuntungan.”
Aruna tertawa kecil, tapi ada nada getir di dalamnya. Raka menoleh, memperhatikan raut wajahnya yang teduh namun menyimpan lelah.
“Aku merasa bersalah,” ujar Aruna tiba-tiba, menunduk, menatap sepatu boot-nya yang sedikit kotor oleh tanah. “Karena membiarkan tempat ini terbengkalai selama itu. Padahal, dulu... aku pernah berjanji ke diri sendiri akan menjaga semuanya.”
“Ibu nggak harus menyalahkan dirimu sendiri,” kata Raka, suaranya tenang. “Kadang kita terlalu sibuk berusaha menyelamatkan hal-hal yang retak, sampai lupa menjaga yang pernah membuat kita bahagia.”
Ucapan itu membuat Aruna terdiam. Bukan karena tak paham, tapi karena kalimat itu terlalu tepat. Hatinya terasa disentuh. Ia menoleh pelan, menatap Raka. Dan lagi-lagi, mereka saling beradu pandang. Kali ini lebih lama. Ada kehangatan, ada pengertian yang sulit dijelaskan. Tidak ada yang diucapkan, tapi keduanya tahu ada sesuatu yang mulai tumbuh, pelan tapi pasti.
Aruna memutuskan menatap ke arah rumah bilik. “Dulu, rumah kecil itu dipakai untuk menyimpan alat-alat berkebun. Mungkin masih ada beberapa barang yang tertinggal di dalam.”
“Aku penasaran,” kata Raka. “Boleh kita lihat ke dalam?”
Aruna mengangguk, dan mereka berjalan mendekati rumah kecil itu. Pintu kayunya agak sulit dibuka, tapi setelah sedikit didorong, engselnya yang berkarat perlahan menyerah. Di dalam, udara lembap menyambut mereka. Beberapa rak kayu masih berdiri, meski miring. Ada kotak logam berdebu di sudut ruangan, dan sebuah bangku tua dengan bantal kusam.
“Dulu di sinilah aku suka diam kalau ingin menyendiri,” ucap Aruna lirih. “Kalau sedang bertengkar dengan Bagas, atau kalau... merasa tidak dimengerti oleh siapa pun.”
Raka menatapnya dalam diam, lalu berkata dengan lembut, “Ibu masih sering merasa seperti itu sekarang?”
Aruna menoleh, menatap Raka dengan tatapan jujur yang nyaris transparan. “Lebih sering dari yang kamu bayangkan.”
Suasana mendadak hening. Angin pagi berhembus pelan lewat celah dinding bilik, menggerakkan tirai usang di jendela kecil. Raka ingin berkata sesuatu, ingin menghapus rasa sepi yang tiba-tiba terasa begitu dekat dengan Aruna. Tapi ia tahu batas. Ia tahu, cinta yang terburu-buru akan lebih menyakitkan daripada rasa sepi itu sendiri.
Namun, di dalam benaknya, satu hal menjadi semakin jelas. Ia jatuh cinta pada perempuan ini. Pada cara Aruna menatap alam dengan penghormatan. Pada caranya bertahan, meski hatinya mungkin sudah pecah berkali-kali. Dan pada kesendiriannya yang tidak pernah benar-benar disuarakan, namun terasa sampai ke hati.
“Kita bisa hidupkan lagi tempat ini,” ucap Raka tiba-tiba, mencoba mengalihkan. “Bisa jadi rumah semai, atau tempat eksperimen herbal. Aku yakin, tempat ini masih punya napas.”
Aruna tersenyum. Senyum yang kali ini tidak dipaksakan. “Kedengarannya seperti harapan. Dan aku sudah lama tidak mendengar nada itu dalam suara siapa pun.”
Mereka keluar dari rumah kecil itu. Hening, tapi bukan canggung. Lebih seperti dua jiwa yang menemukan kedekatan dalam kesederhanaan. Langit semakin mendung, angin mulai membawa aroma hujan. Tapi keduanya tidak terburu-buru.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor