Cinta beda agama membuat Wafa menjadi bimbang sendiri. Wanita ini jatuh cinta dengan seorang duda yang memiliki agama, latar belakang dan segalanya yang berbeda.
"Aku tidak bisa mengambilmu dari Tuhan-mu. Tapi, jika memang kau adalah takdirku, aku akan berusaha untuk mendapatkan dirimu, meski sainganku adalah Penciptamu." Ujar Bian.
Apakah cinta beda agama ini akan bisa bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhewhy M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Ada Ketertarikan
"Ada apa dengan Wafa ya?" batin Sari.
"Sari," panggil Kyai.
"Dalem, Bi …."
"Besok, Ustadz Zamil dan kedua orang tuanya mau bertamu. Kamu dan Wafa, harus berada di rumah ba'da dzuhur, ya," ucap Kyai.
"Memangnya, ada acara apa keluarga ustadz Zamil datang ke sini, Abi?" tanya Sari.
Abi menggeleng. "Abi juga tidak tahu pasti. Katanya hanya ingin menyambung tali silaturahmi saja. Mereka juga meminta kamu dan adikmu untuk tetap di rumah. Jadi kita harus menyambut tamu dengan baik dan jangan ada hal yang tidak diinginkan terjadi besok." jelas Kyai.
"Nggeh, Abi," jawab Sari patuh.
Sampai di kamar, Wafa langsung melempar ponselnya ke ranjang. Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. Baru pertama kali dia merasakan perasaan yang seperti itu.
"Ini kenapa jantung berdetak kencang? Apakah aku ada penyakit jantung? Allahu Akbar, amit-amit," gumam Wafa.
"Tapi kenapa … oh, pasti karena aku makan jengkol kebanyakan tadi. Benar! Iya, benar, dari jengkol!" serunya.
"Atau hal lain?"
"Ahhh, sangat membuatku tidak nyaman ini. Semoga saja aku tidak mempunyai penyakit yang berbahaya." tukasnya selesai mondar-mandir.
Malam itu, setelah shalat isya', Wafa memutuskan untuk tidur lebih awal. Pesan dari Bian belum sempat Wafa balas. Masih menjadi misteri, pesan apa yang Bian kirimkan kepada Wafa, sampai gadis berusia 20 tahun itu berdebar. Jantung berdebar, tapi tidak tahu jika dirinya merasa tergoda dengan ucapan Bian.
Di rumah Bian, dia sedang sibuk mengerjakan pekerjaan yang dia bawa pulang sore tadi. Sembari bekerja, Bian masih menunggu jawaban dari Wafa yang sudah pindah ke alam mimpi.
"Kenapa gadis ini belum menjawab pesanku?" batin Bian. "Apa seharusnya aku telepon saja dia? Tapi, aku juga takut mengganggu aktivitasnya."
Bian malah merasa tidak nyaman sendiri. Kembali dia mengirim pesan kepada Wafa, dengan permintaan jawaban dari pertanyaannya itu.
Kling~
Kembali notifikasi pesan berbunyi di ponsel Wafa. Dengan setengah sadar, Wafa membaca pesan tersebut dan reflek menjawab dengan jawaban, 'iya'.
Mendapat balasan dari Wafa, Bian langsung bertanya lagi tentang keseriusan dari jawaban Wafa. Lalu, tak lama setelah itu, Wafa juga menjawab, 'Saya serius'.
[Baiklah kalau begitu besok saya akan jemput kamu di yayasan.] - pesan dari Bian.
[Iya ...] - balas Wafa.
Seketika, jawaban Wafa membuat jantung Bian kembali berdegup kencang. Belum pernah Bian merasakan perasaan itu, meski dulunya juga pernah menikah dan memiliki orang yang ia cintai.
"Tanda apa ini? Apakah ini tanda jika aku gugup karena berinteraksi dengan gadis yang jauh lebih muda dariku?" gumam Bian, sambil menyentuh dadanya sendiri.
"Oh, mungkin saja karena gadis manis itu telah membuat Putriku tersenyum kembali. Jadi, aku merasa harus berterima kasih kepadanya,"
"Begitukah?" lanjutnya. "Seharusnya, sih, seperti itu."
Keduanya, memejamkan mata bersamaan malam itu. Bian yang sebelumnya memiliki pekerjaan yang melimpah menggunung seperti gunung Fuji, memilih untuk tidur karena hatinya sedang bahagia.
Seperti biasa, di sepertiga malam Wafa selalu terbangun dan melakukan shalat sunnah tahajud. Sebelum wudhu, Wafa biasanya memang melihat jam di ponselnya. Betapa terkejutnya dia, karena ternyata belum keluar dari aplikasi pesan, dan membaca isi pesan dirinya dengan Bian.
"Astaghfirullah hal'adzim, Allahu Akbar, la haula wala quwwata illa billah ... apa yang sudah aku ... Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah," ucap Wafa mengusap-usap dadanya sendiri.
"Tangan oh tangan ... kenapa kamu—"
"Otak, kenapa kamu tidak menghentikan tangan?"
"Mata! Kenapa kamu juga tidak sinkron semalam? Aku harus bagaimana ini?"
"Ya Allah ya Tuhanku ... Sebaiknya aku shalat dulu saja. Semoga saja Allah memberiku jalan bagi keputusanku yang tidak masuk akal ini." tukas Wafa, akhirnya pasrah dengan keadaan.
Saat itu, Bian mengirim pesan jika dirinya mengajak Wafa menghabiskan waktu bersama untuk saling mengenal. Dengan harapan, Ketika nanti keduanya sedang melakukan perannya tidak mengalami kendala sedikitpun. Dan tentu saja jawaban Wafa adalah 'iya'. Lalu kembali Bian bertanya apakah Wafa serius dengan jawabannya atau tidaknya. Jawaban Wafa adalah serius. Maka Bian akan siap menjemputnya di yayasan besok.
***
Setelah shalat tahajud, Wafa sudah sibuk menjadi hamba Allah yang taat dengan berzikir dan fokus membaca Al-Qur'an sebagai pedoman hidupnya. Ketika memikirkan tentang Bian, tidak ada suatu masalah apapun dan malah membuatnya nyaman. Tidak seperti ketika dirinya memikirkan Ustadz Zami yang selalu membuatnya gelisah.
"Huh, apa lagi ini aku? Aku begitu nyaman memikirkan pria yang bukan mahram dan baru saja aku temui," batinnya setelah selesai dengan kegiatan di sepertiga malamnya.
"Tapi kenapa aku begitu resah ketika memikirkan Ustadz Zamil yang tentu saja bukan mahramku juga, ya?"
"Aneh deh!"
Wafa malah bingung dengan pikirannya sendiri. Sekalian, Wafa melaksanakan shalat fardhu subuh setelah menunggu lama. Baru saja salam tahiyat, Wafa mendengar ada suara seperti tutup panci terjatuh.
Klontang~
"Apa itu?" batin Wafa. "Huh, jangan-jangan Abi!" serunya.
Tanpa melepas mukenanya, Wafa langsung berlari menuju dapur dan segera tahu siapa yang menjatuhkan tutup panci tersebut.
"Mbak Sari?"
Ya, Sari-lah yang ada di dapur sedang membuat kue-kue nan dan juga masak untuk menyambut kedatangan Ustadz Zamil dan keluarganya nanti jam 8 pagi. Di mana waktunya dimajukan karena jam itu, Wafa tidak ada jadwal kuliah.
"Kue, bolu, bumbu soto, apa ni ... suwir ayam, kentang balado. Ini masak banyak seperti ini mau ada acara apa, sih?" tanya Wafa. "Sejak kapan juga Mbak Sari memulai semuanya? Kenapa tidak meminta bantuanku?" imbuhnya.
"Abi bilang, nanti Ustadz Zamil dan keluarga mau datang. Jadi, mbak masak semua ini. Mbak kira, kamu tidak enak badan karena semalam setelah makan langsung tidur. Jadi, Mbak tidak mau merepotkan kamu," jawab Sari.
"Ya, meskipun semalam aku tidur lebih awal, kalau cuma bantu-bantu masak seperti ini tidak berat kali, Mbak," jelas Wafa. "Tunggu sebentar, aku akan lepas dulu mukenanya. Aku bantu Mbak masak meski sudah hampir selesai, oke? Tenang saja!"
Wafa masuk ke kamarnya melepas mukena dan menggantungnya di lemari kecilnya. Kemudian, membuka kembali ponselnya dan menerima pesan dari Bian lagi, jika nanti akan ke yayasan lebih awal sekaligus mengantar Grietta ke sekolah.
"Aku harus jawab apa ini?" gumam Wafa.
Mengambil napas panjang dan terus beristighfar. Kemudian, Wafa menjawab jika dirinya akan ikut waktu yang Bian atur saja.
[Baiklah, saya akan datang sedikit terlambat mungkin. Karena di rumah akan ada tamu dan pasti repot sedikit. Apakah Pak Bian siap menunggu?] - pesan dari Wafa.
[Kapanpun kamu datang, saya siap menunggu] - Balas Bian.
"Haduh, kalau seperti ini terus, aku sendiri yang pusing. Jika aku jadi Inneke yang gampang mleyot, pasti sudah kempes ini mah." gumam Wafa, memasukkan ponselnya ke kantong bajunya dan keluar menuju ke dapur membantu kakaknya memasak.
Bersiap menyiapkan jamuan untuk Ustadz Zamil dan keluarganya yang akan datang. Wafa sendiri juga tidak tahu mengapa keluarga pria yang dia kagumi akan datang hari itu.
ya Allah sungguh egois, walaupun itu pemilik pondok tapi jika apa yang dilakukan anaknya saja dipersulit maka jika anaknya sendiri membangkang ya jangan salahkan anaknya dong
salahkan sendiri Abi, aku tau karena aku dididik memilih dg pilihan yang aku inginkan dg tanggungjawab yg aku pilih, dibebaskan memilih itu tak hanya untuk kita belajar tanggungjawab tapi juga jalan yang diberkahi
sukses kak Dhewhy